Hari Jumat bagi kaum Muslimin memiliki keistimewaan dibanding hari-hari lain. Hari Jumat hakikatnya adalah hari raya yang datang tiap pekan. Hari Jumat merupakan penghulu hari dimana di dalamnya terdapat bermacam keutamaan sebagaimana termaktub dalam hadits yang banyak sekali jumlahnya. Di hari itulah, umat Muhammad SAW berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan perintahNya melaksanakan sholat Jumat. Sebagaimana diketahui, sebelum Sholat Jumat, terdapat satu tahapan sebagai syarat sah mendirikan Sholat Jumat yang harus dilunaskan yaitu khutbah.
Khutbah adalah rangkaian perkataan berisi nasihat dengan tujuan akhir untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Di sepanjang hidup kaum muslimin, niscaya telah sekian banyak masjid yang dikunjungi untuk sholat Jumat. Di masjid-masjid itu pula, otomatis terdapati beragam tema khutbah dengan berbagai macam gaya penyampaian. Mulai dari gaya penyampaian pelan dan lembut sampai mirip deklamasi yang berapi-api.
Tulisan kali ini tidak akan membahas teknik gaya penyampaian khutbah Jumat, namun akan membahas tentang tema khutbah Jumat. Sejauh penulis menjadi jamaah sholat Jumat, sebagian besar khatib mengambil tema, yang bisa dikatakan, sebagai tema yang itu-itu saja. Mayoritas khatib gemar mengambil tema yang sudah dihafal jamaah.
Tema khutbah yang sering kita jumpai kebanyakan tentang syukur, ikhlas, konsep moralitas normatif dan beberapa tema klise lain yang berpotensi membuat jamaah lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada dekorasi masjid, lalu lalang kendaraan atau model baju koko terbaru yang dikenakan jamaah lain. Padahal, di samping tema-tema seperti itu, masih berderet tema lain yang belum cukup dieksplorasi. Sayang sekali, para khatib jarang memilih tema yang lebih berkemungkinan menarik atensi jamaah, sekaligus mengandung nilai tambah untuk perbaikan diri pribadi dan jamaah -yang merupakan representasi entitas masyarakat dengan jumlah yang tidak sedikit.
Khutbah Jumat sebenarnya bukan sekadar ritual rutin yang wajib dipenuhi sebagai rukun Sholat Jumat. Namun lebih dari itu, khutbah Jumat memiliki potensi besar sebagai katalisator sosial. Khutbah Sholat Jumat memenuhi semua persyaratan untuk menjadi pelatuk pemicu percepatan perubahan kehidupan sosial masyarakat ke arah yang dicita-citakan. Satu hal yang harus ditunaikan agar khutbah Jumat dapat menjelma menjadi katalisator sosial, adalah kreativitas pemilihan tema khutbah yang lebih konstruktif, aktual dan akan lebih baik jika disesuaikan dengan konteks lokalitas dimana khutbah Jumat disampaikan.
Tema-tema khutbah yang penulis sebutkan di atas bukannya tidak elok dan untuk tenggat periode tertentu harus tetap disampaikan. Tema mainstream seperti itu memang perlu repetisi sebagai pengingat karena keterbatasan ingatan dan kodrat kekhilafan manusia. Tetapi, alangkah lebih baik jika tema lain diusahakan agar memiliki frekuensi penyampaian yang lebih tinggi. Masih tersedia banyak tema seperti ajakan penguatan modal sosial untuk pencapaian tujuan masyarakat setempat, solusi konflik horizontal menurut perspektif Islam, penyadaran pemanfaatan potensi kebudayaan dan sumber daya alam setempat, filosofi lagu Ilir-Ilir, nilai luhur dibalik lagu Gundul Pacul dan tema membumi lainnya, tentu dengan menyisipkan firmanNya dan sabda Rosul yang koheren.
Khutbah Jumat merupakan kekayaan khazanah Islam, namun belum termanfaatkan secara optimal. Khutbah Jumat disampaikan secara rutin sekali seminggu dan dihadiri oleh kaum pria yang notabene para imam keluarga dan pemimpin di lingkungannya. Dengan profil audien seperti itu, khutbah Jumat seharusnya memiliki kekuatan akselerasi yang tinggi karena langsung menyasar kepada para pria yang didaulat Allah sebagai pemimpin. Khutbah Jumat memiliki keunggulan sebagai media percepatan terjadinya perubahan diri dan lingkungan ke arah yang lebih baik, karena di sana terkandung pesan yang dikuatkan dengan nilai-nilai aksioma yang dinukil dari kitab suci dan disampaikan oleh khatib, yang biasanya secara aklamasi diakui memiliki kapasitas keilmuan dan kesalehan lebih tinggi dari jamaah.
Penulis memiliki mimpi, agar jamaah sholat Jumat mendatangi masjid tidak hanya dalam rangka sebatas untuk penuhi kewajiban, lalu di dalam masjid hanya duduk terkantuk-kantuk tanpa antusiasme sama sekali, atau bahkan datang saat injury time menjelang iqomat. Namun agar di masa depan, di dalam dada jamaah muncul letupan ghirah, karena akan menghadiri sebuah forum mulia yang di dalamnya terpancar cahaya ilmu pengetahuan sekaligus percikan moral spiritual yang menggugah. Sehingga, sepulangnya dari Sholat Jumat, jamaah mendapatkan input positif yang selalu terbarukan, untuk kemudian dijadikan bahan komposisi pembaharuan kepada lingkup masyarakat yang lebih luas. Rebranding khutbah Jumat mendesak untuk segera digarap..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H