Mohon tunggu...
Ryan Perdana
Ryan Perdana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembaca dan Penulis

Kunjungi saya di www.ryanperdana.com dan twitter @ruaien

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bicara Tak Semudah Itu, Sayang

29 Agustus 2014   16:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada remah-remah yang tersisa dari perhelatan besar Pemilu beberapa waktu lalu. Paling tidak itulah yang tertangkap oleh mata pantau saya. Sebenarnya, hal tersebut terkategori dalam kelas sepele, namun rasanya perlu secuil pembahasan, setidaknya untuk melegakan hati saya.

Pada suatu saat di dalam masa kampanye, ada seseorang sebut saja dengan Wakidi yang melontarkan pernyataan di salah satu media sosial. Pernyataan tersebut kurang lebih berbunyi: “Ah kalau cuma masalah pinter bicara sih tukang obat di pinggir jalan aja pinter banget.” Pernyataan Wakidi tersebut dalam rangka menanggapi pernyataan Sardimin yang menyatakan capres jagoannya memiliki kemampuan berbicara yang baik.

Pernyataan bernada sinis dan meremehkan tersebut membuat saya kurang berkenan. Menurut saya, kalimat tersebut perlu dibedah dan dipertanyakan kadar kebenarannya. Apa benar bicara memang hal yang mudah, dan apakah tepat jika tolok ukur parameter pintar bicara adalah apa yang sehari-hari dilakukan oleh tukang obat tepi jalan?

Inti dari kalimat itu adalah menekankan bahwa bicara merupakan hal biasa dan siapa saja sambil merem bisa melakukannya. Memang benar bahwa bicara adalah keterampilan yang Tuhan anugerahkan kepada insan ciptaanNya secara built-in dari sononya. Namun, tentang apakah bicara adalah suatu hal yang mudah dan setiap orang akan dengan baik melakukannya adalah lain soal. Bicara yang seperti apa dan dengan syarat apa dulu yang dimaksudkan.

Saya pribadi beropini, bicara adalah suatu hal yang relatif sulit untuk dilakukan. Tentu, bicara dalam konteks kemampuan komunikasi verbal semua orang akan tanpa berpikir dapat mengerjakannya. Namun, berbicara dalam format yang sesuai dengan harapan pendengar adalah bukan hal yang ringan untuk dilunaskan.

Ijinkanlah saya untuk mengatakan bahwa bicara adalah keterampilan khusus yang sebenarnya bisa dilatih. Namun, dengan berlatih dan melakukannya berulang-ulang pun tidak memberikan jaminan akan membuat seseorang dengan serta merta akan menjadi pembicara yang baik. Mengapa demikian, karena di dalamnya terdapat unsur yang tidak setiap orang diberikan, yaitu bakat.

Itulah jawaban mengapa banyak orang yang setiap hari berbicara -karena memang itulah pekerjaannya-, tidak lantas secara otomatis menjadi pembicara yang baik. Berapa banyak guru yang mengajar harus menenteng buku dan hanya membacakannya? Berapa banyak dosen yang ingin mengungkapkan maksudnya harus memutar kalimat, yang justru membuat mahasiswanya mengernyitkan dahi? Berapa banyak tenaga pemasaran yang tidak berhasil menjual dagangannya karena tidak berhasil mempesona calon konsumennya melalui untaian kata hafalannya? Berapa banyak penyaji presentasi yang hanya membacakan power point yang dibuatnya, dan power point itu pun sekadar hasil menyalin utuh berkas aslinya? Berapa Pak RT, Pak Lurah, Pak Bupati, Pak Gubernur dan Presiden yang cuma berhasil meninabobokan pemirsanya ketika berbicara?

***

Satu syarat yang harus dipenuhi oleh pembicara jika ingin mendapatkan perhatian pendengarnya adalah harus dapat berbicara dengan menarik. Sepertinya sebuah syarat yang sederhana yaitu menarik, namun jangan salah, di dalam “menarik” terdapat sederet poin yang harus dikuasai. Di dalam “menarik” terdapat isi pembicaraan yang bernas, fokus pada pokok permasalahan, sesuai dengan karakter audien, selingan yang baik, perbendaharaan kosa kata, gaya bahasa, penampilan fisik, bahasa tubuh, intonasi, air muka dan berbagai unsur lain.

Yang tidak jarang terjadi, seorang pembicara mungkin sangat ahli di bidangnya. Ia barangkali seorang profesor doktor atau praktisi profesional, tapi ternyata ia kurang terampil menyampaikan permasalahan yang sudah puluhan tahun digeluti. Segala teori dan hasil telaahan sebenarnya sudah memenuhi sampai mruntel di lipatan-lipatan benak, namun apa daya mulut tidak kooperatif dalam sinkronisasi dan susah diajak bersinergi. Ia kurang piawai dalam mengartikulasikan apa yang diniatkan untuk disampaikan. Maka yang keluar adalah idiolek eee.. eee… eee.. ngggg.. nggg anu.. nganu dan teman-temannya.

Selain itu, mungkin seorang pembicara dapat lancar menyuarakan wacananya tanpa jeda, namun ia kurang pandai meletakkan tanda baca titik, koma, tanda seru dan tanda tanya. Ia berbicara datar tanpa ekspresi, sekaligus deretan tanda baca ditabrak. Alhasil di sana tidak terdapat penekanan dimana kata atau kalimat yang harus dijadikan fokus perhatian pemirsa. Maka jangan salahkan jika mereka lebih memilih mengelus layar sentuh atau memilih menuju smoking room.

Ada juga kasus, seorang pembicara dengan lanyah berbicara dan mampu menarik perhatian pemirsa, namun kabur dalam penyampaian substansi permasalahan. Ia menyenangkan untuk disaksikan, nyaman untuk didengarkan, namun tujuan pertemuan untuk membahas suatu topik kurang tercapai. Pembicara tersebut hanya berhasil dalam “menghibur” pendengar. Ia pandai beretorika, namun kurang berkomitmen dalam menyampaikan konten permasalahan yang harus disampaikan.

***

Tujuan dari tulisan ini sebenarnya sederhana saja, yaitu ingin mengkonfirmasi bahwa berbicara bukanlah pekerjaan remeh. Diperlukan kapabilitas dan kapasitas tertentu hingga seseorang dapat disemati gelar pembicara yang baik. Dan ingatlah, berbicara adalah perwakilan dari alur jalan pikiran. Kata yang meluncur dari lisan merupakan gambaran apa yang ada di dalam tempurung kepala. Berbicara merupakan salah satu indikator sahih untuk menakar kemampuan pikir seseorang –walau tidak mutlak dapat selalu menghadirkan keakuratan.

Tentang adanya ungkapan “kata-kata bukanlah patokan, pintar berbicara bukanlah ukuran, yang terpenting adalah realisasi dari kata-kata”, bukan berarti itu mendelegitimasi ungkapan saya bahwa berbicara bukanlah pekerjaan mudah. Karena kalimat itu berada dalam ranah moralitas yang terkait dengan salah satu variabelnya yaitu pemenuhan janji. Sedangkan bahasan kali ini ingin menyentuh ruang pembahasan teknis terkait “bicara”.

Saya hanya ingin menyatakan bahwa berbicara juga membutuhkan keseriusan dalam menekuninya, diperlukan waktu dan tenaga untuk mencapai maqam pembicara hebat, dan juga bakat yang merupakan given. Jika memang berbicara adalah pekerjaan remeh, mengapa sejak Mbah Kakung masih kasmaran sudah ada perkuliahan jurusan komunikasi, kursus public speaking dan les MC? Jika memang berbicara adalah pekerjaan enteng, mengapa ada dosen yang diidolakan, ada yang masuk kelasnya saja sudah terbayang suasana yang menjemukan; ada tokoh yang sanggup mengumpulkan ribuan orang hanya untuk mendengarkannya berbicara, ada jenis orang yang mengajak ngobrol saja kita sudah ogah duluan, ya ga? Lalu dengan menulis ini dan menggugat pernyataan yang meremehkan “berbicara”, apakah saya sudah pandai dalam berbicara? Ah saya ini ‘kan hanya butiran rontokan rengginang..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun