Senin 23 Februari 2015, mayoritas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta diguyur hujan deras beserta angin kencang dan petir bersahutan. Usai hujan reda, masuklah satu foto dari forum di WhatsApp yang memperlihatkan sebuah mobil Innova remuk ringsek tertimpa pohon yang berlokasi dekat Rumah Sakit Bethesda. Tak lama setelahnya, masuk lagi foto insiden serupa namun dari sudut pandang yang menampilkan pesepeda motor tewas terhimpit.
Malam hari, portal online tak mau kalah menampilkan berita tentang hujan angin yang menimbulkan korban jiwa dan materi. Pagi hari keesokannya, semua media cetak pun mengangkatnya menjadi berita di halaman paling depan. Saat jeda rehat siang, saya buka timeline twitter dan ada tweets dari akun @TRCBPBDDIY yang menarik perhatian. Akun tersebut diinisiasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah DIY. Saya ikuti dan ternyata berisi kegelisahan yang sama dengan yang selama ini saya rasakan. Berikut bunyi tweets-nya:
@TRCBPBDDIY: Apakah kawan2 semua termasuk yg ikut menyebarluaskan pic korban meninggal dunia krn tertimpa pohon roboh akibat angin besar kemarin? #etika
@TRCBPBDDIY: Kalau iya, apa ya kira2 yg menjd alasannya? #etika
@TRCBPBDDIY: Terbayangkah klau yg jd korban itu adl sodara yg kita kenal dekat? Dimana pic nya dlm kondisi mengenaskan dgn sangat vulgar disebarluaskan?
@TRCBPBDDIY: Kemarin saat di tkp ratusan orang memenuhi area kejadian yg 80% hanya sekedar menonton bahkan berebut mengambil photo korban? #etika
@TRCBPBDDIY: Sampai detik ini kami msh tidak habis mengerti apa yg ada dlm pikirannya saat melakukan itu?! Tontonankah? #etika
@TRCBPBDDIY : hanya bs sedih dan berdo’a smoga kesadaran atas sebuah norma kemanusiaan dan #etika dlm sebuah tindakan bisa jd pegangan pd diri kita semua
Barisan tweet yang sangat mengusik rasa kita sebagai manusia. Dengan pas menggambarkan wajah sosial kekinian yang jamak kita jumpai. Satu kasus yang baru kemarin saya dapati dan masih ada contoh lagi peristiwa yang membuat nalar pikir saya tak mampu menjangkau.
Terjadi akhir tahun lalu, seorang pemuda pegawai perusahaan A meninggal dunia tertabrak bus ukuran besar. Diduga, korban mengalami kecelakaan karena bergegas agar tidak terlambat tiba di kantor. Yang kemudian menjadi cerita, tak lama setelah korban meregang nyawa, ramai-ramai kawan sepergaulan dan sekantornya memasang foto korban yang masih tergeletak di tepi jalan bersimbah darah sebagai gambar profil BlackBerry Messenger (BBM) ditambah ucapan duka cita.
Setelah menyaksikan rentetan pergantian gambar profil BBM tersebut, saya bingung mencari arah alur jalan pikiran orang-orang itu. Kawan sejawat, teman sehari-hari dan mitra kerja sedang mengalami musibah menyedihkan, sungguh tega tanpa pikir panjang ditampilkan di ruang publik dengan kondisi seketika setelah kejadian. Mungkin ada niat baik di balik itu, tapi cara yang dipakai mbok ya dipilah-pilih dan terutama dipikir dulu. Saya nggak ngerti..
***
Terhimpunnya kerumunan manusia menyaksikan suatu kejadian sudah menjadi kewajaran dan banyak terjadi dimana-mana. Ketika ada kecelakaan, kebakaran, tanah longsor dan musibah lain pasti banyak orang berbondong menyaksikannya. Manusiawi memang jika ada rasa penasaran yang menuntut untuk dipenuhi. Namun, ternyata ada perkembangan baru yang memprihatinkan.
Di era digital sekarang ini, muncul fenomena baru yang serta merta lahir karena ditunjang fasilitas yang mudah diakses berupa handphone berkamera dan sarana berbagi di beragam platform media sosial. Rasa penasaran yang terlunaskan dengan menjadi saksi langsung, rupanya masih memerlukan pemuas dengan membagikannya kepada orang lain. Benar jika dikatakan setiap manusia memiliki kecenderungan keinginan untuk berbagi, namun seyogyanya naluri luhur yang termaktub di dalamnya harus diikuti dengan teknis cara yang memenuhi batasan etika dan norma kepantasan.
Saat ini, banyak orang yang ingin memposisikan diri sebagai pelaku citizen journalism tapi tidak memahami asas prioritas. Terbukti banyak terjadi, mereka lebih mendahulukan memfoto korban atau kejadian daripada melakukan pertolongan semampunya. Bahkan tidak jarang, datang hanya untuk menonton, memfoto, membagi ke media sosial, tanpa menolong, pulang dan berapi-api menceritakan apa yang baru disaksikannya ke tetangga. Mungkin ada semacam kebanggaan yang muncul setelah menjadi sumber berita teraktual dan terhangat. Lagi-lagi, saya nggak ngerti..
***
Saya tidak memiliki kapasitas intelektual untuk menjelaskan, apakah permasalahan di atas terjadi karena etika sudah menjadi wacana usang, adanya cultural lag dalam pengaplikasian teknologi atau memang seperti itulah umumnya manusia dan hanya saya saja yang tidak ngumumi wong. Sepertinya kita harus segera tunaikan proyek mendesak bernama mawas diri berjamaah. Apakah kita selama ini sudah jangkep dan tuntas menjadi manusia yang diagung-agungkan sebagai makhluk kelas wahid dan paling berbudaya…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H