Bandara Internasional Visalyaputra, jam 12 siang tepat.
Perjalanan udara selama 18 jam itu akhirnya usai, Gene turun dari pesawat yang ditumpanginya diikuti Cassie dan Hassan, sementara agen McGee dan anggota timnya sudah lebih dulu turun.
Dari jendela garbarata terlihat bahwa matahari di luar sana sangat terik dan menyengat.
“Sepertinya udara di luar bakal sangat panas ya dok,” Hassan membuka pembicaraan.
“Setidaknya kita tak perlu mencemaskan sumber tenaga untuk peralatan yang kita bawa,” ujar Gene, “Sinar matahari sangat melimpah di sini, baterai panel surya kita bisa cepat penuh.”
“Begitu pula cadangan air di tubuh kita,” McGee menyahut, “Aku sangat haus, aku butuh minuman dingin.”
“Aku sependapat denganmu,” balas Hassan, “Aku juga merasa bisa mati kehausan di sini.”
Keduanya kemudian tertawa.
“Bagaimana denganmu?” Hassan menoleh pada Cassie.
Namun yang ditanya kelihatannya lebih tertarik dengan hal lain. Beberapa kali raut wajahnya menunjukkan ekspresi seolah tak percaya.
“Cassie, apa kau tidak lelah terus-menerus menggunakan kemampuanmu untuk mengetahui rahasia orang lain?” tegur Hassan.
“Guys, coba lihat wanita yang di sana itu,” ujar Cassie sambil pandangannya mengarah pada seorang wanita berwajah lokal. Penampilannya terlihat sangat seksi dengan kemeja putih dan rok mini ketat berwarna hitam. Kulitnya terlihat putih dan halus, rambutnya diikat ke atas sehingga memperlihatkan tengkuknya.
“Oh my…,” desis McGee.
“She’s so hot,” timpal Hassan.
Anggota tim mereka juga bereaksi serupa. Cassie lalu menoleh pada Gene,
“Dok?” tanyanya.
“Well, yeah dia cantik. Tapi aku sudah terlalu tua untuk hal-hal semacam itu,” sahut Gene tenang.
“Sepertinya aku bisa jatuh cinta padanya,” sambung Hassan.
“Apa dia bisa aku kencani?” timpal McGee.
Cassie tertawa lepas. Tawa yang membuat Hassan dan McGee sadar ada sesuatu yang tidak beres pada wanita tersebut.
“Dia bersuami?” tanya Hassan.
“Atau dia seorang kriminal?” McGee menimpali.
Cassie menggeleng,
“Dia pria,” ujarnya pendek, “Dan di negara ini banyak yang seperti itu, sebaiknya kalian berhati-hati ketika berkenalan dengan gadis-gadis sini.”
McGee dan Hassan terbelalak.
* * *
Setelah empat jam lagi perjalanan darat, Gene dan timnya tiba di tempat tujuan mereka - sebuah desa. Beberapa penduduk desa menghentikan kegiatan mereka, ingin tahu apa yang dilakukan keenam orang asing tersebut – apalagi kedatangan mereka ditemani beberapa orang anggota pemerintahan dan polisi serta tentara.
“Jadi, gadis yang kita cari ada di mana?” Gene mengedarkan pandangannya.
Seseorang dari rombongan yang menemaninya kemudian maju, nampaknya dia seorang penerjemah. Setelah penerjemah itu bicara, seorang lagi dari rombongan mereka mempersilakan Gene dan anggota timnya untuk berjalan mengikuti arah yang ditunjukkan.
“Dao! Dao!” beberapa kali Gene dan timnya mendengar ucapan itu diserukan penduduk desa sambil tangan mereka menunjuk ke satu arah.
“Jadi, rupanya Dao sangat terkenal di sini,” bisik McGee.
“Tak heran,” timpal Hassan, “Dan melihat begitu banyak pengawalan yang kita terima, rasanya dia selama ini cukup merepotkan.”
“Aku sudah mengakses ingatan penduduk desa ini,” sahut Cassie, “Dan ucapanmu barusan memang benar, Agen Davidson.”
Mereka akhirnya tiba di sebuah rumah sederhana yang terpisah cukup jauh dari rumah-rumah lain di desa itu. Para polisi dan tentara kemudian membentuk formasi mengepung rumah tersebut dari jarak aman.
“Suasana sepertinya kurang bagus,” keluh McGee. Ia kemudian menyiapkan beberapa senjata pelumpuh untuk berjaga-jaga, begitupun seluruh anggota tim.
Mereka waspada.
Gene, Hassan, Cassie, beserta McGee dan dua orang anggota timnya mendekati rumah tersebut dengan ditemani penerjemah dan seorang penduduk setempat.
Mendadak dari dalam rumah terdengar teriakan dalam bahasa setempat, sepertinya orang yang di dalam rumah itu seorang wanita. Gene menoleh ke arah penerjemah yang kemudian mengartikannya,
“Dia meminta kita pergi,” katanya.
McGee dan anggota timnya bersiaga penuh terhadap segala kemungkinan.
“Tolong katakan padanya, kami datang ke sini dengan niat baik. Kami tidak ingin melukai siapapun,” kata Gene pada si penerjemah.
Berikutnya terdengar percakapan antara penerjemah dengan orang yang ada di dalam rumah. Suasana terasa mencekam.
Penerjemah itu memandang Gene,
“Katanya, bagaimana mungkin kami bisa mempercayai kalian jika kalian datang dengan todongan senjata seperti itu.”
Gene mengitari pandangannya. Sepasukan polisi dan tentara masih tetap di tempatnya dengan senjata teracung dan mengarah ke dalam rumah. Ia juga memandang McGee yang tangannya setiap saat siap menarik senjata pelumpuh yang disimpan di pinggangnya.
“Minta mereka untuk menurunkan senjatanya,” ujar Gene.
“Kau yakin, dok?” tanya McGee diikuti anggukan Hassan sebagai tanda bahwa dia setuju dengan agen bertubuh besar tersebut.
“Aku yakin, kalian tak perlu cemas,” jawab Gene.
Senjata-senjata kini sudah diturunkan namun para personil polisi maupun militer masih bersiaga di tempat masing-masing.
Si penerjemah kembali berbicara dengan orang yang berada di dalam rumah.
Semua menunggu.
Tak berapa lama kemudian pintu terbuka dan seorang wanita muda keluar dari dalam rumah. Matanya memandang curiga, dan di tangannya tergenggam sebilah golok.
"Mau apa kalian ke mari?" tanyanya galak.
Dao?
(Bersambung)
Serial X-Gene :
Cast :
- Dr. Gene Valenzuela (Robert Carlyle)
- Hassan Leynard Davidson (Omar Barkan Al Gala)
- Cassie Graham (Jennifer Lawrence)
- Jordan McGee (Taye Diggs)
Sumber gambar : kolase dari berbagai sumber
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H