[caption id="attachment_361881" align="aligncenter" width="600" caption="Apa ngangkut beras dari gudang penyimpanannya ke warung deket rumah kita nggak pake bensin? (sumber : halomalang.com)"][/caption]
Setelah beberapa hari tak membuka Kompasiana karena sakit kepala yang menghebat, pagi ini saya membaca salah satu HL tulisan Kompasianer Munir A.s berjudul "Negara Tanpa Presiden" yang menyoroti kebijakan seputar harga BBM Bersubsidi. Tapi bukan tulisan itu yang menginspirasi lahirnya tulisan saya ini.
Ada satu komentar di tulisan tersebut yang bunyi cuplikannya seperti ini :
"Sesat pikir pengemis subsidi BBM, mereka berpikir dengan menentang kebijakan pemerintah menghapuskan subsidi BBM seolah-olah mereka telah membela rakyat kecil, padahal yang dibela cuma 10 % penduduk Indonesia yang mampu membeli mobil.
Padahal mereka tidak sadar bahwa 45% subsidi BBM dinikmati pemilik mobil pribadi dan 45% pemilik motor dan sisanya 10% kendaraan umum. Pemilik mobil pribadi ini cuma 10 % dari penduduk Indonesia.
LEBIH DARI 130 JUTA PENDUDUK INDONESIA TIDAK PERNAH BELI BENSIN KARENA TIDAK PUNYA MOTOR APALAGI MOBIL. LEBIH DARI SEPARUH PENDUDUK INDONESIA INI BELASAN TAHUN TIDAK PERNAH MERASAKAN NIKMATNYA SUBSIDI BBM YANG DALAM 10 TAHUN TERAKHIR BERJUMLAH 1.343 TRILIYUN RUPIAH."
Kening saya berkerut membaca paragraf terakhir cuplikan komentar tersebut :
"LEBIH DARI 130 JUTA PENDUDUK INDONESIA TIDAK PERNAH BELI BENSIN KARENA TIDAK PUNYA MOTOR APALAGI MOBIL. LEBIH DARI SEPARUH PENDUDUK INDONESIA INI BELASAN TAHUN TIDAK PERNAH MERASAKAN NIKMATNYA SUBSIDI BBM."
Benarkah?
Rakyat Kecil Tidak Merasakan Subsidi BBM?
Meski saya tidak jelas dengan definisi 'rakyat kecil' yang disebut oleh Kompasianer komentator tersebut, asumsi saya langsung tertuju pada petani dan nelayan. Mereka - penjaga kedaulatan pangan kita - hidupnya banyak yang belum sejahtera.
Kita mulai dari nelayan.
Nelayan menangkap ikan di laut. Dan untuk menangkap ikan jauh ke tengah laut, mereka butuh kapal. Pertanyaannya : apakah kapal yang membawa para nelayan itu tidak menggunakan bahan bakar?
Sekarang kita beralih ke petani.
- Petani menggunakan traktor untuk membajak sawahnya. Apakah traktor tidak menggunakan bahan bakar
- Ketika panen, petani menggunakan kendaraan sejenis pick-up untuk mengangkut hasil panennya. Apakah pick-up tersebut tidak menggunakan bahan bakar?
Dari ilustrasi sederhana di atas, saya kembali mengajukan pertanyaan, "Benarkah rakyat kecil tidak merasakan subsidi BBM?"
Sekarang bagaimana jika suatu saat harga BBM berada di titik yang membuat mereka menyerah dan pensiun dari profesinya? Bagaimana jika petani dan/atau nelayan melakukan pensiun massal? Ujung-ujungnya nanti pemerintah juga yang harus repot memberikan insentif ini-itu agar petani/nelayan mau kembali berproduksi.
Selalu Ada Ongkos Angkut
Sekarang perhatikan sepiring makanan dan segelas minuman yang ada di hadapan kita saat ini dan ajukan pertanyaan pada diri sendiri, "Beras untuk nasi ini asalnya dari mana? Tempe ini asalnya dari mana? Cabe untuk sambal ini asalnya dari mana? Teh ini asalnya dari mana? Gula ini asalnya dari mana?"
Setelah menemukan jawabannya, ajukan lagi pertanyaan, "Bagaimana caranya beras yang dari Cianjur bisa sampai ke daerah kita? Bagaimana caranya gula yang berasal dari Jawa Tengah ini bisa sampai ke daerah kita?"
Jawabannya akan bermuara pada satu titik yaitu distribusi (langkah-langkah yang diambil untuk memindahkan dan menyimpan suatu produk dari tahapan pemasok sampai pada tahap konsumen), sementara distribusi sendiri berkaitan dengan transportasi (perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin).
Pertanyaannya, apakah kendaraan yang digunakan sebagai sarana transportasi / distribusi tersebut tidak menggunakan bahan bakar?
Apakah ada pengusaha yang tidak memperhitungkan komponen biaya transportasi/distribusi ketika menentukan harga jual produk yang dihasikannya?
Apakah ada pedagang yang tidak memperhitungkan komponen biaya transportasi/distribusi ketika menentukan harga jual produknya?
Setiap barang yang kita beli mulai dari satu buah peniti sekalipun harganya sudah diperhitungkan dengan ongkos angkut yang harus dikeluarkan. Setiap perubahan harga BBM sedikit banyak akan berpengaruh pada harga produk yang dijualnya.
Tidak Adakah Opsi Lain?
Katakanlah memang benar bahwa subsidi BBM kita salah sasaran, apakah mencabut subsidi BBM merupakan langkah yang tepat? Ibarat telur, kaum kaya adalah telur matang, kaum menengah adalah telur setengah matang, sementara kaum miskin adalah telur mentah. Jika kita ingin ketiganya selamat, perlakuan terhadap ketiganya tentu berbeda.
Jika dikaitkan dengan istilah 'shaking things up', kenapa harus mencabut subsidi BBM yang malahan membuat si telur mentah dan setengah matang terancam pecah karena guncangan?
Sikap saya sedari dulu dalam masalah BBM bersubsidi ini jelas :
"Kurangi saja jumlah pump di setiap SPBU. Jika sebuah SPBU punya 6 pump yang semuanya menjual BBM bersubsidi, sekarang pangkas saja jadi 2-3 pump dengan prioritas untuk kendaraan non-pribadi. Kendaraan pribadi tidak dilarang mengantre di SPBU tersebut asal paham konsekuensinya."
Konsekuensi di sini artinya bisa saja antrean yang panjang sehingga waktu pengisian menjadi lebih lama, bisa juga masalah 'gengsi' yang terusik karena kendaraan pribadinya yang mulus kinclong dan keluaran terbaru harus antre bersama bus yang asapnya hitam, kendaraan pengangkut sayur, bajaj, atau angkutan umum. Atau bisa juga mesti siap mental karena para pengantre tersebut bisa-bisa mengeluarkan tatapan sinis atau mengeluarkan kata-kata yang menohok harga diri si pemilik kendaraan pribadi.
Solusi yang murah dan jelas 'kan?
Tapi ya sudahlah, nasi uduk sudah menjadi bubur ayam.
"Apa rakyat yang tidak punya motor/mobil disuruh menanggung derita supaya 10% penduduk mampu bisa membeli BBM murah ? karena mengemis minta disubsidi." (dicuplik dari komentar Kompasianer yang sama di atas)
Saya bukan 'sok menjadi pembela rakyat kecil' karena saya hanya seorang oportunis yang berupaya agar taraf hidup saya sekeluarga tidak menurun, tapi sekarang saja jelas bahwa kehidupan rakyat di luar yang 10% itu sudah ngos-ngosan karena kenaikan harga yang beruntun di segala sektor.
"Seandainya SBY bisa mengurangi 20% saja dari subsidi selama 10 tahun dan mengalihkannya untuk membangun MRT maka sekarang sudah ada 260 km lebih jalur MRT di Indonesia." (dicuplik dari komentar Kompasianer yang sama di atas)
Plis move on, sekarang saatnya kerja, kerja, kerja, tak usah menyalahkan masa lalu. Kenapa mata letaknya di depan, itu agar kita tak usah sibuk menengok ke belakang dan bisa lebih fokus pada masalah di depan.
Mohon maaf jika tulisan saya kali ini sulit dipahami karena kondisi saya yang belum sepenuhnya pulih, lagipula ini hanya pendapat dari seseorang yang tidak menguasai teori-teori nan njelimet.
Selamat siang, semoga tulisan saya mencerahkan. Buat sang komentator, terimakasih sudah membuat saya terinspirasi melahirkan tulisan ini.
Catatan Penulis :
Saya yakin, rata-rata para pengusaha menjadikan opsi kenaikan harga sebagai pilihan terakhir. Pengusaha biasanya memetakan kondisi sebelum mengeluarkan keputusan soal harga, mana yang bisa dimaksimalkan maka lakukan, mana yang bisa dikurangi maka lakukan, dan lakukan apa yang bisa dilakukan.
Pilihan seorang pengusaha untuk menaikkan harga biasanya diikuti dengan permohonan maaf karena ini merupakan pilihan sulit disertai janji peningkatan kualitas, dst dst. Seandainya biaya hidup pejabat-pejabat negara kita tidak ditanggung negara, mungkin mereka akan berpikir ribuan kali sebelum memutuskan kenaikan harga.
Rujukan :
- Petani & Nelayan Indonesia Belum Sejahtera
- Nelayan di Pangkalpinang Keluhkan Harga Solar Tinggi
- Anak Muda di Desa Pilih Jadi Buruh Pabrik Daripada Petani
- Distribusi dan Transportasi
- Dirjen Anggaran Depkeu : 82% Subsidi BBM Salah Sasaran
- Harga BBM di Indonesia
Tulisan ini masuk kategori “Serba-Serbi” dan dipublish pertamakali di kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H