Mbak Titi menatapku prihatin usai aku mengutarakan maksudku menemuinya pagi ini.
“Kamu perlu berapa?” tanyanya kemudian dengan lembut.
“Sekitar sepuluh juta, Mbak,” jawabku lirih. “Untuk biaya persalinan Nia. Dokter bilang ada kemungkinan Nia dirujuk ke Rumah Sakit untuk menjalani operasi caesar. Aku sama sekali tak punya uang untuk biaya operasi, Mbak.”
“Tapi kondisi Nia baik-baik saja ‘kan?” tanya Mbak Titi, kakakku.
Aku mengangguk.
Mbak Titi bergegas ke kamarnya dan beberapa menit kemudian menyerahkan kartu ATM-nya padaku.
“Ini, kamu pegang saja dulu. Kalau sudah, segera kembalikan ya.”
Mataku berkaca, dadaku terasa sesak.
“Terima kasih, Mbak,” hanya itu yang bisa kuucapkan, “terima kasih.”
Mbak Titi tersenyum.
“Ya sudah, cepat kamu ke Rumah Sakit. Tapi hati-hati, jangan ngebut. Nanti Mbak sama Mas Toro ke sana menjenguk.”
“Iya, Mbak. Terima kasih lagi. Salam buat Mas Toro.”
* * *
Sejak perusahaan tempatku bekerja bangkrut, Mbak Titi dan Mas Toro adalah tempatku memohon bantuan keuangan. Aku sudah tak bisa menghitung berapa besar uang yang aku pinjam dari mereka saat banyak sanak saudara memalingkan muka dariku dan Nia – istriku. Mereka bahkan mencibir ketika tahu bahwa Nia hamil lagi dalam kondisi keuangan kami yang sedang terpuruk saat ini.
“Orang kalo nggak kerja ya gitu, kerjaannya bikin anak!”
“Mau dikasih makan apa anak-anakmu nanti?”
“Kerja dong! Kerja! Kerja! Kerja!”
Aku bukannya bermalas-malasan, sudah puluhan surat lamaran kukirim, namun tak ada satupun yang memberi jawaban. Teman-teman yang kuhubungi selalu memberi jawaban mengambang, beberapa bahkan menghindar begitu mereka tahu bahwa aku sedang mencari pekerjaan.
“Aku nggak janji, nanti coba aku tanyakan,” begitu rata-rata jawaban yang kudapat. Aku tak menyalahkan mereka, karena mencari kerja saat ini sangat sulit. Dengan usiaku yang menginjak 32 tahun dan hanya bermodal ijazah D3, pekerjaan apa yang bisa kudapat?
Sejujurnya, Mas Toro dan Mbak Titi pernah memberiku sejumlah uang sebagai modal membuka usaha. Namun dalam waktu kurang dari setahun, seluruh modal habis tak bersisa, kami bahkan terlibat utang dengan bank.
Jika Tuhan itu ada, kenapa Dia berlaku tidak adil?!
Kadang aku merasa iri pada Mbak Titi dan Mas Toro…
* * *