[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Orangtua perlu mendampingi anaknya belajar (sumber foto : suaramerdeka.com)"][/caption]
Di tahun ajaran baru ini saya melihat ada dua peristiwa yang membuat saya merenung tentang apa yang seharusnya dilakukan orangtua.
Peristiwa pertama berhubungan dengan anak dari kerabat saya (selanjutnya saya sebut ‘keponakan’ saja untuk mempermudah) yang waktu itu melakukan pendaftaran sekolah via online. Hanya dalam waktu beberapa jam, si anak sudah terlempar dari deretan murid yang lolos seleksi untuk bersekolah di SMP pilihannya. Saya ingat betapa terpukulnya si anak ketika melihat namanya sudah tidak ada di sekolah-sekolah yang menjadi pilihannya. Suhu tubuhnya langsung meningkat, dan dia demam. Saya juga ingat ketika si ayah menjemputnya dari tempat saya sepulang kerja, si anak menangis dan mereka berbicara empat mata – entah apa yang dibicarakan.
“Sudahlah. Masih ada Seleksi Tahap 2 dan 3,” begitu kata ayahnya.
Malangnya, di seleksi tahap 2 inipun si anak sudah mengalami nasib yang sama, namun kali ini dia sudah lebih siap sehingga tidak lagi kelihatan down.
Peristiwa kedua terjadi pada putri saya sendiri yang saat ini naik ke kelas IV. Pada hari pengambilan rapor, dia pulang sambil menangis sesenggukan.
“Kenapa?” tanya saya.
“Rankingnya turun,” jawab istri saya.
Ya, putri saya yang sejak kelas I – bahkan sejak TK – selalu menduduki peringkat pertama, hari itu harus mengalami kenyataan pahit. Kali ini putri saya menduduki peringkat II, dan itu membuatnya murung seharian.
Akibat Cara Belajar yang Asal-asalan?
Dari kedua peristiwa tersebut, otak saya berputar untuk menarik kesimpulan berdasar data dan fakta yang ada.
Sebenarnya keponakan saya tersebut termasuk anak pintar dalam kesehariannya. Peringkatnya sejak kelas I sampai kelas III – menurut cerita orangtuanya – selalu masuk 10 besar (biasanya ybs ada di peringkat 4-7). Namun warning sebenarnya sudah nampak saat peringkatnya melorot drastis ketika kelas IV dan V (peringkat 19 kata orangtuanya lagi, saya tidak tahu pasti).
Sayangnya, sepanjang penglihatan saya dan istri, kedua orangtua si anak tersebut masih tenang-tenang saja. Keduanya memang tipe pekerja yang “berangkat pagi pulang malam” sampai jam 10-11 sehingga mungkin tidak ada waktu buat mereka mendampingi dan memantau proses belajar anak-anaknya. Saya tahu si anak memang belajar, tapi yah namanya belajarnya anak-anak, jawabannya benar atau salah juga siapa yang tahu.
Sementara untuk putri saya sendiri, harus diakui pengawasan istri saya agak longgar belakangan ini. Hal tersebut disebabkan terkurasnya waktu dan tenaga istri saya untuk mengurus anak kedua yang saat ini berumur 15 bulan. Repotnya lagi, putri saya selalu menolak belajar bersama saya,
“Enakan sama ibu,” begitu katanya.
Akibatnya putri saya baru mengerjakan PR-nya pagi-pagi sebelum berangkat sekolah. Dan karena waktu yang mepet, akhirnya jalan pintaslah yang dicari. Kami sebagai orangtua langsung memberitahu saja jawaban yang benar karena tidak ada cukup waktu untuk berdiskusi membahas PR yang sedang dia kerjakan saat itu.
Dan akhirnya kedua anak tersebut menjadi korban dari cara belajar yang asal-asalan.
Peran Orangtua
Kesimpulannya,
“Orangtua ternyata sangat berperan dalam proses belajar anak”
Terlepas dari daya tangkap anak dalam menyerap pelajaran di sekolahnya, pendampingan orangtua nampaknya mutlak diperlukan ketika anak belajar di rumah. Saat ini terlalu banyak faktor yang bisa mengalihkan fokus anak dari kegiatan utamanya yaitu belajar. Tayangan televisi, media sosial, dan perangkat permainan elektronik adalah sebagian diantaranya. Pendampingan orangtua setidaknya bisa sedikit membantu si anak untuk lebih fokus pada kegiatan belajarnya.
Sedikit cerita, istri saya memang mudah bergaul dengan siapa saja sehingga bisa sedikit mendapat bocoran dari ibu yang anaknya berhasil menjungkalkan putri saya dan merebut peringkat I. Ternyata si ibu ini meninggalkan posisinya di sebuah bank swasta asing “hanya” untuk mengawasi anaknya belajar di rumah. Sebuah usaha yang tidak sia-sia.
Orangtua juga harus konsisten menetapkan jam belajar buat anak karena tanpa konsistensi, program secanggih apapun mustahil membawa hasil optimal. Saya ingat dulu orangtua saya menerapkan jadwal harian untuk anak-anaknya sbb :
- Jam 14.00 saatnya tidur siang
- Jam 16.30 wajib bermain di luar rumah (supaya bisa bersosialisasi, dan ini yang saya paling tidak suka hehehe)
- Jam 18.00 (Maghrib) sudah harus ada di rumah
- Jam 19.00-21.00 saatnya belajar atau nonton TV
- Jam 21.00 harus nonton siaran Dunia Dalam Berita (untuk tambahan pengetahuan di luar bangku sekolah)
Jadwal harian itu konsisten diterapkan ayah saya. Untuk anak-anaknya yang masih SD, aturan itu dibarengi hukuman bila tidak dilaksanakan. Sementara untuk anak-anak yang sudah SMP memang tidak ada lagi hukuman, tapi ayah selalu menekankan bahwa segala resiko akan ditanggung si anak ybs.
"Mau nilai turun, mau nggak naik kelas, dll toh kamu sendiri yang merasakan," begitu kata beliau.
Penutup
Jadi, sepertinya di tahun ajaran baru ini istri saya bakal kembali mendampingi putri saya belajar agar bisa merebut kembali posisinya sebagai peringkat pertama.
Sedikit cerita, belakangan ini saya sering meledek putri saya dengan menyanyikan bait terakhir lagu ‘Halo-halo Bandung’.
“Mari bung rebut kembali!”
Saya juga suka meledek putri saya dengan pertanyaan,
“Gimana rasanya peringkatnya turun? Enak?”
Dan biasanya dia merajuk, mencubit saya, kemudian berkata,
“Sakiiit pake banget…”
Semoga tulisan ringan ini bisa menjadi inspirasi, maaf bila ada kalimat yang tidak berkenan, saya tidak bermaksud menggurui. Selamat berakhir pekan!
Tulisan ini masuk kategori “Serba-Serbi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H