Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

'Melepas Baju' Saat Membaca Tulisan Orang Lain

14 Maret 2015   13:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:40 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14263402371557942412

[caption id="attachment_402818" align="aligncenter" width="600" caption="namanya komunitas memang berwarna-warni, jagalah supaya tetap harmonis (sumber : mashable.com)"][/caption]

Kompasiana ibarat sebuah rumah kos dengan penghuni yang memiliki beragam karakter dan latar belakang.  Ada yang bawaannya selalu serius, ada pula yang tidak, ada yang berasal dari wilayah barat Indonesia, ada pula yang dari timur, ada yang 'beruntung' mengecap pendidikan tinggi , ada pula yang tidak, ada yang bersuara halus, ada pula yang bersuara keras menggelegar, ada yang sudah mapan ekonominya, ada pula yang saat ini sedang tertatih-tatih menata kembali hidupnya.

Pendek kata, mungkin segala karakter dan latar belakang tumplek blek jadi satu di sini - bahkan bisa jadi termasuk seorang lelaki berkeluarga yang punya hobi menggoda wanita-wanita di komunitasnya dengan 'menjual' citra sukses dan inteleknya.

Karena faktor keberagaman itulah, tulisan-tulisan yang hadir dan berseliweran di Kompasiana ini sebenarnya menarik untuk dicermati - terutama tulisan yang bersifat opini.

Kenapa?  Karena sebuah opini hampir bisa dipastikan akan menyertakan pendapat pribadi si penulisnya, pendapat yang lahir dari karakter dan latar belakang penulisnya.

Untuk contoh mudahnya kita ambil fakta melemahnya rupiah terhadap dollar belakangan ini.  Dalam menyikapi fakta ini setidaknya kita akan menemui tiga pendapat yang berbeda :


  1. Mereka yang memiliki aset investasi dalam bentuk dollar kemungkinan akan tersenyum karena bila dirupiahkan nilai investasi mereka akan meningkat.  Bisa jadi dalam hati mereka akan berharap semoga dollar terus naik, "Biar untung saya makin tinggi."
  2. Mereka yang - misalnya - berencana membeli komponen komputer mungkin harus menunda keinginannya sambil melihat situasi karena naiknya dollar akan langsung mempengaruhi harga komponen tersebut.  Jikapun sudah mendesak karena komponen itu sangat vital sifatnya, mau tidak mau calon pembeli harus merogoh kocek lebih dalam.
  3. Di luar itu, pasti ada kelompok yang mengambil sikap masa bodoh.  "Jangankan dollar, nyari duit rupiah aja susahnya bukan main," begitu rata-rata komentarnya.

Apa Hubungannya?

Lewat tulisan ini saya hanya ingin mengingatkan perlunya kita memahami posisi si penulis artikel tatkala kita membaca tulisannya.  Namun bukan sekadar memahami, yang lebih penting lagi adalah kita harus - setidaknya - mampu menempatkan diri dalam posisi si penulis.  Dengan menempatkan diri di posisi si penulis, kita yang kebetulan tidak memiliki nasib yang sama akan mendapatkan sudut pandang baru dalam memahami sebuah fakta.

Contoh ekstrem, sebagai seorang yang beragama, saya tertarik untuk mengetahui bagaimana konsep Tuhan dalam pandangan seorang atheis.  Sebagai seorang muslim, saya bisa manggut-manggut membaca tulisan seorang non-muslim terhadap agama saya - terlepas dari saya setuju dengan pendapatnya atau tidak.  Sebagai seorang bersuku Jawa, saya bisa mengerti apabila ada pendapat yang dituliskan teman-teman dari suku lain.

Sekali lagi, terlepas dari apakah saya setuju atau tidak dengan pendapat si penulis, setidaknya saya mendapatkan satu sudut pandang baru - sudut pandang 'orang lain' yang bukan 'saya' atau 'kita'.  Dari sudut pandang itu, saya bisa semakin memahami orang lain.

Sayangnya memang belakangan ini kemampuan untuk menempatkan diri di posisi orang lain sudah mulai menghilang.  Ini juga terjadi di tempat lain, tidak hanya di Kompasiana.  Sebagian netizen tidak bisa 'melepaskan baju' yang dikenakannya ketika membaca tulisan orang lain yang dianggap melecehkan 'bajunya'.  Karena ketidak-mampuannya 'melepaskan baju' inilah, ybs secara tidak sadar sudah keliru menempatkan diri sehingga salah menangkap makna dari tulisan yang dibacanya.

Sebagai contoh, tulisan yang mempertanyakan kinerja presiden ditanggapi dengan keras oleh sebagian Kompasianer yang tidak mampu 'melepaskan baju' jagoannya , seperti halnya tulisan yang menyoroti gaya bahasa seorang gubernur ditanggapi secara keliru oleh sebagian Kompasianer yang tidak mampu 'melepaskan baju' jagoannya.  Lucunya, mereka yang tidak mampu 'melepaskan baju' ini malah sering menyuruh orang lain 'melepaskan bajunya' dengan kata-kata seperti, "Move on dong!".

Semoga saya terhindar dari hal seperti itu.

Emosi?  Wajar

Ketika memutuskan mengeklik sebuah tulisan, saya sudah memutuskan untuk menerima apapun yang hendak penulisnya sampaikan sembari memahami posisi ybs, walau mungkin tulisan itu memerahkan telinga dan memanaskan hati.

Emosi?  Wajar.  Karena itu saya diam sejenak mencerna seluruh tulisan hingga saya mendapatkan intinya kemudian menanggapi tulisan tersebut dengan - meminjam istilah Kompasianer Nararya - tidak melakukan argumentum ad hominem alias menyerang pribadi si penulis.  Yang saya tanggapi adalah 'keyakinannya', pendapatnya yang dikeluarkan dalam sebuah tulisan sekaligus saya menyertakan pendapat saya agar ybs juga memahami posisi saya.  Namun sayangnya, kebanyakan yang saya temui tidak memahami posisi saya dan terus ngotot mengatakan pendapat saya salah.

Jika saya tidak mampun mendapatkan inti tulisan itu?  Hehehe mungkin tulisan itu memang nggak jelas apa maksudnya sehingga saya tinggal saja.

Hanya, meski saya fine-fine saja orang mau nulis apa, pada akhirnya tangan saya bergerak untuk memutuskan sebuah hubungan pertemanan karena ybs mengeluarkan tulisan yang menurut saya 'kelewatan' dengan menyerang Kompasianer lain dan menyumpahi dengan 'ancaman' Kompasianer itu akan mati kena penyakit.

Ini mungkin seperti Kompasianer Tjiptadinata Effendi yang menepuk bahu seorang supir taksi dan berkata, "Sudah cukup!" ketika supir taksi tersebut tak henti menceritakan keburukan pemerintah.  Ya, mencela memang hak, tapi saya juga punya hak untuk tidak terus-menerus terpapar dengan celaan dan/atau pengkultusan yang dilakukan seseorang.

Jadi, sudah siapkah kita menerima pendapat orang lain yang berbeda?  Mohon maaf apabila tulisan saya ini tidak runut dan sulit dipahami.  Semoga ada hikmah yang bisa diambil, selamat berakhir pekan!

Tulisan ini masuk kategori “Relationship” dan dipublish pertamakali di kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun