Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kejutan

23 Februari 2015   06:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:41 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14246225551083521978

“Mas, sudah makan?”

Sebaris pesan melalui BBM kukirimkan pada Mas Satya yang sudah 5 tahun menjadi suamiku.   Tiga menit kemudian, smartphoneku berbunyi pendek sebagai notifikasi ada pesan masuk.

“Sudah, Dik.  Kamu sendiri?”

Aku tersenyum.  Mas Satya memang selalu cepat membalas pesanku – meski aku tahu ia sangat sibuk sebagai Marketing Manager sebuah perusahaan otomotif ternama.

Sudah, Mas.  Gimana kerjaan?” tanyaku lagi.

“Yah gitu deh, nggak ada habisnya :)

“Sesibuk apapun, jaga kesehatan ya Mas.”

“Pasti, Dik.  Ah, coba kamu ada di sini.” Balasnya kemudian.

Selalu.  Entah kenapa kalimat itu membuatku semakin cinta dengannya.

Coba kamu ada di sini.

Dan biasanya kalimat itu akan mengakhiri percakapan kami berdua.

* * *

Pagi itu setelah Mas Satya berangkat bekerja, aku mendapat satu kejutan yang tak aku sangka – sebuah hadiah terindah yang selama ini aku nantikan.

Benarkah ini?

Aku nggak salah liat?

Akhirnya!

Aku kemudian buru-buru menelepon Cita – adik Mas Satya – mengabarkan kejutan yang aku dapat.

“Beneran, Mbak?” tanya Cita tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

“Beneran!” seruku, “Mbak juga nggak nyangka.”

“Wah!  Mas Satya gimana?”

“Dia belum tau.”

“Kalo gitu, kita harus kasih dia surprise!  Kita ke kantornya!”

“Mmm… perlu ya?” tanyaku ragu, “Nggak nunggu Masmu pulang aja?”

“Aah kelamaan!” seru Cita.

“Tapi…” aku mencoba protes.

“Nggak pake ‘tapi’,” potong Cita, “Selesai Mbak ngajar nanti, aku sama Juna bakal jemput Mbak.  Tunggu ya, jangan ke mana-mana.”

Klik!

Telepon ditutup.

* * *

Mobil yang dikemudikan Juna membelah jalanan ibukota.  Sepanjang perjalanan menuju kantor Mas Satya, entah kenapa aku merasa melakukan sebuah kesalahan.

“Kenapa, Mbak?” tanya Cita yang duduk di samping Juna.

“Hm… nggak, nggak ada apa-apa,” sahutku mencoba bersikap tenang.

“Jangan bohong,” potong Cita,” Dari tadi Mbak ngeliatin handphone terus.  Ada apa?”

Aku mendesah.

“Terus-terang, Mbak sebenarnya agak ragu mau ke kantor Masmu,” aku berkata lirih.

“Lho?  Kenapa?” tanya Cita.

“Ini,” aku menyodorkan smartphoneku pada Cita, “Status BB Masmu ini ‘sibuk’.”

“Terus?”

“Biasanya Mbak nggak berani ganggu Masmu kalo statusnya lagi seperti ini.”

“Oh,” Cita tampak bimbang, “Tapi… sekali-sekali aja nggak apa-apa kali Mbak.”

“Iya sih.  Moga-moga ya…” sahutku.

Juna yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan kami sembari mengemudi tiba-tiba berujar,

“Coba telpon kantornya aja dulu, takutnya Mas Satya memang lagi nggak di kantor.”

“Ya itu, Mbak!  Telpon kantornya aja dulu!” tambah Cita.

Aku mengangguk mendengar saran mereka berdua.   Sekejap kemudian jemariku menelusuri daftar kontak dan menghubungi salah satu nomor yang tersimpan di dalamnya.

“Selamat siang?” sapaku kemudian, “Bisa tolong ke extention 4013?”

Setelah menunggu beberapa menit, aku tersambung dengan Indah – sekretaris Mas Satya.

“Halo, Mbak Indah, ini Lily…” sapaku.  Aku cukup mengenal Indah dan beberapa kali bertemu dengannya

“Hai, Ibu Lily, apa kabar?” sapa Indah ramah.

Jujur saja, Indah adalah wanita sempurna dambaan setiap laki-laki, dan pernah beredar gosip adanya hubungan yang tidak biasa antara Mas Satya dengan Indah.  Namun ketika melihat Indah, intuisiku mengatakan bahwa sedekat-dekatnya hubungan antara ia dengan Mas Satya adalah hubungan persahabatan – tidak lebih dari itu.

“Kabar baik.  Pak Satyanya ada?” tanyaku.

“Pak Satya?” suara Indah terdengar sedikit aneh, “Sebentar ya Bu, Indah coba sambungkan ke ruangan bapak…”

Berikutnya terdengar bunyi ‘tut’ diikuti nada panggil berkali-kali.  Namun panggilan itu tak kunjung diangkat.  Sekali.  Dua kali.  Tiga kali.  Kemudian terdengar bunyi ‘tut’ lagi.

“Maaf, Bu Lily,” telepon kembali dihandle oleh Indah, “Sepertinya Pak Satya belum kembali ke ruangannya sejak jam makan siang tadi.   Setahu Indah memang siang ini Pak Satya ada jadwal meeting.  Mungkin perlu Indah kirim pesan ke Pak Satya?”

“Oh nggak usah, Mbak,” tukasku buru-buru, “Nanti biar saya coba telpon Pak Satya.  Makasih banyak ya, Mbak.”

Aku menutup pembicaraan.

“Jadi?” tanya Cita.

“Masmu nggak di kantor.  Kita pulang aja,” jawabku.

Cita mengangkat bahu dan memandang Juna yang hanya mengangguk.  Mobil pun berputar arah, kembali ke rumah.  Aku menatap jalanan dengan pandangan kosong dan sedikit kecewa.

“Maaf ya Mbak,” ujar Cita yang terlihat tak enak hati, “Mbak jadi capek dan sia-sia kita jalan.”

“Ah nggak apa-apa,” aku mencoba menghibur Cita, “Toh masih ada waktu.  Masmu kan nanti sore pul…”

Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku.  Sekilas mataku tadi seperti menangkap sesuatu yang sangat kukenal.

“Stop!  Stop!” seruku pada Juna.

“Ada apa, Mbak?” Cita kebingungan.

“Stop!  STOP!”

Juna dan Cita saling pandang.

“STOP!” teriakku lebih kencang.

Juna menghentikan mobilnya disusul jeritan klakson dari mobil-mobil di belakang kami.

Aku tak peduli.

Aku menghambur keluar dari mobil Juna disusul Cita.

“Mbak!” panggilnya, “Kenapa?  Ada apa?  Kok mendadak minta berhenti?”

Aku tak mempedulikan ucapannya.  Aku hanya ingin memastikan penglihatanku.

“Mbak!” seru Cita lagi, “Kenap…?”

Adik iparku itu kini menutup mulut dengan kedua tangannya, matanya terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Mas Sa… tya?” ujarnya terbata-bata.

Sesungguhnya akupun tak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini.

Aku melihatnya.

Melihat suamiku.

Ia sedang berjalan menuju mobilnya.

Keluar dari lobi hotel.

Bersama seorang perempuan…

Tubuhku terasa lemas tak bertenaga.

Penantianku…

Lima tahun penantianku hancur hari ini.

Perempuan itu, aku mengenalnya.

Ia salah satu orangtua murid di kelasku.

“Mas Satya!” itulah kalimat terakhir yang kudengar dari mulut Cita, setelah itu semuanya gelap.

Sayup aku teringat kejutan yang ingin kusampaikan pada cintaku Mas Satya, selarik kertas tipis sepanjang jari dengan dua buah garis berwarna merah muda pada ujungnya.  Dua garis yang baru muncul pagi ini.

Sebuah test pack.

Kehamilan yang sudah lima tahun aku nantikan semenjak pernikahan kami...

Catatan Penulis :

Kisah ini adalah fiksi belaka.  Kesamaan nama merupakan ketidak-sengajaan dan tidak merujuk pada pribadi-pribadi di dunia nyata.

Sumber gambar : bungarangkaian.com

Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun