Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kartun Bagus itu Nggak Cuma Upin & Ipin atau Masha & The Bear

4 Januari 2015   10:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:51 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420313939661837239

[caption id="attachment_344716" align="aligncenter" width="600" caption="Tokoh-tokoh dari anime Pretty Rhythm Dear My Future (sumber gambar : fafazil1996.centerblog.net)"][/caption]

Beberapa waktu lalu saya membaca tulisan seorang rekan Kompasianer tentang perlunya mewaspadai film kartun.  Buat saya pribadi, tulisan tersebut semakin memperjelas adanya keresahan sebagian orangtua akan pengaruh buruk yang dibawa film-film kartun.  Dan dalam tulisannya, rekan kita itu memberikan masukan film-film kartun mana saja yang layak ditonton anak-anak, dan mana yang bisa memberi pengaruh buruk.

Melalui tulisan ini saya tergelitik untuk ikut berbagi pandangan sebagai penyuka film kartun utamanya anime, karena itu pendapat saya bakal lebih banyak didasarkan pada pengalaman dan pengamatan saya terhadap kartun buatan Jepang tersebut.

Saya sepakat bahwa tidak semua film (kartun) layak ditonton anak-anak kita.  Anime yang menggambarkan kekerasan di luar batas dan digambarkan secara eksplisit (misalnya pedang yang menusuk tubuh lawan, darah yang muncrat, dsb) ataupun sexual content baik terselubung maupun terangan-terangan yang digunakan sebagai pemancing tawa ataupun ‘pemancing’ yang lain (tersentuhnya ‘bagian tubuh’, pertunjukan ‘daleman’ baik sengaja maupun tidak, dll) jelas tidak diperuntukkan bagi penonton cilik.  Sementara untuk kartun barat kita tahu sendiri ada adegan-adegan slapstick yang cenderung sadis seperti tubuh terpotong-potong atau bolong-bolong terkena pisau atau tembakan, juga saling menghantam lawan menggunakan benda-benda seperti besi, dll yang ironisnya dijadikan bahan lawakan.

Oke cukup.  Daftarnya bisa panjang, mungkin Kompasianer berkenan menambahkan.

Sekali lagi saya sepakat bahwa film-film semacam itu tidak layak dikonsumsi anak-anak.

Kita yang Harus Menjaga Mereka

Menurut saya, orangtua memang harus berupaya keras menciptakan kondisi ideal bagi tumbuh-kembang anak-anaknya baik secara fisik maupun mental – salah satunya menuntut agar stasiun televisi hanya menyiarkan acara yang ‘baik-baik’ saja.  Harus diakui memang, apa yang kita tonton berpotensi mempengaruhi pikiran, sikap, ucapan, dan tindakan kita.

Akan tetapi menggantungkan sepenuhnya ‘nasib’ anak-anak kita pada ‘kebaikan hati’ pengelola kotak kaca tersebut juga bukan tindakan yang tepat.  Pada dasarnya stasiun televisi adalah pedagang, dan pedagang akan selalu berorientasi profit.  Walau kita teriak-teriak seperti apa pun, jika tuntutan kita berpotensi mengancam pendapatannya ya tentu tidak akan dipedulikan.

Karena itu, kita sendiri yang harus bertindak memasang filter terhadap apa yang mereka tawarkan.  Ibaratnya, jika mata kita silau terkena sinar matahari, kita tidak mungkin meminta matahari untuk meredupkan sinarnya bukan?  Kita sendiri yang harus berupaya menyelamatkan mata kita – misalnya dengan membeli kacamata hitam.

Begitu pula sikap kita terhadap anak-anak.  Kita yang harus menjaga mereka.  Kita yang harus memberikan filter agar anak-anak kita tidak mudah dipengaruhi oleh tayangan yang mereka tonton.

Luangkan sedikit waktu untuk menemani anak-anak menonton dan mengetahui apa yang menjadi kesukaan mereka.  Dan ketika kita menyadari ada yang ‘tidak beres’ dengan tayangan tersebut, sebaiknya tak perlu reaktif dan buru-buru mengeluarkan komentar yang menyudutkan apalagi menyalahkan.  Diam saja dan cermati apakah ‘ketidakberesan’ itu memang menu rutin tayangan tersebut atau ‘hanya’ muncul di satu dari beberapa episode. Caranya?  Ya kita sebagai orangtua harus menonton sendiri tayangan tersebut.

Jika kita sudah yakin bahwa ‘ketidakberesan’ itu adalah hal yang rutin, berikan pemahaman pada anak tentunya dengan cara yang santai, bersahabat, jauh dari kesan menggurui, bahkan bila perlu lewat candaan dan celetukan ringan saat kita menonton tayangan tersebut bersama anak.  Minimal cara seperti itu akan membuyarkan fokusnya pada tayangan yang ia tonton sehingga pesan-pesan negatif dari acara tersebut tidak masuk ke otaknya.

Sedikit cerita, saya tidak pernah melarang-larang putri pertama saya menonton acara kesukaannya, apalagi di usianya yang menginjak 10 tahun saat ini dimana nggak mungkin mengharapkan dia masih seneng nonton Dora the Explorer atau Mickey Mouse Clubhouse misalnya.  Saya paham saat ini dia butuh sosok baru yang sesuai dengan perkembangannya, karena itu saya memberikan kepercayaan pada putri saya meski jujur saya tidak sepenuhnya melepas pengawasan.  Kepercayaan itu sudah terbangun semenjak ia masih kecil dan saya sering menemaninya nonton sehingga sedikit banyak saya tahu film-film seperti apa yang disukainya, bahkan ketika dia mengakses YouTube.

Anak-anak Kita Bukanlah Kita

Menganggap anime (dan kartun) sebagai tayangan buat anak-anak jelas salah, tapi mencap anime dan kartun sebagai pembawa pengaruh buruk juga tidak tepat.  Setidaknya saya tahu beberapa anime yang justru mengajarkan nilai-nilai positif seperti sportivitas, kejujuran, persahabatan yang tulus, dan kerja keras untuk meraih impian.  Anime seperti Aikatsu, Pretty Rhythm, Cardfight Vanguard, atau anime klasik Captain Tsubasa menanamkan nilai-nilai positif bahwa keberhasilan akan didapat melalui kerja keras (beda dengan Doraemon dan Nobita yang serba instan).  Atau kisah tentang lebah muda Hachi yang mencari ibunya, ada pesan moral tentang keikhlasan menolong orang lain meski diri sendiri sedang dirundung masalah.

Mungkin Kompasianer bisa menambahkan?  Ikkyu-san?  Minky Momo?  Spirited Away?  Chihayafuru?

Dan jangan paksa anak menonton Upin & Ipin, Doraemon, atau Masha & The Bear hanya karena menurut kita film-film itu bagus.  Ingat, anak-anak kita bukanlah kita.  Biarkan mereka memilih apa yang mereka sukai, tugas kita adalah membimbing dan memberikan pemahaman pada mereka.

Semoga tulisan saya kali ini bermanfaat.  Maaf jika penuturan dalam tulisan ini terkesan kacau.  Selamat pagi!

Tulisan ini masuk kategori “Buku, Film, dan TV” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun