Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Kamu Orang Mana?"

15 Agustus 2014   23:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:27 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Indonesia (sumber foto : facebook)"][/caption] Sewaktu kecil – lebih tepatnya lagi sewaktu masih tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, saya cukup sering ditanya seperti itu.

“Kamu orang mana?”

Karena saya merasa diri orang Jawa, maka biasanya saya menjawab bahwa saya orang Jawa.  Tapi jawaban itu tidak memuaskan mereka.

“Kok nggak keliatan Jawanya?  Trus nama kamu juga kenapa belakangnya huruf ‘a’ bukannya ‘o’?”

Jujur saja, kata orang (kata orang lho ya) wajah saya memang tidak kelihatan Jawa.  Bahkan ketika sudah bekerja di Jakarta pun, seorang rekan kerja mengajukan pertanyaan yang cukup mengejutkan,

“Kamu pribumi ‘kan?”

Dan pertanyaan itu dilanjutkan dengan kalimat,

“Soalnya muka kamu keliatannya kaya’ orang seberang.”

Entah seberang mana, saya tidak berminat mencari tahu.

Beda Jawa dan Jakarta

Pertanyaan ‘kamu orang mana?’ waktu itu menjadi satu pertanyaan lazim di kota tempat orangtua saya dilahirkan.  Saya pun jadi menganggap biasa pertanyaan semacam itu.

“Saya orang Jawa.” “Dia orang Arab.” “Kamu orang Cina.”

Sejauh yang saya tahu, pertanyaan semacam itu sampai saat ini tidak menimbulkan gesekan.  Kehidupan di kota tersebut berjalan harmonis dengan tiga etnis yang dominan seperti saya tulis di atas.  Itu mungkin karena tingkat ekonomi yang merata – tidak didominasi etnis tertentu. Hingga ketika saya merantau ke Jakarta, saya terkejut mendapat kenyataan yang sangat berbeda.  Sungguh saya tidak menduga bahwa di kota ini pertanyaan seperti itu sangat dihindari.  Pertanyaan ‘kamu orang mana?’ selalu ditanyakan dengan nada yang terdengar menakutkan – apalagi jika itu diajukan di ruang publik dan ditanyakan oleh orang asing. Sekali-dua kali saya menemui hal yang menakutkan ketika segerombolan orang naik ke bus umum yang saya tumpangi dan berkata bahwa mereka mencari orang dari etnis tertentu (biasanya dari Tionghoa, Indonesia Timur, atau sebagian Sumatera.  No SARA, please).  Jika mereka menemukan orang dengan ciri yang dianggap cocok, orang tersebut akan dibawa turun dari bus.  Entah apa yang akan terjadi, saya tidak berani membayangkannya. Ketika ngobrol ngalor-ngidul dengan beberapa rekan kerja, salah seorang dari kami nyeletuk bahwa dulu semasa sekolah dia biasa nongkrong di perempatan jalan.  Kemudian ketika ada motor dengan penumpang dari satu etnis tertentu, rekan saya mengaku langsung menghampiri orang tersebut dan melayangkan bogem mentah tanpa alasan!  Sesuatu yang – sepengetahuan saya – tidak pernah terjadi di kampung saya. Saya juga mendengar cerita tragis seorang rekan kerja saya (seorang satpam) yang harus menjemput kematian dengan cara tak terbayangkan – dibunuh oleh seseorang, entah apa masalahnya.  Padahal saya tahu yang bersangkutan adalah orang yang lembut dan memiliki tutur kata yang baik meski memang logat daerahnya tetap tidak bisa dihilangkan.

Impian Saya

Menyambut 69 Tahun Indonesia Merdeka, rasanya ini PR terbesar kita.  Bagaimana memandang keberagaman etnis di Indonesia sebagai sebuah kekayaan, sebuah modal untuk Indonesia yang lebih baik.

“Saya orang Sumatera”, “Saya orang Jawa”, “Saya orang Kalimantan”, “Saya orang Madura”, “Saya orang Bali”, “Saya orang Timor”, “Saya orang Sulawesi,” “Saya orang Ambon”, “Saya orang Papua”, “Saya orang Arab”, “Saya orang Cina”.

Mungkin impian saya mewakili sebagian besar kita, saya bermimpi kita semua bersatu dalam keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika dan dengan bangga mengatakan,

“Saya orang Indonesia.  Kami orang Indonesia.  Kita orang Indonesia!”

Mendadak ponsel berdering.  Ayah saya rupanya menelepon, nama belakangnya adalah “Riono” yang berasal dari kalimat dalam bahasa Jawa “RI ono” alias “RI ada”.  Menjelang 17 Agustus ini, saya sudah hapal salam apa yang akan diucapkan beliau ketika menelepon,

“Merdeka!”

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-69! Mohon maaf apabila ada tulisan saya yang tidak berkenan di hati Kompasianer.  Sebagai penutup, sila nikmati salah satu video klip portfolio saya di bawah ini : Catatan Tambahan :

Tulisan ini terinspirasi dari ucapan seorang presenter Mas Krisbiantoro yang selalu dengan tegas mengatakan, "Saya orang Indonesia!" ketika mendapat pertanyaan "Mas Kris orang mana?" Khusus beberapa hari ini, sila cek foto profil saya, apa memang muka saya nggak Jawa banget?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun