Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Joko, Kamu Bisa Kerja Nggak Sih?

27 Februari 2015   23:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:24 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425027935384319006

Yayat tersenyum puas membaca iklan lowongan pekerjaan yang baru dipasangnya.  Dibacanya berkali-kali iklan tersebut untuk memastikan tidak ada kesalahan :

DICARI

Seorang Pengurus Rumah

Status dan pengalaman tidak diutamakan

Pelamar akan menjalani proses seleksi

Hubungi : Yayat

Sebagai orang kaya di kampungnya, Yayat merasa perlu memiliki seorang pengurus rumah untuk menggantikan pengurus rumah sebelumnya - Bambang - yang masa kontraknya sebentar lagi akan berakhir.

"Tugas pengurus rumah itu nggak gampang," tutur Yayat suatu ketika.  "Ia harus bisa mengatur segala urusan di rumah ini mulai dari urusan gaji pekerja, menghadiri pertemuan warga, memastikan gudang makanan kita selalu terisi, juga mengurusi maling yang banyak berkeliaran belakangan ini.  Karena itu, pengurus rumah punya hak istimewa untuk menentukan siapa saja yang bisa bekerja dengannya."

Sejak berdiri, sudah enam orang yang menjadi pengurus rumah tersebut, dan masing-masing punya gaya tersendiri.  Yayat memakluminya karena situasi yang dihadapi setiap pengurus rumah berbeda-beda.

Singkat cerita, hanya ada dua pelamar yang menarik perhatian Yayat.  Pelamar pertama bernama Prabu, dan yang kedua bernama Joko.  Menurut resumenya, Prabu pernah menjadi menantu eks pengurus rumah ini, sementara Joko adalah seorang pedagang yang namanya sedang naik daun dan populer di kalangan pekerja rumahnya.

Dipanggillah kedua pelamar ini untuk sesi wawancara terbuka.

"Pak Prabu," ujar Yayat.  "Apa fokus utama Anda jika kelak menjadi pengurus rumah ini?"

"Begini, Pak," jawab Prabu.  "Beberapa bagian rumah ini banyak yang bocor.  Fokus utama saya nanti adalah memperbaiki kebocoran itu."

"Hm... hm..." Yayat manggut-manggut kemudian menoleh pada Joko, "kalo Pak Joko?"

"Saya punya program - utamanya untuk memajukan pendidikan dan kesehatan anggota rumah ini, Pak," jawabnya seraya mengeluarkan tiga buah benda kecil dari saku bajunya.  "Dengan ketiga benda yang akan saya bagikan di rumah ini, masalah pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan akan teratasi."

"Lho?  Dananya dari mana, Pak Joko?" potong Prabu.  "Uangnya nggak jatuh dari langit, lho."

Mendapat pertanyaan seperti itu, Joko menjawab dengan tenang,

"Dananya ada.  Nyari duit 40 tail itu gampang, gampang sekali.  Tinggal kita mau kerja atau nggak?"

Yayat tersenyum.  ia akhirnya membuat keputusan untuk memilih Joko sebagai pengurus rumah yang baru.  Prabu sempat protes, tapi keputusan sudah dibuat.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan.  Tak terasa sudah tiga bulan Joko menjabat sebagai pengurus rumah Yayat.  Selama itu pula beberapa kali Yayat dibuat terperanjat dengan keputusan-keputusan yang diambil Joko.  Mulanya ia tak ambil pusing, toh Yayat memahami aturan yang berlaku di rumah itu soal hak prerogatif yang dimiliki pengurus rumah.  Namun karena tak kunjung paham dengan langkah-langkah yang diambil Joko, apalagi ia mendengar gerutuan anak-anaknya, mau tak mau ia bertanya juga.

"Pak Joko," tanyanya suatu hari, "kenapa harga bensin di rumah ini lebih mahal ya padahal di luaran harganya sedang turun lho."

"Begini, Pak," jawab Joko, "beberapa bagian rumah ini harus dibangun karena sudah rusak akibat kebocoran.  Kita butuh dana yang akan dialokasikan untuk renovasi."

"Oh, begitu ya?" tukas Yayat.

Kali lain ia mendengar Joko akan menjadikan kendaraan dari rumah tetangga sebagai kendaraan resmi di rumah besar tersebut.

"Wah, Pak.  Itu cuma salah paham.  Kalo niat saya mah tetep, memajukan Ezemqa sebagai kendaraan resmi kita."

Namun yang cukup menyita pikirannya belakangan ini adalah langkah Joko memberhentikan kepala keamanan di rumah tersebut dan mengajukan seorang Gunawan sebagai calon kepala keamanan yang baru.  Tak dinyana, pengajuan calon tunggal ini berbuntut panjang dan makin rumit.  Gunawan ditolak oleh anak-anak Yayat.  Gunawan yang meradang rupanya tak terima penolakan ini, ia pun bertindak membongkar semua rahasia anak-anak Yayat.  Keadaan pun semakin runyam dan tak jelas kapan akan berakhir.

Tinggallah kini Yayat termenung.  Tak ada yang tahu pasti apa yang ia rasakan saat ini.

Apakah ia menyesal?  Kecewa?  Marah?

Yayat menggumam,

"Joko...  Joko...  Kamu ini bisa kerja nggak sih?"

Sesungguhnya ia pun merasa bangga dengan tindakan Joko menghukum berat para penjahat yang berusaha meracuni anak-anaknya meski itu berarti dicap melanggar HAM seperti Joko juga menghancurkan peralatan para maling yang kerap beraksi di kolam ikannya.

Lha tapi gimana ini?

Bagian dapur bilang kalo beras sekarang mahal padahal stok di gudang masih banyak.  Gas juga mahal dan langka, padahal bensin sudah turun.

Anak-anak juga dikata-katain sebagai 'anak nggak jelas'.

Haah!  Pusing!

Apa memang saya yang gagal paham ya?

Yayat teringat, dulu sewaktu masih bekerja sebagai sales keliling, bosnya selalu memberi target yang harus dipenuhi - tak peduli alasannya.

"Mau banjir kek, mau produk jelek kek, mau macet kek, mau banyak saingan kek, pokoknya penjualan kamu harus sesuai target yang sudah ditetapkan.  Nggak usah ngeluh!  No excuse!  Jangan salahkan siapa-siapa kalo ada apa-apa, salahkan diri kamu sendiri!  Sanggup?!"

Jika karyawannya menjawab sanggup namun kenyataannya jeblok, maka ia terancam pemecatan.

"Katanya sanggup.  Mana buktinya?!"

Namun bila karyawannya berkata tidak sanggup, suara sang bos yang bagai geledek akan mengusir karyawan itu pergi,

"Berani-beraninya kamu datang ke sini.  Kalo nggak sanggup, jangan kerja di sini!!"

Yayat menggumam,

"Joko...  Joko...  Kalo kamu ketemu bos yang kaya' gitu, kamu pasti sudah dipecat dari jauh-jauh hari."

Hari sudah beranjak senja, adzan Maghrib sudah berkumandang di seantero kampung.  Yayat beranjak dari duduknya, dalam hatinya ia merasa gamang.

Besok lusa ada kejadian apa lagi?

-Jakarta, 27 Februari 2015-

Catatan penulis :

Tulisan ini terjadi di sebuah negeri - yang kata seorang artis bule - negeri antah berantah, negeri tidak jelas, negeri random.  Semoga tidak terjadi di negara kita tercinta, Indonesia, dan semoga ada hikmah yang bisa diambil dari 'cerita' ini.  Salam...

Oh ya, tidak menerima komen politik ya, saya nggak ngerti dan nggak mikir soal politik.  Itu bukan urusan saya...

Sumber gambar : ft.com

Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun