Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Faiz & Aida #6 : Perjodohan

27 Juli 2014   13:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:03 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1406282152706468867

Cerita Sebelumnya :

Gagal menemui Aida di Cimahi, Faiz diberitahu bahwa Aida sekarang bekerja di Semarang.  Faiz juga akhirnya mendapatkan nomor ponsel Aida dari Lia.  Dalam perjalanan pulang kampung ke Tegal, Faiz sempat melihat Aida di Stasiun Besar Cirebon, saat itu Aida rupanya sedang dalam perjalanan dari Semarang ke Cimahi.  Dengan waktu yang sempit, Faiz berusaha mengejar kereta yang membawa Aida, namun gagal.  Dan Faiz makin putus asa ketika nomor ponsel Aida yang didapatnya dari Lia hilang.


CHAPTER 6

Peristiwa yang terjadi di Stasiun Besar Cirebon beberapa hari lalu sudah meluruhkan semangatku untuk menemui Aida.  Aku merasa ada tangan tak terlihat yang menghalangiku untuk menemui Aida.

Matahari sore itu bersinar cerah dan aku menikmatinya dengan bersantai di teras.


Pulang kampung selalu terasa menyenangkan.

Aku melihat Bapak sedang mengelap motor kesayangannya, motor buatan tahun 1993 yang usianya bahkan lebih tua dibanding usiaku.  Sementara Ibu masih sibuk di dapur mempersiapkan makanan untuk berbuka puasa sambil mendengarkan lagu kesukaannya, “Matahariku” yang dibawakan Nike Ardilla.  Aku tersenyum, entah kenapa saat ini lagu tersebut terasa sangat pas di telingaku.

Di seberang sana, terlihat rumah Mina.  Sepertinya sedang banyak tamu di rumahnya.


“Mina gadis yang baik,” tiba-tiba Bapak membuka mulut sambil tetap mengelap motornya.

Aku mengangguk.


“Tapi Aida juga gadis yang baik,” sambung Bapak.  Sepertinya bermaksud menyemangatiku.


“Tapi sepertinya Faiz susah sekali mau ketemu dia.  Faiz sudah ketemu Om Wid, ternyata Aida ada di Cimahi.  Begitu Faiz ke Cimahi, ternyata Aida ada di Semarang.”

Dan aku teringat lagi kejadian di Stasiun Besar Cirebon.

Bapak tertawa, mungkin karena sudah berkali-kali aku menceritakan hal tersebut padanya selama kepulanganku ini.


“Ya sudah, sudah hampir buka puasa.  Lagipula habis ini Bapak sama Ibu mau ngobrol soal perjodohanmu sama Mina.”

* * *

Malam itu usai Shalat Tarawih, aku menemui Mina.


“Tamu-tamunya sudah pada pulang?” tanyaku.

Mina hanya mengangguk.  Kami berdua kemudian duduk di teras depan rumahnya, menikmati suasana malam.


“Jadi... akhirnya yah,” ujarku membuka pembicaraan.


“Ya...” sahut Mina, “Akhirnya...”

Kami berdua bicara soal perjodohan yang diutarakan orangtua kami masing-masing saat kami masih kecil.


“Kamu nggak merasa terpaksa ‘kan?”


“Nggak lah, Iz.  Mana mungkin?  Toh ini juga murni perasaan dari dasar hatiku.”

Aku tersenyum,


“Baguslah kalau seperti itu.  Aku juga bakal ngerasa bersalah kalau kamu mau menikah nanti karena terpaksa.”

Mina tertawa,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun