[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi (sumber foto : rumpitekno.com)"][/caption] Sebetulnya saya merasa sudah (sangat) berhati-hati ketika mengemukakan pikiran saya di Kompasiana - baik dalam bentuk tulisan maupun komentar.  Biarpun begitu, toh "gesekan" memang tidak bisa dihindarkan.  Beberapa kali saya "terpaksa" melayani debat dengan Kompasianer yang tidak sepaham dengan pemikiran saya. Kadang juga saya terpancing untuk menuliskan komentar yang berseberangan dengan satu-dua Kompasianer yang menurut pandangan subjektif saya - maaf - "merasa dirinya paling intelek dan berwawasan".  Saking intelek dan berwawasannya, Kompasianer semacam ini sering menilai pandangan Kompasianer lain "salah" dan hanya pendapatnya sendiri yang "benar". Jujur, saya sebenarnya teramat-sangat malas jika harus berdebat (berdiskusi) karena kebanyakan debat/diskusi dilakukan dengan semangat untuk menjatuhkan dan bukannya untuk lebih memahami pandangan lawan bicara sehingga tercapailah sebuah titik temu.  Di dunia maya, alter ego saya sudah berkelana kesana-kemari mencari sebuah tempat dimana diskusi dilakukan dengan semangat mencari titik temu, namun sampai detik ini saya belum menemukannya.  Yang ada hanya kekecewaan. Seperti inikah karakter para onliner intelektual kita? Kenapa diskusi harus dilakukan dengan semangat untuk saling menjatuhkan?  Kenapa kita rela tersekat-sekat untuk saling menghancurkan?  Kenapa kaum atheis harus berseteru dengan kaum theis?  Kenapa kaum beragama harus saling menghina satu sama lain?  Kenapa netter Indonesia dan Malaysia saling merendahkan satu sama lain?  Kenapa Fatinistic harus selalu berseberangan dengan non-Fatinistic?  Kenapa haters dan lovers berusaha saling menjatuhkan?  Dan masih banyak kenapa lainnya… Tidakkah kita berusaha untuk lebih saling memahami satu sama lain?  Bisakah kita menghancurkan sekat-sekat yang "sengaja" dibuat untuk membuat kita merasa paling unggul sekaligus menimbulkan kecurigaan pada aktivitas di sekat lain? Tidakkah kita sadar bahwa kecurigaan dan kebencian yang dipupuk dari dunia maya pada akhirnya akan merugikan diri sendiri di dunia nyata?  Sekadar contoh, Kompasianer A dan Kompasianer B saling memusuhi di dunia maya.  Pada suatu ketika keadaan mengharuskan si A untuk menjual salah satu hartanya via online dan kebetulan si B memang sedang mencari barang tersebut.  Ketika sudah dicapai kesepakatan, si A dan si B bertemu dan ngobrol ngalor-ngidul dengan akrab sampai akhirnya muncul obrolan sbb :
A : "Saya aktif di Kompasiana"
B : "Oya, saya juga. Â ID-mu apa?"
A : "xxx. Â Kamu?"
B : "(diam sejenak) yyy."
Jebrett! Â Obrolan langsung dingin dan beku, bahkan bisa jadi jual-beli gagal dilakukan hanya karena si A dan si B ini merupakan "musuh bebuyutan" di Kompasiana.
Inilah Pilihan Saya
Seorang teman mengatakan bahwa, "Hidup adalah pilihan".  Dan saya memilih untuk menghargai orang lain apa adanya sambil berharap bahwa yang bersangkutan juga memilih pilihan yang sama.  Lantas bagaimana jika berbeda?  Sama sekali bukan hak saya untuk menilai benar atau salah. Saya hanya membayangkan bahwa Kompasianer yang berdiskusi dengan maksud menjatuhkan lawannya bisa jadi juga memiliki semangat yang sama ketika sedang berbeda pendapat (bertengkar) dengan pasangannya (istri/suami).  Padahal salah satu kunci keutuhan rumah tangga adalah kemampuan dan kemauan untuk memahami pasangan. Maaf saya tidak bermaksud menggurui, ini hanya sekadar tulisan biasa yang tidak berarti apa-apa... Dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H