Penglihatan itu kembali.
Aku berada di pembaringan dengan peralatan medis di sekujur tubuhku. Telingaku sayup menangkap suara mesin EKG dan nafasku sendiri yang terdengar aneh dan berat.
Aku menggerakkan tanganku, mencari tahu kenapa nafasku seperti itu.
Selang oksigen!
Aku dibantu alat bantu pernafasan!
Kenapa? Apa yang terjadi pada diriku?
Lewat ekor mataku aku menangkap kehadiran sosok yang sangat aku kenal.
Itu Lyra!
Lyra – istriku – sedang berbicara dengan seorang dokter. Wajahnya dipenuhi kesedihan yang mendalam, matanya sembab, sepertinya ia habis menangis. Aku tak tahu apa persisnya yang mereka bicarakan, namun sesekali aku menangkap beberapa kata yang diucapkan dokter tersebut,
“…upaya maksimal…asuransi…harapan baru…proses…bersabar…”
Setelah itu, ia menghampiriku dan menatapku seolah berkata,
“Vega sayangku, maafkan aku. Aku tak sanggup kehilanganmu...”
Setelah itu semuanya menjadi gelap.
* * *
”Sayangku, bangun. Hari sudah pagi…”
Bisikan lembut itu membuatku membuka mata. Tampak wajah Lyra yang dekat denganku, menatapku penuh cinta sambil tersenyum lembut.
“Tidurmu nyenyak sekali,” ujarnya, “Aku sebenarnya tak tega membangunkanmu, tapi kau ada janji penting dengan klienmu ‘kan?”
Aku mengangguk, mengumpulkan segenap kesadaranku, dan bangkit dari tempat tidur.
“Kamu mau pergi?” tanyaku melihat penampilan Lyra saat itu.
“Jadwal kunjungan rutin,” jawabnya. Lyra memang aktif di sebuah organisasi nirlaba yang kegiatannya mengunjungi orang-orang berusia lanjut yang hidup seorang diri.
Diam-diam aku memperhatikan Lyra. Di usianya yang 27 tahun, ia masih tampak cantik meski beberapa kerutan halus sudah mulai muncul. Dan saat-saat seperti ini membawa kenanganku kembali saat kami pertama bertemu.
“Hei, sayang.”
Aku tersentak.
“Kamu ngelamunin apa?” goda Lyra, “Sampai senyum-senyum seperti itu.”
“Kamu cantik,” balasku, “Aku tadi hanya teringat masa-masa pertemuan kita dulu.”
Kami berdua tertawa bersama.
* * *
Telepon di siang hari itu terdengar bagai petir di telingaku. Tanpa sadar aku menjatuhkan ponselku.
“Pak Vega?” tanya klienku, “Bapak nggak apa-apa?”
Aku terdiam, tak mampu berkata. Tubuhku bergetar.
Lyra! Lyraku!
Ia pergi meninggalkanku…
Telepon dari kepolisian tadi mengabarkan bahwa Lyra mengalami kecelakaan akibat gangguan pada sistem komputer lalu lintas.
“Dengan sangat menyesal kami harus memberitahu kabar duka bahwa istri bapak sudah meninggal dunia…”
Aku lemas!
Lyra!
* * *
Dua hari setelah pemakaman Lyra, aku mendapat telepon dari sebuah perusahaan asuransi bernama InQLife meminta janji temu sesegera mungkin. Dan sore harinya, seorang agen mereka datang menemuiku dengan ditemani dua orang yang tampaknya berprofesi di bidang hukum dan medis.
“Ibu Lyra adalah klien kami di InQLife,” salah seorang dari mereka menjelaskan.
“Begitu,” ujarku, “Lalu, ada yang bisa saya bantu?”
“Sebelumnya mohon maaf, apa bapak tahu program yang diikuti Ibu Lyra?” agen itu bertanya balik.
Aku menggeleng.
“Baik pak, Ibu Lyra mengikuti program Infinite Life yang artinya memberi kesempatan pada beliau untuk menjalani hidup kedua,” jelas agen tersebut.
“Hidup kedua?” aku tak mengerti, “Maksudnya?”
Tampak ketiga orang itu tersenyum. Senyum yang seolah memberi harapan padaku,
“Kami bisa mengembalikan Ibu Lyra pada orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Ibu Lyra bisa kembali menjalani hidupnya seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa.”
Aku terhenyak.
“Tapi… bagaimana bisa?”
“InQLife bekerjasama dengan satu-satunya perusahaan riset dan medis terkemuka yang berhasil mengembangkan teknik kelahiran kembali dari seseorang yang sudah meninggal,” kini sang ahli medis berbicara.
“Kelahiran kembali…,” kepalaku terasa pening, “Maksudnya… kloning?”
“Secara teknis, ya, meski tidak tepat seperti itu” kali ini giliran sang ahli hukum yang menjelaskan, “Namun secara etika dan hukum, kami hanya diperbolehkan melakukan kloning pada orang yang sudah meninggal. Metode ini dilarang untuk digunakan pada manusia yang masih hidup.”
“Kami hanya membutuhkan sampel DNA dari bank tali pusat milik klien kami dan tulang ekor yang bersangkutan,” ujar si ahli medis.
“Untuk jelasnya, kami akan menyerahkan berkas-berkas ini untuk bapak pelajari,” jelas agen dari InQLife tersebut sembari menyerahkan sebuah kartu memori, “Jika bapak sudah siap, mohon bapak segera hubungi kami kembali.”
Aku tercenung.
* * *
Sekarang saatnya!
Hatiku berdebar-debar.
Seperti apa dia?
Apa dia masih sama seperti dulu?
Setelah melalui proses penantian selama satu tahun, beberapa hari lalu aku mendapat kabar bahwa,
"Ibu Lyra bisa pulang ke rumah menemui pak Vega...”
Mobil dengan sistem pengendalian otomatis itu membawaku ke sebuah fasilitas medis. Setelah menandatangani berbagai berkas dan urusan administrasi lainnya, aku dibawa ke sebuah ruangan.
“Silakan tunggu di sini, Pak,” ujar seorang staf, “Saya akan menjemput istri bapak.”
Hatiku semakin kencang berdebar.
Lyra! Dia akan kembali padaku…
Meski ruangan itu sangat nyaman, aku tak bisa menahan kegelisahanku. Dan setelah beberapa menit penantian yang terasa berabad lamanya, pintu ruangan tersebut berdesir halus dan terbuka.
Ya Tuhan…
Aku tak percaya dengan apa yang ada di hadapanku.
“L… Lyra?” ucapku terbata.
Ia benar-benar Lyra!
Wajahnya, tubuhnya, matanya, rambutnya.
Ia benar-benar Lyra!
Hanya saja dia terlihat sedikit lebih muda.
“Sayang?” ucap Lyra.
Suaranya!
Aku menghambur memeluknya. Tak terasa airmataku menetes.
Lyra pun balas memelukku.
“Aku kangen kamu, sayang,” ujarnya, “Aku tak tahu berapa lama aku sakit dan dirawat di sini. Aku sangat ingin menemuimu.”
“Kamu sekarang sudah sembuh,” ujarku.
Dalam Surat Persetujuan yang kutandatangani, ada klausul dari InQLife yang melarang semua orang untuk memberitahu fakta yang sebenarnya pada manusia hasil kloning.
“Kita pulang sekarang, Lyra," ujarku, "Kita kembali bersama."
Ia benar-benar Lyra!
Lyraku!
* * *
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tak terasa sudah 3 tahun aku menjalani kehidupanku bersama Lyra yang terlahir kembali melalui proses kloning.
Aku bahagia.
Tanpa sepengetahuannya aku mendaftarkan diri kami berdua di InQLife untuk program yang sama. Aku tak ingin kehilangannya, dan mungkin dia pun tak ingin kehilanganku.
Semua berjalan begitu baik dan sempurna sampai pada suatu malam aku mendengarnya menangis terisak-isak.
“Sayang, kamu kenapa?” tanyaku.
Namun ia tak menjawab, hanya memelukku kemudian kembali tidur.
Sejak saat itu, aku sering mendengarnya terbangun dari tidurnya kemudian menangis. Kadang-kadang ia bahkan keluar dari kamar tidur dan menangis di ruangan lain, seperti malam ini. Aku mendapatinya sedang menangis di ruang tamu.
“Sayang,” panggilku.
Ia buru-buru menghapus airmatanya dan mencoba tersenyum padaku.
“Hai sayang,” ujarnya.
Aku menuangkan segelas air dan memberikannya pada Lyra.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Kenapa gimana?” ia balik bertanya.
“Akhir-akhir ini kamu sering menangis di tengah malam,” ujarku, “Kamu mimpi buruk?”
Mendadak Lyra memelukku.
“Aku… aku takut, Vega. Aku takut…”
“Takut? Takut kenapa?” aku balas memeluknya.
“Akhir-akhir ini aku sering bermimpi,” lirihnya, “Mimpi yang sangat menakutkan. Aku mimpi sedang berada di dalam mobil untuk melakukan kunjungan rutin. Tiba-tiba alarm berbunyi, sepertinya ada gangguan pada sistem komputer. Aku berusaha menon-aktifkan pengendalian otomatis dan berpindah ke mode manual, tapi terlambat. Dari samping, sebuah mobil menghantam mobilku. Aku terlempar dan saat itu mobil lain menghantamku lagi.”
Aku tercekat!
Mimpi itu… ingatannya saat ia mengalami kecelakaan dan meninggal!
“Kali lain, aku bermimpi berada di sebuah pemakaman,” tubuhnya bergetar, “Keliatannya itu prosesi pemakamanku karena aku merasa dibaringkan dalam sebuah lubang. Aku juga melihatmu, melihat tatapan sedihmu yang melepasku. Lalu aku melihat bergumpal-gumpal tanah menutupi lubang tempat aku dibaringkan. Setelah itu semuanya gelap, Vega. Gelap.”
Lyra kembali menangis.
“Sayang, aku takut jika semuanya menjadi nyata. Aku takut! Aku tak ingin meninggalkanmu!”
Saat itu aku ingin memeluknya tapi tubuhku terasa lemas tak bertenaga. Mimpi tentang pemakaman yang barusan ia ceritakan membuatku teringat bahwa aku pun beberapa kali memimpikan hal yang sama. Dalam mimpi pemakamanku, aku juga melihatnya menangis.
Tubuhku bergetar.
Apa aku juga sebenarnya sudah mati?
Dan aku merasakan penyesalan yang luar biasa karena sudah memberinya kehidupan kedua. Keegoisanku malah memberinya penderitaan.
Maafkan aku, Lyra. Maafkan aku...
Catatan Tambahan :
Tahun 2049, sekelompok ilmuwan asal negara adidaya Israel lewat program yang dinamakan “Project Uzeir” berhasil mengembangkan metode kloning dengan menggunakan tulang ekor sebagai titik awal “perakitan kembali”. Dipadukan dengan sel punca yang berasal dari darah tali pusat, proses kelahiran kembali seorang manusia bisa memakan waktu lebih cepat dengan tingkat keberhasilan mendekati sempurna. Manusia kloning yang dihasilkan dari metode ini memiliki bentuk fisik layaknya berusia 20-40 tahun.
“Metode kelahiran kembali ini membawa harapan baru bagi hidup yang lebih berkualitas,” tandas Dr. Abram Morgenstern ketua tim Project Uzeir, “Kita tak akan pernah takut menjadi tua, bahkan di masa depan kita tak akan mengenal yang namanya ‘tua’. Kita akan selalu hidup di masa-masa emas dimana kita mampu meraih segala rencana untuk hidup yang lebih baik.”
Namun begitu beredar rumor bahwa Dr. Morgenstern menyebut adanya efek samping yang tidak pernah dipublikasikan. Efek samping dari metode ini adalah manusia kloning akan bermimpi tentang kematian yang pernah dialaminya.
Cerita ini terjadi pada tahun 2085.
Tautan Luar :
FIRST HUMAN CLONE EMBRYOS CREATED FROM ADULTS' SKIN CELLS
Sumber gambar : newsnetwork.mayoclinic.org
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H