Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berantem kok Bawa-bawa Kata Kasar? Nggak Gentle, Ah...

8 Maret 2015   11:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_354534" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi (sumber : quoteseverlasting.com)"][/caption]

Saya pernah punya rekan kerja seorang pria kemayu atau dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai cowok melambai.  Pada satu waktu rekan saya ini bercerita bahwa ia dulunya bekerja sebagai mandor di sebuah proyek konstruksi.

Mendengar ceritanya, spontan teman-teman yang lain bertanya dengan nada berseloroh,

“Trus, lu melambai gitu ngomong sama kuli-kuli?”

Namun dengan wajah serius, rekan saya menjawab,

“Ya nggaklah, ngomong sama mereka ya gue harus wibawa, harus tegas, harus laki.  Kalo gue melambai gini bisa-bisa dilempar palu sama mereka.”

Saya setuju!

Ketika kita masuk ke sebuah komunitas, kita tidak bisa serta-merta meminta komunitas itu untuk mengerti siapa kita.  Kitalah yang seharusnya memahami budaya komunitas tersebut untuk kemudian menerapkan batasan yang membuat kita tetap menjadi diri sendiri namun bisa ditoleransi lingkungan tersebut.

Contohnya ya seperti teman saya itu, meski dia seorang cowok kemayu, toh dia bisa berperan sebagai mandor yang tegas dan laki.  Atau diri saya yang bukan seorang dugemer, namun masih bisa 'menikmati' ajakan ajeb-ajeb - tentunya dengan batasan strict jangan sampai main perempuan karena saya punya satu nilai yang saya yakini tentang molimo.

Intinya, terlepas dari seperti apa diri kita sebenarnya, ada saatnya dimana kita tidak bisa memaksakan pada dunia,

“Saya memang seperti ini, kalian semua mesti paham gaya saya!  Yang nggak mau tau silakan out!”

Menurut saya, kita mesti bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang kita datangi, tak peduli sebaik atau seburuk apapun tempat yang kita datangi.  Saat di terminal, berperilakulah sesuai kultur yang ada di sana, serba cepat dan to-the-point.  Sebaliknya bila di perpustakaan, bertindaklah sesuai kebiasaan yang ada di sana, berbicara dengan suara pelan dan bisik-bisik.  Sedikit cerita, sepupu saya pernah dihajar orang di terminal Pulogadung hanya karena ia senyum-senyum saja ketika dihampiri calo tiket dan ditanya ke mana tujuannya, sementara saya sendiri Alhamdulillah selalu selamat karena saya cepat menjawab tanpa menoleh ke arahnya, "Itu bis saya," sambil asal nunjuk ke satu bis.

Itu cerita lama sekitar 20 tahun lalu.

Ceplas-ceplos = Kasar?

Beberapa hari belakangan ini perhatian kita – lagi-lagi - tersedot oleh peristiwa di pusat kekuasaan, perseteruan antara Gubernur dengan DPRD soal Anggaran.

Buat saya pribadi, ribut-ribut soal anggaran itu biasa, lha dalam rumah tangga saja selalu ada upaya kompromis untuk memasukkan daftar barang yang 'harus' dibeli bulan ini sekaligus mencoret barang yang dirasa belum mendesak keperluannya.  Toh semua punya kepentingan.

Karena itu saya tidak mempersoalkan penyebab keributan karena memang tidak punya pengetahuan tentang itu.

Fokus utama saya adalah bahasa yang digunakan orang-orang terhormat itu.  Baik Gubernur maupun DPRD sama-sama mempertontonkan aksi yang membuat saya - katakanlah - muak.  Beragam kosakata yang dulu membuat kita bakal dipelototi orangtua, disetrap guru, atau menjadi sebab mulut disumpel cabai malahan diobral murah di sini,

"Bajingan!"

"Bangsat!"

"Pemahaman nenek lu!"

"Goblok!"

"Bego!"

"Anjing!

Salam lima jari saya buat orang-orang yang mampu mengeluarkan kata-kata ajaib seperti itu dari mulutnya.  Mungkin yang bersangkutan perlu diingatkan lagi dengan ujar-ujar :

"Ketika satu jari menunjuk orang lain, maka tiga jari yang lain sebenarnya menunjuk ke diri sendiri", atau

"You are what you say"

Itu menurut saya lho ya.

"Sangat disayangkan seperti itu.  Masak pejabat publik kita tidak matang.  Kekasaran itu menunjukkan seperti orang-orang pasaran, orang warung, orang jalan.  Itu perilaku-perilaku tak berpendidikan dalam arti luas," (Emrus Sihombing, Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Sabtu (7/3), sumber

Yang membuat saya kembali tak habis pikir adalah ada yang menganggap bahwa omongan sang Gubernur adalah ceplas-ceplos, dan itu (ceplas-ceplos) adalah wajar.

Hati-hati, ceplas-ceplos beda dengan kasar.

"Nilai kamu jelek!  Belajar apa aja kamu di sekolah?!" itu ceplas-ceplos.  Nggak pake omongan muter-muter.  To the point.

Sekarang bandingkan dengan kalimat di bawah,

"Nilai kamu jelek.  Belajar apa aja kamu di sekolah, nyet?!"

Sudah tahu bedanya?  Tambahan "nyet" yang berarti "monyet" sudah menunjukkan itu ucapan kasar.

Kenapa?  Liat konteksnya?  Pasti.  Ucapan kasar memang mengakrabkan - dalam konteks persahabatan dan becandaan.  Sekarang, apa yang dipertontonkan Gubernur dan DPRD?  Apa mereka sedang bercanda?  Kalo ada yang menjawab "ya", maka itu berarti kita sedang dibohongi opera sabun episode terbaru.  Jangan-jangan di belakang layar mereka sedang tertawa terkikik-kikik sambil ngopi bareng sementara kita (baca : rakyat) gontok-gontokan sampai bawa-bawa isu sensitif SARA.

Berantem kok Bawa-bawa Makhluk Lain?

Ini juga yang jadi catatan 'lucu' saya.  Saya tidak membela dan bermasalah dengan siapapun, bahkan seandainya mereka mau berantem pun silakan, cuma kalo sudah bawa-bawa 'nenek', dan 'anjing' rasanya kok nggak gentle ya?

Dalam budaya manapun, nenek adalah sosok yang sepatutnya dihormati karena bagaimanapun pengalaman hidupnya sudah lebih kaya dibanding kita, asam-garamnya kehidupan sudah beliau lampaui.  Jadi, kemungkinan saya akan tetap gagal memahami ucapan, "Pemahaman nenek lu!".  Apa di sini maksudnya nenek adalah orang bodoh?  Tidak pintar?  Tidak paham masalah?  Atau apa?

Begitupun dengan 'anjing'.

Hehehe mau berantem kok bawa-bawa nenek sama anjing.  Berantem ya berantem aja, tuding-tudingan dan pukul-pukulan sepuasnya tanpa harus bawa-bawa makhluk lain.  Itu baru gentle.

Tapi tunggu, saya baru ingat,

"Booos...  Anda-anda semua ini kan digaji dengan duit dari rakyat, dengan duit dari pajak-pajak yang ikhlas tidak ikhlas mesti kita bayar.  Anda semua bisa duduk di kursi itu karena kami percaya dengan kemampuan Anda.  Lhaa kok sekarang malah berantem?  Kalo berantem terus, kapan kerjanya nih?  Emang Anda-anda ini digaji cuma buat berantem?  Ntar Jakarta keburu kelelep kena banjir, Anda-anda malah tinggal saling menyalahkan.  Boos...  Booos...  Inget rakyat doong..."

Dan mendadak saya teringat curhatan seorang teman yang mergoki istrinya selingkuh.  Apa yang dia bilang?

"Demi anak-anak, meski saya kecewa dan sakit hati - saya harus mempertahankan rumah tangga.  Saya nggak mau berantem di depan anak-anak, kasian nanti mereka kalo ngeliat orangtuanya berantem terus atau cerai.  Anak-anak butuh orangtuanya."

Intinya?

Jangan biarkan rakyat tahu perseteruan para pemimpinnya.  Seharusnya pemimpinlah yang memikirkan rakyat, bukan sebaliknya.

Semoga tulisan kacau saya kali ini bermanfaat, selamat berhari Minggu.  Oh dan ini sedikit tambahan karikatur soal 'dakwah' (baca : menyampaikan kebaikan), semoga mengena...

[caption id="attachment_354538" align="aligncenter" width="400" caption="sumber : haltebikumiku.com"]

1425789545306498646
1425789545306498646
[/caption]

Tautan Luar : 1, 2,
Tulisan ini masuk kategori “Relationship” dan dipublish pertamakali di kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun