[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Halaman Awal Kompasiana (screenshot)"][/caption]
Sejatinya di Kompasiana ini saya adalah penulis non-fiksi. Bahkan di masa-masa awal bergabung di Kompasiana, saya - katakanlah - "alergi" dengan tulisan di kanal fiksi. Jangankan menulis, membaca tulisan-tulisan yang ada di dalamnya juga saya ogah, apalagi jika penulisnya Kompasianer laki-laki hehehe...
"Lebay" kata batin saya.
Tapi kemudian saya sadar bahwa terkadang ada hal-hal yang tidak bisa disampaikan oleh tulisan non-fiksi, biasanya menyangkut sebuah isu aktual. Lagipula mungkin karena disampaikan melalui dialog antar tokohnya, pemikiran dalam tulisan fiksi umumnya bisa lebih mudah diterima. Karena itu saya kemudian belajar membungkus apa yang ingin saya sampaikan ke dalam sebuah cerita fiksi.
Dan hasilnya adalah fiksi pertama saya "Ketika Tere Meremove Teman-temannya" yang merupakan gambaran member-member Kompasiana. Jika saja ide tersebut disampaikan dalam bentuk non-fiksi, jadinya bakal terkesan curhat dan saya akan terkesan menggurui, sok pintar, mencampuri urusan orang, dsb.
Tadinya saya mengira tidak akan "berurusan" lagi dengan kanal fiksi sehingga saya kembali ke habitat saya, non-fiksi. Akan tetapi setelah melihat karya-karya dua orang Kompasianer yang kebetulan ada di jaringan pertemanan saya membuat tangan saya gatal untuk kembali merangkai kata demi kata dalam kanal fiksi. Mengenal keduanya membuat saya merasa tertantang untuk mencoba membuat karya fiksi yang lebih panjang sekaligus menguji kontinuitas saya dalam menulis. Lagipula saya merasa memiliki cukup referensi di sekitar yang bisa dituangkan dalam sebuah cerita. Referensi tersebut bisa berupa bacaan, tontonan, lagu, kejadian sehari-hari, bahkan pengalaman hidup saya sendiri.
Kedua Kompasianer tersebut adalah Mbak Aurora Borealisa dan Mbak Josephine Winda. Aurora Borealisa saat ini sedang aktif menulis sedikitnya dua cerbung, "Irisan Senja" dan "Vendetta" disamping tulisan-tulisan pendeknya. Sementara Josephine Winda lebih sering menelurkan serial lepas seperti "Me Momma" dan "Nu2nk"disamping tulisan-tulisan lepas lainnya.
Akhirnya setelah melalui proses kreatif yang cukup rumit, saya menulis satu cerbung "Cinta, Kenapa Kau Terasa Begitu Menyakitkan?" yang hadir dalam lima chapter ("Aku Akan Menunggumu", "Kamu Terlalu Baik Untukku", "Maafkan Aku", "Sebuah Penyesalan", dan "Jalan Terbaik?").
Di sini saya baru tahu bahwa menulis fiksi - apalagi sebuah cerbung ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Mulai dari pencarian ide, menyambungkan adegan dari satu chapter ke chapter berikutnya, pemilihan kata, hingga pemilihan kalimat yang diucapkan tokoh-tokohnya - apakah sesuai dengan karakternya atau tidak.
Nah, setelah cerbung ini selesai, saya sempat memutuskan untuk sementara rehat dari dunia fiksi untuk kembali ke habitat non-fiksi saya. Namun gawatnya, kali ini sebuah ide untuk tulisan fiksi malah berputar-putar di kepala saya, menunggu untuk dikeluarkan, mungkin sebuah kisah tentang cinta (lagi) dengan karakter yang agak berbeda. Ah, ini semua "gara-gara" saya mengenal kedua Kompasianer tersebut hehehe...
Terimakasih sudah meluangkan waktu membaca tulisan ringan ini, selamat berakhir pekan!
Tulisan ini masuk kategori “Selfish” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H