”Aku berangkat!”
Pagi itu Rin terlihat sangat manis dengan paduan dress putih bercorak segitiga warna-warni serta cardigan warna putih dan flat shoes warna senada. Melihat penampilan Rin, adiknya meledek,
“Tumben kakak pake rok. Biasanya kalo nggak dipaksa, boro-boro!”
Rin melotot. Adiknya, Lila, lima tahun lebih muda daripadanya. Hubungan kakak-adik ini mirip seperti anjing dan kucing, berantem terus.
“Lila! Kamu bilang apa tadi?!”
“Aku bilang tumben kakak pake rok!"
Lila menyingkir saat Rin menghampirinya.
“Sini kamu! Sembarangan aja ngomong!”
“Nggak ah! Kakak aja yang ke sini!”
“Lilaa!”
Rin mengejar Lila yang dengan tingkahnya masih saja meledek sang kakak. Tentu saja tak semudah itu untuk menangkap Lila karena dia selalu berhasil menghindar dari kejaran Rin. Kejar-kejaran seperti ini biasanya - dan selalu tidak pernah selesai sebelum mama mereka ikut campur – seperti saat ini.
“Rin! Kamu ini masih kaya’ anak-anak aja. Lagian bukannya kamu sudah ada janji? Nanti terlambat lho.”
“Kalo aku sampe terlambat, ini gara-gara Lila!” Rin merajuk, “Sudah Ma, aku jalan dulu.”
Rin melotot pada Lila. Tak mau kalah, Lila bertingkah seolah ketakutan,
“Mama! Kak Rin galak. Aku takuut.”
“Lila! Kamu mulai lagi ya?! Pake sok ngadu sama Mama. Sini kamu!”
Pertarungan anjing dan kucing babak kedua berlanjut, dan lagi-lagi mama mereka harus ikut campur.
* * *
Rian tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Rupanya Rin semalam mengirim SMS ke ponselnya.
Dan isi SMS itu sungguh tidak diduganya,
Pagi Rian.
Sebelumnya aku benar-benar berterimakasih karena kamu sudah ngajak aku bareng ke launching novel terbaru Lizz. Hanya saja, aku benar-benar minta maaf, kelihatannya nanti aku nggak bisa pergi. Aku ada urusan mendadak yang sangat penting dan nggak bisa ditinggalkan. Maaf, aku benar-benar minta maaf.
-Rin-
Rian kecewa, semua rencana yang sudah disusunnya buyar. Untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
* * *
Lintang menutup ponselnya, untuk yang kesekian kali.
Masih nggak ada kabar dari Rian. Mereka sedang di jalan, mungkin.
Gadis itu bangkit dari sofa,
Tapi, mereka yang jalan kenapa aku yang gelisah? Aneh…
* * *
Cuaca saat itu sedang bersahabat, tidak panas tapi juga tidak mendung. Di salah satu sudut kota terdapat sebuah taman dengan danau yang menumbuhkan suasana hening dan menenangkan. Sebuah oase di tengah kota.
Pada salah satu bangku yang terdapat di taman tersebut, Rin sedang duduk berdua dengan Tama.
Saat ini Rin sangat bahagia. Cinta yang selama ini dikejarnya ada di hadapannya. Memandangnya. Menggenggam tangannya. Akankah cinta yang dikejarnya sejak dua tahun lalu menjadi miliknya hari ini?
Matahari mulai tersaput awan. Desau angin yang semula menyejukkan mulai menjadi lebih dingin. Beberapa orang tampak sudah mulai meninggalkan taman, namun keduanya bergeming. Rin memandang wajah Tama, mahasiswa yang dulu menjadi kakak kelasnya di SMA Dian Pelita.
“Mas Tama…” saat ini hanya kata itu yang terlontar dari mulut Rin.
Tama menggenggam tangan Rin lebih erat,
“Perlukah aku mengulang kata-kataku yang tadi?”
Rin menunduk, tak sanggup memandang wajah Tama. Di hatinya berkecamuk berbagai perasaan.