Penulis : Ryan M. | No. Peserta : 88
Kenalkan, namaku Margono, tapi kalian bisa memanggilku “Argo” atau “Ono” seperti temanku-temanku yang lain memanggilku. Pagi hingga siang hari aku bersekolah di sebuah SMP Negeri, dan malamnya aku menjajakan suaraku di sepanjang Malioboro.
Ya, aku mengamen.
Ibuku bekerja di toko yang menjual penganan khas Jogja – bakpia pathok. Dan mungkin kalian tahu bahwa kebanyakan bakpia pathok di Jogja hanya menggunakan angka sebagai merknya. Lantas di toko bakpia nomor berapa ibuku bekerja? Aku tidak akan memberitahunya padamu.
Ayahku?
Jangan tanya soal dia. Aku tidak mau membicarakannya.
* * *
“Malam, Pak, Bu…”
Pekerjaanku dimulai selepas Maghrib, saat itu kehidupan malam di Malioboro sudah dimulai. Tenda-tenda bermunculan menawarkan aneka makanan dan minuman. Uniknya, makanan dan minuman apapun yang disajikan di Malioboro, semuanya punya satu kesamaan yaitu lesehan.
Aku berkeliling dari satu tenda ke tenda yang lain sepanjang Malioboro ditemani gitar yang kubeli dengan uang yang seharusnya kubayarkan ke sekolah.
“Maaf mengganggu. Selamat berjumpa lagi dengan saya Argo yang akan menghibur Bapak, Ibu, dan kakak semua…”
Ibu hanya menangis ketika tahu bahwa uang sekolahku sudah dihabiskan untuk membeli gitar. Tangisan tanpa kata. Tangisan yang membuat hati kecilku merasa menyesal bukan main.
Dan sejak itu aku bersumpah untuk membahagiakan Ibu.
Aku ingin mendapatkan uang.
Uang yang banyak.
* * *
“Bu, ini uang hasil Argo ngamen hari ini…” aku mengangsurkan seluruh pendapatanku hari ini pada Ibu.
Ibu yang sedang mencuci pakaian sejenak berhenti dan memandangku.
“Sudah, buat kamu saja. Simpen buat kebutuhan sekolahmu ya? Ibu masih punya uang kok…”
“Tapi, Bu…”
“Sst sudah nggak apa-apa. Simpen uangmu yang bener ya? Tuh di meja sudah Ibu siapin makanan sama minuman buat kamu. Trus, jangan lupa belajar ya…”
Aku hanya bisa mengangguk. Ibu selalu menolak uang pemberianku, padahal aku sangat ingin membahagiakan Ibu.
Aku bergegas menuju dapur, mengambil makan malamku.
Jangan kau pikir aku sehari-hari makan gudeg. Buat kami sekeluarga, gudeg adalah makanan mewah. Belum lagi pembuatannya yang butuh waktu lama. Jika sedang ingin makan gudeg, aku cukup pergi ke Mbah Wono saja bantu-bantu cuci piring dan menjadi pelayan di warungnya seharian penuh. Malamnya pasti aku pulang dengan membawa gudeg, lengkap dengan krecek dan tempe bacemnya. Bahkan jika beruntung, masih ada sepotong telur yang bisa aku nikmati.
* * *
“Pak? Ini bener, Pak?”
Aku tidak percaya dengan penglihatanku. Bapak itu memberiku uang 50 ribu rupiah! Baru kali ini aku mendapat uang sebesar itu.
“Kenapa, Dik?” tanya si bapak.
Perawakannya gempal dengan rambut yang sudah mulai memutih. Dari caranya berbicara, aku tahu dia orang yang baik. Yang menarik perhatianku adalah pakaian yang dikenakannya. Tersemat logo salah stasiun televisi di dadanya.
“Saya baru kali ini dapet uang sebesar ini, Pak…” ucapku.
Si bapak tersenyum.
“Suara kamu bagus. Cara kamu menyanyi juga bagus,” ujarnya, “Ah, nggak sia-sia kita ngadain audisi di sini. Jogja memang gudangnya seniman…”
Aku terhenyak.
Audisi? Audisi apa?
Aku pun memberanikan diri bertanya.
“Lho? Kamu nggak tau?” tanya si bapak, “Kan iklannya sering muncul di tivi…”
Aku menggeleng.