Ini alamatnya Aida! Aku akhirnya bisa ketemu dengannya!
“Faiz,” terdengar suara Mina.
“Ya?” tanyaku.
“Kalau nanti sudah ketemu Aida, kamu mau bilang apa sama dia?”
“Hmm… apa ya?” Aku berpikir, “Aku juga belum tau. Bisa ketemu Aida aja aku sudah seneng.”
“Kamu nggak bilang kalau kamu suka sama Aida ‘kan?”
Deg!
Aku sama sekali tak menduga Mina akan bicara seperti itu.
“Itu... aku belum tahu apa aku suka sama Aida atau nggak...” aku tergagap.
“Jangan bohong Iz.”
“Bener, aku belum tau apa aku suka sama dia.”
“Tapi kamu kehilangan dia ‘kan?”
“Kita semua kehilangan dia, Mina.”
Terdengar Mina menghela nafas.
“Ya sudahlah. Toh aku sendiri juga belum tau perasaanku ke kamu.”
“Mina...”
“Nggak apa-apa Iz,” tukas Mina, “Kita memang sudah dijodohin dari kecil. Dan bukan kamu aja yang bingung soal perjodohan itu, aku juga.”
Mina melanjutkan ucapannya,
“Aku bingung dengan perasaanku sendiri karena kita sudah kenal sedari kecil. Aku nggak tau apa aku juga perasaan yang disebut ‘cinta’ atau ‘suka’ atau ‘sayang’ ke kamu, perasaan antara laki-laki dengan perempuan. Aku nggak tau apa aku punya perasaan yang seperti itu ke kamu.”
“Mina...”
“Aaah, sudahlah! Mikir hal ini malah bikin tambah pusing. Sudah ah, aku mau tidur dulu. Dah Faiz.”
Klik!
Mina kemudian menutup teleponnya.
* * *
Aku berhenti di sebuah rumah bercat kuning dan berpagar hitam.
Seharusnya di sini ya. Alamat ini cocok dengan yang aku dapat dari Mina.
Tapi, gimana kalau salah?
Cukup lama aku berdiri termangu di depan rumah tersebut.
Kok aku jadi ragu gini?
“Lho? Faiz? Ini Faiz ‘kan?”
Aku menoleh untuk melihat siapa yang menegurku.
“Oh, Om,” aku mengenali pria berusia sekitar 45 tahun tersebut.
Om Wid. Ayahnya Aida! Jadi memang bener Aida tinggal di sini!
“Apa kabar? Wah wah, kamu ini sudah besar sekarang, sudah jadi jaka, hahaha!” Om Wid tertawa.
Ditepuknya pundakku,
“Yok! Kita masuk!”
Aku mengikuti Om Wid menuju sebuah rumah yang berjarak sekitar 20 meter dari rumah yang tadi.
Ternyata Om Wid nggak tinggal di situ...
“Nah, ayo masuk! Om tinggal di sini, maaf ya kalau berantakan.”
Ruangan itu berukuran 4 x 12 meter dan kondisinya tidak jauh beda dengan kamar kosku – sedikit berantakan. Tidak ada apa-apa lagi di ruangan itu selain lemari pakaian yang terbuat dari plastik, dispenser air, satu pesawat televisi, dan sebuah kasur lipat yang teronggok di sudut ruangan.
Apa bener Aida tinggal di sini?
Aku disergap keraguan dan berjuta tanda tanya.
Kami duduk di lantai dan membuka obrolan dengan pertanyaan Om Wid tentang kabarku dan kedua orangtuaku di desa.
Sekarang saatnya! Pikirku setelah obrolan berlangsung cukup lama.
“Maaf Om, dari tadi Faiz nggak ngeliat tante sama Aida. Mereka sedang pergi?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Om Wid memandangku dengan sedih.