[caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="Kompasiana (sumber gambar : kompasiana.com)"][/caption]
Tulisan ini merupakan bagian kedua dan terakhir dari 13+ Kompasianer yang memiliki ciri khas saat berinteraksi dan mengeluarkan pikirannya di Kompasiana. Jika di tulisan sebelumnya saya sudah menuliskan nama-nama seperti Astokodatu & Baskoro Endrawan, Aurora Borealisa (Lizz), Equalaws Consultant, Ervipi & Jati, serta Fey Down, inilah daftar berikutnya - masih sesuai urutan abjad.
- Fidiawati & Josephine Winda
Tulisan kedua Kompasianer di atas selama ini sangat khas bercerita tentang kehidupan sehari-hari mereka sebagai seorang ibu. Â Celotehan khas emak-emak, begitu istilahnya. Â Tulisan mereka memang ringan, begitu juga bahasa yang digunakan, tapi dari situ sebagai orangtua kita bisa bersiap-siap apabila 'masalah' yang sama mendatangi kita.Sekadar informasi, sudah beberapa lama ini Mbak Winda lebih memilih untuk aktif di media lain, sementara untuk Mbak Fidia masih aktif di Kompasiana.
- Gustaaf Kusno
Saya rasa semua setuju bahwa tulisan Pak Gustaaf selalu bermanfaat. Â Kompasianer yang sudah bergabung sejak tahun 2009 tersebut kebanyakan menyoroti kesalahan berbahasa yang umum terjadi - utamanya terhadap kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Â Dari tulisan-tulisannya, kita mendapat masukan berbahasa. - Katedrarajawen
Konsisten di kanal Filsafat, Pak Kate - begitu panggilan yang diberikan Kompasianer padanya - mengajak pembaca untuk melakukan introspeksi. Â Tulisannya mengajak pembaca untuk melihat ke dalam diri masing-masing, "Sudah benarkah apa yang aku lakukan?" begitu kira-kira inti tulisannya.Menariknya, ketika mengajak introspeksi, Mas Katedra - begitu panggilan saya - selalu menggunakan dirinya sendiri sebagai contoh. Â Bukan contoh seperti "saya sudah berhasil melakukannya" melainkan semacam pertanyaan ke diri sendiri "jangan-jangan saya juga begitu". Â Itu sebabnya saya menilai tulisan Mas Katedra tidak pernah menggurui pembacanya.
- Mbak Avy
Kompasianer ini memang belum lama bergabung di Kompasiana, akan tetapi tulisan-tulisannya mampu menarik perhatian saya.  Pada dasarnya saya pribadi menyukai tulisan-tulisan ringan namun tetap bermanfaat, dan itu saya dapatkan dari Mbak Avy.  Tulisan Mbak Avy yang sering baca biasanya yang berhubungan dengan aktivitasnya sebagai sesama profesional - dan selalu ada manfaat yang bisa saya ambil.Masalahnya cuma satu, haruskah saya memanggilnya dengan Mbak Mbak Avy?  Atau Ibu Mbak Avy?  Hehehe bingung saya…
- Paras Tuti & Weedy Koshino
Nah, saya yakin Kompasianer sudah tahu apa yang menjadi ciri khas dari kedua Kompasianer di atas. Â Ya, segalanya tentang Jepang! Â Mbak Paras dan Mbak Weedy memang tinggal di Jepang sehingga tulisan mereka tentang negeri sakura tersebut benar-benar hidup.Dari tulisan Mbak Paras kita belajar memahami cara pandang orang Jepang terhadap orang lain, sementara dari tulisan Mbak Weedy kita belajar bagaimana seharusnya kita bersikap di sana. Â Tulisan Mbak Weedy terasa lebih ringan karena diawali dengan cerita soal tergagapnya ybs menghadapi hal-hal yang serba baru di Jepang. Â Dan kedua Kompasianer tersebut hampir selalu menyelipkan bahasa Jepang di setiap tulisannya. Â Menarik dan bermanfaat!
Sedikit catatan, terus-terang saya 'iri' pada dua Kompasianer tersebut (saya bercita-cita suatu saat menjejakkan kaki di Jepang hehehe)...
- Rahab Ganendra & Tasch Taufan
Kedua Kompasianer di atas adalah Fiksianer. Â Kekuatan utama mereka yang sekaligus menjadi ciri khas adalah pemilihan kata yang mereka gunakan - indah dan maknanya dalam. Â Pembaca kadang tidak cukup hanya dengan sekali membaca untuk memahami makna yang terkandung dalam karya mereka.Uniknya lagi, mereka juga mengiyakan saja ketika pembaca mengutarakan makna yang ditangkapnya dari karya kedua Kompasianer tersebut. Â "Tidak ada benar atau salah dalam memahami sebuah karya," begitu mungkin kira-kira pesan yang disampaikan.
- Rahmad Agus & Roe Ardianto
Tidak banyak Kompasianer yang bisa menulis tema 'panas' sambil tetap menjaga kesantunan berbahasa - pun dalam menanggapi komentar di tulisan 'panas'nya. Â Di mata saya, kedua Kompasianer tersebut mampu melakukannya.Mas Rahmad Agus yang kerap disapa Pak RAK oleh sesama Kompasianer umumnya banyak menulis di kanal Filsafat meski belakangan ini hadir juga di kanal Politik, sementara Mas Roe Ardianto setahu saya konsisten menulis di kanal Politik. Â Dan jika berkomentar di beberapa tulisan mereka, kita harus siap dashboard bakal kebanjiran karena mereka melayani setiap komentar yang masuk hingga tuntas tas tas.
Yang sangat menarik dari kedua Kompasianer ini adalah kemampuan mereka menanggapi komentar yang tidak sepaham dengan tulisan mereka saat itu. Â Mereka tidak pernah terpancing untuk mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, setiap komentar selalu dibalas dengan kalimat yang santun dan elegan.
Untuk menjaga agar diskusi tidak melenceng ke mana-mana, Mas Rahmad kadang lebih tegas dengan meminta komentator untuk mengingat-ingat kembali bahwa masalah tersebut sebenarnya sudah pernah dibahas di tulisan lain, sementara Mas Roe kadang mengakui bahwa masalah tersebut berada di luar pemahamannya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!