Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kejadian di SPBU yang Bikin Emosi...

29 Agustus 2014   18:50 Diperbarui: 14 September 2016   11:25 1855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kasian banget mobilnya, bakal kekurangan gizi tuh (sumber foto : warungdohc.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Kasian banget mobilnya, bakal kekurangan gizi tuh (sumber foto : warungdohc.com)"][/caption] Tulisan ini tidak bermaksud membela Florence Sihombing yang sedang menuai badai akibat angin yang ditaburnya di media sosial.  Saya hanya ingin berbagi pengalaman yang sama dengan yang dialami Florence dan bagaimana perasaan saya saat itu. Kejadiannya sekitar tahun 2010 jika saya tidak salah ingat. Motor Jupiter MX tahun 2006 saya biasa dicekoki bensin oktan 95 dengan tingkat prioritas mulai dari Shell Super Extra (yang sekarang ganti nama jadi V-Power), Total 95, dan terakhir Pertamax Plus.  Bukan tanpa alasan jika saya mengasup si Jupi dengan bensin 95 karena informasi di buku panduannya menyebutkan rasio kompresi mesin motor tersebut ada di atas angka 10 (saya lupa berapa persisnya).  Karena asupan gizinya baik, maka sampai saat ini kondisi si Jupi masih bisa dibilang prima hehehe… Kembali ke topik. Selama ini aturan yang lazim berlaku di setiap SPBU adalah :

“Motor yang mengisi bensin 95 diperbolehkan mengantre di jalur mobil”

Mohon koreksinya bila saya salah. Suatu malam saya memutuskan untuk mengisi bensin di sebuah SPBU Pertamina (apa mau sekalian saya sebutin di daerah mana dan nomor SPBU-nya?).  Dan seperti biasa saya mengantre di jalur mobil sembari melihat membludaknya antrean Premium khusus motor. Tak dinyana seorang petugas keamanan menghampiri saya,

“Mas, ngantrinya di sana, di jalur khusus motor.  Di sini khusus mobil,” sembari tangannya menunjuk jalur antrean motor yang penuhnya bukan main.

Ini saja sudah mengherankan saya, karena biasanya sapaan standar untuk menegur motor yang antre di jalur mobil adalah pertanyaan semacam, “Mau isi Pertamax Plus?” yang kemudian diikuti dengan informasi agar sang ridermengantre di jalur khusus motor apabila motornya memang mau dikasih minum Premium. Tentu saja saya menjawab,

“Saya mau beli Pertamax Plus, Mas.”

Herannya, petugas keamanan tersebut tetap dengan pendiriannya,

“Iya, Mas.  Tapi ngantrinya tetep di sana.” “Lho?  Kenapa?” saya mulai kesal. “Nggak enak sama motor yang lain.  Nanti menimbulkan kecemburuan,” jawab si petugas. APPPAAA?!What the?  &%#^*(%#!

Ingin rasanya saya memaki.

Plis deh, gue mau beli bensin Pertamax Plus yang harganya hampir dua kali Premium.  Masa’ suruh ngantri di pump Premium yang ramenya bukan main?!

Dengan perasaan kesal bukan main, saya mengucap terimakasih sambil menggas si Jupi meninggalkan tempat tersebut. Dendam membara di hati saya. Sumpah, sampai kapanpun saya nggak bakal ngisi bensin di SPBU itu! Rupanya hari gini masih ada SPBU yang seperti ini :

“Memandang konsumen dari kendaraan yang dibawanya, bukan dari bensin yang dibelinya”Rasis!  Diskriminatif!

Bahkan saya pun mengeluarkan umpatan yang sama seperti Florence di Path-nya,

Memangnya saya nggak bisa bayar?!

Sejak saat itu setiap ada ribut-ribut soal BBM dan efek yang ditimbulkannya, saya selalu menawarkan satu solusi :

SPBU tetap menjual Premium, tapi pump-nya dikurangi.  Kalau misalnya SPBU itu punya 6 pump, cukup 1-2 pump saja yang menjual Premium dan sisanya menjual bensin non-subsidi.  Jadi terserah si pengguna mobil pribadi, kalau mau ngantre beli Premium ya silakan, kalau nggak mau ngantre silakan isi bensin non-subsidi karena bagaimanapun juga Premium adalah hak angkutan umum dan kendaraan non-pribadi lainnya.

Sekarang beralih ke soal Florence. Di mata saya, ‘kesalahan’ yang dilakukannya cuma satu, menggeneralisir kekesalan yang dialaminya, seolah-olah karakter orang satu SPBU itu sudah mewakili karakter warga Yogya secara keseluruhan. Namun lebih dari itu, yang utama adalah kita memang harus lebih bijak dalam bermedsos. Oya, adakah Kompasianeryang punya pengalaman serupa seperti saya?  Sila di-share...

Tulisan ini masuk kategori “Selfish” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun