Demi menghindari pembicaraan dengan Novan yang penasaran akan jati dirinya, Nay berpura-pura sakit dan meminta Angga mengantarnya pulang. Dan tepat di depan pintu rumah mereka, Angga mengutarakan ajakan yang pernah diutarakannya pada Ami - ajakan untuk melihat bintang! Ada apa?
CHAPTER 8
“Nay, kamu mau ngeliat bintang bersamaku?” tanya Angga.“Hm?” Nay bingung, “Ngeliat bintang? Maksudnya?”
Gadis itu kemudian memandang tangannya yang masih dipegang oleh Angga. Angga pun tersadar, buru-buru ia melepaskan pegangannya pada tangan Nay.
“Eh... maaf,” ujarnya, “Aku nggak bermaksud berlama-lama megang tanganmu.”
Kecanggungan menyergap mereka berdua.
Angga berdehem.
“Sebenernya sih aku ngajak kamu ngeliat hujan meteor, ” ujarnya, “Jadi gini, beberapa hari lalu aku tau dari berita - katanya sekitar akhir bulan nanti ada hujan meteor. Infonya lagi, salah satu titik terbaik untuk ngeliat hujan meteor itu ada di sini - di kota ini.”
Mata Nay berbinar.
“Hujan meteor?”
Ia memang sering mendengar adanya hujan meteor yang biasanya terjadi ketika bumi - dalam perjalanannya mengelilingi matahari - bersinggungan dengan partikel-partikel yang tertinggal dari sebuah komet saat benda angkasa tersebut mendekati matahari, tapi sampai sekarang gadis itu belum pernah melihat langsung peristiwa tersebut.
“Ya,” jawab Angga, “Kalo kamu tertarik, kita bisa liat sama-sama. Gimana?”“Boleh!” seru Nay antusias, “Aku belum pernah liat hujan meteor!"
Angga tersenyum,
“Moga-moga saat itu langitnya cerah. Nah sekarang kamu istirahat, semoga cepet sembuh...”“Thanks, Ngga,” ujar Nay sambil masuk ke dalam rumah.
Pemuda itu kemudian kembali ke kamarnya,
Aku ini kenapa?! Kok tadi keceplosan ngajak Nay ngeliat bintang?
Ingatannya lalu tertuju pada Ami.
Ami, kenapa kamu juga nggak bales pesanku?
* * *
Waktu berlalu, siang berganti sore dan malam hari.
Ami sedang termenung di kamarnya, buku-bukunya dibiarkan terserak begitu saja - sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama ini.
Sebentar lagi katanya ada hujan meteor.
Ami mengambil ponselnya, membaca pesan dari Angga, kemudian ia mengetik sesuatu namun dihapusnya kembali. Begitu seterusnya.
Ami mendesah, ia melepas kacamatanya dan berbaring. Pikirannya menerawang jauh.
Aku harus gimana?Aku ingin ngeliat bintang bersamanya.
Tapi gimana caraku ngomong ke dia?
Dibacanya sekali lagi pesan dari Angga.
Aku bahkan nggak berani bales SMS ini...
Tap!
Ami menutup ponselnya.
Gadis itu bangkit dan menuju meja belajarnya. Dibukanya satu laci kemudian diambilnya sebuah buku berwarna merah muda yang setiap halaman di dalamnya memiliki warna senada. Ia mengambil sehelai halaman dari buku itu sebelum dikembalikannya ke tempat semula.
Ami mengunci pintu kamarnya dan mulai menulis di kertas merah muda tersebut.
Malam pun semakin larut...
* * *
“Angga! Bangun!”
Gedoran keras di pintu kamarnya yang dikunci membuat Angga terbangun.
Astaga! Aku tidur nyenyak banget sampe nggak denger alarm!Jam berapa ini?
Pemuda ini segera melompat dari tempat tidurnya. Suara gedoran itu masih terdengar.
“Sebentar, Bu!” teriaknya.“Cepetan, nanti kalian berdua terlambat!” seru Ibu dari balik pintu.
* * *
SMU Negeri 13...
Tepat saat Angga memasuki gerbang sekolah, bel masuk berbunyi.
“Fyuuh... Untuuung masih keburu...” desis Angga dengan peluh yang bercucuran di sekujur tubuhnya.
Angga sendiri sebenarnya tidak peduli seandainya ia terlambat masuk sekolah. Sudah beberapa kali ia merasakan ‘nikmatnya’ terlambat.
Aturan yang berlaku di sekolahnya adalah ketika bel masuk berbunyi, gerbang akan ditutup. Siswa yang terlambat akan didata oleh Mas Paijo namun tidak diperkenankan masuk area sekolah hingga jam pelajaran pertama berakhir. Kesempatan ini biasanya malah dipergunakan sebagian siswa yang terlambat untuk mengisi perut sambil menyiapkan diri untuk - istilah mereka - dibantai oleh Guru Konseling Super Killer Ibu Ida.
Di jam kedua, siswa yang terlambat diharuskan masuk ‘Ruang Pembantaian’, ini lagi-lagi merupakan istilah yang digunakan para siswa untuk menyebut Ruang Konseling. Di ruang itulah, mereka-mereka yang terlambat akan mendapat pelajaran disiplin dari Ibu Ida - selama jam pelajaran kedua. Ibu Ida yang terkenal tegas akan menggunakan kesempatan itu untuk memeriksa semuanya dari siswa yang terlambat; kepatuhan berseragam, cara berpakaian, potongan rambut, isi tas, termasuk isi ponsel. Jika ada hal yang menyalahi aturan, guru konseling tersebut tak segan untuk mengirimkan surat pemanggilan pada orangtua.
Orangtua Angga sendiri pernah dipanggil ke sekolah gara-gara pemuda itu kedapatan membawa komik.
Yah, aku sih masa bodo, tapi kasian kalo Nay sampe dibantai sama bu Ida, batin Angga.Sudah banyak murid perempuan yang nangis di Ruang Pembantaian itu - yah meskipun karena kesalahan mereka sendiri sih...
“Kita beruntung, Nay,” ujar Angga, “Kalo tadi kita sampe telat, aku bakalan nggak enak sama kamu.”
“Kenapa?” tanya Nay.
“Guru Konseling di sini tegas dan disiplinnya minta ampun...” sahut Angga sambil celingukan.
Nay tertawa.
“Gyah, dikasih tau malah ketawa,” sahut Angga keki, “Udah sana masuk kelas! Kalo perlu lari!”“Okay, Ngga. Thanks ya!” seru Nay. Gadis itu berlari ke kelasnya.
Begitu tiba, Nay langsung membanting pantatnya di bangku untuk kemudian sejenak mengatur nafasnya yang memburu karena berlari tadi.
Untung gurunya belum datang...“Hei, tomboy,” terdengar suara dari bangku kanan belakangnya.
Novan.
Nay menoleh. Sejujurnya ia merasa tidak nyaman dengan Novan, tapi apa boleh buat.
“Tumben telat?” tanya Novan.“Angga bangun kesiangan,” jawab Nay pendek sambil menyiapkan diri untuk pelajaran pertama hari itu.
“Oo,” balas Novan, “Tadinya kupikir kamu hari ini nggak masuk, soalnya kamu kemarin sakit dan ijin pulang cepet.”
“Ya sih,” sahut Nay, “Tapi hari ini aku udah baikan kok.”
Novan tersenyum.
“Yawdah kalo gitu. Aku seneng kamu udah sehat lagi.”
Tepat pada saat itu Pak Nug, guru Kesenian masuk ke kelas mereka. Novan buru-buru mengatakan sesuatu pada Nay,
“Aku naruh kertas di laci mejamu. Baca aja.”
Nay mencari kertas yang disebut Novan di laci mejanya.
Ada!
Seketika itu wajah Nay berubah pucat ketika membaca pesan yang tertulis di kertas tersebut! Bibirnya gemetar, jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mengalir dari sekujur tubuhnya. Dunia terasa berputar, pandangannya berkunang-kunang.
Kertas tersebut terlepas dari tangan Nay bersamaan dengan tubuhnya yang menjadi lemas tak bertenaga.
“Nay!”
Dengan sigap, Novan menangkap tubuh Nay, mencegah agar gadis itu tidak terjatuh. Seisi kelas menjadi gaduh karenanya.
“Tolong... anter aku ke UKS...” pinta Nay lemah.“Pak?” Novan memandang Pak Nug.
Guru Kesenian itu mengangguk,
“Bawa aja ke UKS.”
Dua orang murid perempuan kemudian menggantikan Novan memapah Nay ke Ruang UKS. Novan memungut kertas yang tadi ia tujukan pada Nay.
Kertas itu bertuliskan sebuah nama - teman masa kecilnya.
Tara Kissa Nayra.
(Bersambung)
Sebaris nama yang tertulis di kertas ternyata sangat besar efeknya bagi Nay! Siapa Tara Kissa Nayra? Dan kenapa reaksi Nay sangat di luar dugaan ketika dirinya ditunjukkan nama tersebut? Apakah ini berhubungan dengan masa lalu Nay? Ikuti chapter berikutnya saat Ami merasa kecewa dengan sikap Angga!“Ada Cinta”, terbit dua kali dalam seminggu, Selasa dan Jumat…
Ada Cinta #9 : Ami yang Kecewa | Ada Cinta #1 : Siapa gadis Itu?
Sumber gambar : forumotion.net
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H