Psikologi seharusnya dikatakan sebagai ilmu yang berbicara tentang jiwa sebagaimana lazimnya definisi ilmu pengetahuan, tetapi psikologi tidak berbicara tentang jiwa.
Ia berbicara tentang tingkah laku manusia yang diasumsikan sebagai gejala dari jiwanya. Penelitian psikologi tidak pernah meneliti tentang jiwa manusia, yang diteliti adalah tingkah laku manusia melalui perenungan, pengamatan dan laboratorium, kemudian dari satu tingkah laku dihubungkan dengan tingkah laku yang lain selanjutnya dirumuskan hukum-hukum kejiwaan manusia. (Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA, Psikologi Dakwah)
Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar alat saja. Berbanding terbalik dengan Plato, Aristoteles mengatakan bahwa jiwa itu adalah fungsi dari badan sebagaimana penglihatan adalah fungsi dari mata.
Kajian tentang jiwa di Yunani selanjutnya menurun bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani.
George A. Miller dalam bukunya Psychology and Communication merumuskan definisi yang lebih bersifat terapan, yaitu "Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral events",
Yaitu bahwa psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan tingkah laku manusia. Maka dari itu psikologi juga bisa digunakan untuk memprediksi suatu peristiwa sosial politik dan bahkan bisa untuk mengendalikan kekuatan politik.
Sudah pasti optimalisasi dakwah juga membutuhkan psikologi.
Seorang psikolog asal Korea, Uichol Kim (1990), mengkritik psikologi barat yang menyamaratakan pandangan psikologisnya sebagai human universal dengan menawarkan konsep psikologi pribumi (the indigenous psychology).
Menurut Kim, manusia tidak cukup dipahami dengan teori psikologi barat karena psikologi barat sesungguhnya hanya tepat untuk mengkaji manusia barat sesuai dengan kultur sekuler yang melatar belakangi lahirnya ilmu itu.
Untuk memahami manusia di belahan bumi lain, di Jawa Timur misalnya harus digunakan pula basis kultur dimana manusia itu hidup.