Hai, perkenalkan saya Ryan. Saya adalah seorang manusia yang gemar untuk menulis dan membaca. Belakangan ini, saya sedang tertarik dengan fenomena Streisand Effect. Fenomena ini dapat diartikan sebagai fenomena ketika upaya untuk menyembunyikan, menghapus, atau menyensor informasi, malah membuat informasi tersebut semakin tersebar luas. Sungguh fenomena yang unik. Saya pun penasaran. Oleh sebab itu, saya membuat artikel ini. Apakah ini termasuk bentuk penelitian? Entahlah. Mungkin akan menjadi penelitian yang unik jika metode yang digunakan adalah artikel Kompasiana.Â
Streisand mengacu pada nama penyanyi Amerika, bernama Barbra Streisand. Saat itu, ia mengajukan gugatan kepada seorang fotografer bernama Kenneth Adelman atas pelanggaran privasi. Hal ini muncul dikarenakan fotografer ini telah memuat foto rumahnya didalam album foto online yang berisikan 12.000 foto garis pantai California. Barbra ingin foto rumahnya untuk dihapus. Hakim yang menangani kasus Barbra, menolak gugatannya, dengan alasan bahwa Kenneth memotret garis pantai untuk mendokumentasikan erosi pantai, sebagai proyek yang mempengaruhi pembuatan kebijakan pemerintah saat itu. Akibat dari kasus ini, foto rumah Barbra, yang seharusnya ingin dihapus dari internet, malah tersebar dan dilihat oleh lebih dari 420.000 orang.Â
Fenomena yang menarik untuk diperbincangkan. Sepertinya, di Indonesia sendiri, fenomena ini kerap terjadi. Atau bahkan, jauh sebelum kasus Barbra muncul pun, manusia sudah memiliki sifat "kepo" yang sangat tinggi. Semakin ditutupi, semakin digali. Mari berkaca dari rasa "ingin tahu" berlebih yang dimiliki oleh Adam dan Hawa. Ketika Tuhan memberi titah untuk tidak memakan "buah terlarang", maka semakin penasaranlah mereka dengan rasa buah itu. Pada akhirnya, mereka pun memakannya. Hal ini menunjukkan bahwa, terkadang rasa "ingin tahu" yang berlebih itu tidak baik. Lebih tepatnya, segala hal yang berlebihan itu tidak baik.
Indonesia negara yang besar, dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa. Semakin banyak kepala, semakin banyak pula ide dan gagasan, serta sejujurnya menurut saya pribadi, semakin sulit untuk dikontrol. Seorang presiden, tentu mengemban tugas yang sangat sulit untuk mengontrol 270 juta kepala lainnya. Apalagi, ketika telah dikeluarkan suatu peraturani mengenai "larangan". Apapun alasan baik dibalik "larangan" itu, ada saja pihak yang menentang. Semakin dilarang, semakin menjadi-jadi. Terbukti saat kasus Covid-19 yang meningkat, padahal sudah ada larangan untuk keluar rumah. Bahkan influencer pun, dapat ikut melanggarnya. Inilah fenomena Streisand Effect di Indonesia. Mungkin terlalu luas untuk membicarakan dalam skala Indonesia. Mari kita lihat dari para Kompasianers yang membuka artikel ini. Hal ini telah membuktikan bahwa fenomena ini memang nyata dan terjadi.
Apakah Streisand Effect memiliki sebuah penawar yang dapat membuat orang-orang tidak "kepo"? Jika ada, tentunya saya akan dengan senang hati membelinya. Saya sendiri termasuk orang yang "kepo" dan terkadang hal ini membawa kerugian bagi diri saya sendiri. Saya terkadang menghabiskan banyak waktu untuk memenuhi rasa "ingin tahu" saya. Dimulai dari drama korea, bermain game, dan terutama saat mencari data untuk tugas. Seperti yang kita ketahui, web-web terkadang memasang iklan yang memunculkan rasa "ingin tahu" kepada para pengunjungnya, dan saya sebagai manusia "kepo" tentunya ingin tahu. Alhasil, saya menghabiskan 3 jam untuk mendalami hal tersebut. Tugas pun terbengkalai.
Streisand Effect juga merupakan implementasi dari sebuah kisah mitologi Yunani, yakni kisah mengenai Pandora. Pandora merupakan seorang manusia yang diciptakan atas perintah Zeus. Pandora diberkahi dengan rasa "ingin tahu" yang besar. Pandora menikah dengan Epimetheus (Seorang titan yang merupakan representasi manusia dalam mitologi Yunani). Epimetheus bersama dengan saudaranya, Prometeus, bertugas untuk menjaga sebuah guci yang tidak boleh dibuka, karena berisikan segala keburukan di Bumi. Namun, karena rasa "ingin tahu" yang besar dari Pandora, ia pun membuka guci itu, dan tersebarlah wabah penyakit, kelaparan, kebencian, rasa dendam, dan hal keji lainnya.
Namun, tidak dapat dipungkiri, bahwa rasa "ingin tahu" dan kepo ini juga diperlukan, terutama untuk melakukan inovasi-inovasi terbaru yang dapat memajukan kehidupan manusia. Bayangkan jika pada jaman dahulu, tidak ada manusia yang "ingin tahu" atau kepo mengenai hukum fisika. Bisa jadi, tidak ditemukan roda, dan kita akan terus mengangkut beban berat. Atau bahkan, bisa saja kita masih perlu berburu hewan secara liar dikarenakan tidak adanya inovasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Dalam dunia  modern seperti saat ini, sebagian pihak memanfaatkan rasa "ingin tahu" atau Streisand Effect atau rasa kepo dari masyarakat untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini terutama dalam bidang marketing atau pemasaran. Tidak heran jika iklan pada zaman sekarang, sangatlah menarik dan membuat para penonton ingin membeli produk yang dijual. Tentu saja, keahlian itu memerlukan pelatihan dan ilmu pengetahuan yang luas pula.Â
Bagaikan pisau bermata dua, rasa "ingin tahu" ini dapat menguntungkan dan juga membuntungkan. Sebagai manusia, tentunya kita harus dapat memilah informasi yang kita perlukan dan tidak diperlukan. Karena, semua hal yang berlebihan memanglah tidak baik. Namun, kembali lagi, itu semua adalah pilihan setiap individu, yang tidak dapat disalahkan ataupun dibenarkan. Karena pada dasarnya, manusia adalah makluk yang selalu ingin tahu. Layaknya artikel ini. Terdapat tulisan yang terpampang besar untuk tidak membuka artikel ini, tetapi anda tetap membacanya hingga paragraf terakhir. Saya berterimakasih kepada kalian, para pembaca dengan rasa "ingin tahu" yang tinggi, karena dengan sukarela telah menjadi sampel dari rasa kepo saya terhadap fenomena Streisand Effect. Salam hangat, penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H