Mohon tunggu...
Ryan FirmansyahNur
Ryan FirmansyahNur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Seorang mahasiswa yang minat dalam dunia game

Selanjutnya

Tutup

Seni

Boneka Labubu: Dari Kreasi Seni Hingga Obsesi Konsumtif

13 Desember 2024   21:13 Diperbarui: 13 Desember 2024   21:21 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Fenomena Boneka Labubu telah menjadi viral di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, menciptakan gelombang antusiasme yang luar biasa di kalangan pecinta art toys. Labubu, yang awalnya merupakan karya seni dari Pop Mart, sebuah perusahaan mainan asal China, telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar boneka koleksi. Di Indonesia, tren mengoleksi Labubu tidak hanya mencerminkan apresiasi terhadap seni kontemporer, tetapi juga menunjukkan pergeseran pola konsumsi masyarakat yang semakin mengarah pada perilaku konsumtif berlebihan.

Revolusi digital telah mengubah lanskap belanja masyarakat Indonesia secara signifikan, dengan platform e-commerce menjadi tempat utama transaksi pembelian Labubu. Kemudahan akses dan beragam metode pembayaran digital telah mendorong peningkatan konsumsi barang lifestyle secara dramatis. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) semakin menguat ketika platform digital menawarkan berbagai promosi dan edisi terbatas Labubu, mendorong konsumen untuk melakukan pembelian impulsif tanpa pertimbangan matang.

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan pengguna media sosial aktif terbesar di dunia, dengan penetrasi yang mencapai lebih dari 60% dari total populasi. Platform seperti TikTok dan Instagram menjadi medan utama penyebaran tren Labubu, dengan durasi penggunaan rata-rata mencapai 3,5 jam per hari. Tingginya intensitas penggunaan media sosial berbanding lurus dengan meningkatnya perilaku konsumtif, terutama dalam pembelian produk-produk viral seperti Labubu.

Merujuk pada Social Learning Theory yang dikemukakan oleh Albert Bandura, perilaku konsumtif terhadap Labubu dapat dijelaskan melalui proses pembelajaran observasional dan modeling. Para influencer dan selebriti berperan sebagai model yang mempengaruhi perilaku pengikutnya melalui konten unboxing dan review Labubu. Strategi marketing yang melibatkan key opinion leader terbukti efektif dalam menciptakan tren dan mendorong penjualan Labubu secara masif.

Faktor internal seperti kebutuhan akan pengakuan sosial dan rasa memiliki menjadi pendorong utama perilaku konsumtif terhadap Labubu. Budaya kolektivisme yang kuat dalam masyarakat Indonesia membuat tren Labubu cepat menyebar dan diadopsi secara luas. Fenomena FOMO tidak hanya berdampak pada pola konsumsi, tetapi juga berpengaruh pada kesehatan mental konsumen, terutama ketika mereka merasa tertinggal dari tren yang sedang berlangsung.

Perjalanan tren koleksi di Indonesia telah mengalami evolusi signifikan, dari barang-barang fungsional hingga art toys seperti Labubu. Posisi Labubu yang unik dalam pasar barang koleksi didukung oleh desainnya yang menarik, kualitas produksi yang baik, dan nilai eksklusivitas yang ditawarkan. Faktor-faktor ini membuat Labubu menjadi incaran kolektor dan penggemar art toys di Indonesia.

Target market utama Labubu adalah generasi Z dan milenial yang memiliki daya beli tinggi dan kecenderungan mengikuti tren. Karakteristik konsumen ini mencakup ketertarikan pada produk unik, kesediaan membayar lebih untuk barang koleksi, dan keterlibatan aktif dalam komunitas penggemar. Motivasi pembelian bervariasi mulai dari koleksi pribadi hingga investasi jangka panjang.

Fenomena Labubu telah mengubah prioritas konsumsi masyarakat, bahkan mendorong sebagian orang untuk berhutang demi memiliki koleksi lengkap. Pergeseran nilai sosial terlihat dari bagaimana kepemilikan Labubu menjadi simbol status dan gaya hidup. Dampak positifnya adalah terbentuknya komunitas penggemar yang saling mendukung dan berbagi informasi.

Pasar art toys di Indonesia, termasuk Labubu, menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dengan potensi investasi yang menjanjikan. Namun, tren ini juga membawa risiko spekulasi harga dan kemungkinan kerugian investasi. UMKM lokal merespons fenomena ini dengan menciptakan produk serupa atau aksesori pendukung, menciptakan ekosistem ekonomi baru di sekitar tren Labubu.

Fenomena Labubu menjadi cerminan masyarakat Indonesia kontemporer yang semakin konsumtif dan terpengaruh tren digital. Pentingnya literasi keuangan dan konsumsi bijak perlu ditekankan untuk mencegah dampak negatif dari perilaku konsumtif berlebihan. Bagi konsumen dan stakeholder terkait, diperlukan keseimbangan antara mengikuti tren dan mengelola keuangan secara bertanggung jawab. Ke depan, tren art toys seperti Labubu diprediksi akan terus berkembang dengan variasi dan inovasi baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun