Selama dua jam menyaksikan 'Gundala', kita disuguhi sinematografi yang mumpuni, latar cerita yang meyakinkan, adegan pertarungan yang intens, serta musik latar yang cukup inspiratif.Â
Mungkin hanya di satu atau dua titik saja penerapan efek visual terasa kurang maksimal, tapi secara keseluruhan tidaklah menggangu. Tema yang diusung pun dekat dengan keseharian. Jika Bong Joon-ho dipaksa untuk mengadaptasi komik pahlawan super ke layar lebar, mungkin gagasan yang ia sampaikan tak akan jauh berbeda.Â
Di sisi lain, ambisi untuk memperkenalkan sebanyak mungkin karakter beberapa di antaranya tidak terintegrasi dengan baik serta kecenderungan Joko Anwar mengutamakan misteri dibanding urgensi malah seperti menjauhkan film ini dari koherensi.
Negeri ini butuh patriot. Begitu tulisan yang tertera di poster promo 'Gundala'. Dalam salah satu wawancara, Joko Anwar menyebut film ini memang merefleksikan situasi sosial politik Indonesia saat ini.Â
Tak heran hoaks menggelikan pemicu kegaduhan serta beberapa hal lain yang dimunculkannya di sini terasa tak asing bagi kita. Joko yang merangkap sebagai sutradara sekaligus penulis seakan mengisyaratkan perlunya kehadiran inspirator di tengah himpitan permasalahan yang dihadapi di negeri ini. Ia pun kemudian menjadikan resonansi sebagai gagasan utama cerita.Â
Sepanjang film, beberapa kali diperlihatkan bagaimana tindakan satu orang akan diikuti oleh orang lain yang satu pemikiran: aksi serikat pekerja menuntut keadilan, pemberontakan anak-anak panti asuhan, bersatunya masyarakat menghentikan penjarahan, dan perlawanan terhadap oligarki politik.Â
Tak ketinggalan, aksi pamungkas Sancaka (Abimana Aryasatya) pun turut memanfaatkan kesamaan frekuensi alami sebuah kristal. Sayangnya, apa yang ditampilkan di adegan pembuka tidak "beresonansi" dengan baik dengan apa yang ditampilkannya di penutup.Â
Alih-alih memberikan sebuah simpulan, Joko Anwar tampak lebih tertarik menghadirkan belokan alur (plot twist) sekaligus pemantik rasa penasaran penonton terhadap film-film adisatria Bumilangit berikutnya.Â
Jika dikaitkan dengan sifat gelombang bunyi, adegan yang ditampilkan di penghujung cerita tak ubahnya difraksi yang merupakan pembelokan arah gerak gelombang.
'Gundala' dibuka dengan adegan para pekerja pabrik yang meneriakkan, "Maju bersatu melawan penindasan! Maju bersatu tak bisa dikalahkan!" Mudah diterka jika pada akhirnya, Â para pekerja ini harus takluk pada permainan pemilik modal.Â