Dari Surakarta saya menyusuri kota Larantuka hanya karena cerpen Seno Gumira tentang senja yang dibaca dengan indah oleh aktor kawakan Abimana Aryasatya di kanal YouTube. Aku teringat warna kota kecil  itu.
"Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah dan pasir tetap saja hangat... (Sepotong Senja untuk Pacarku)" begitulah kira-kira rupanya.
Saya duduk di rooftop tempat tinggalku di Solo demi membaca arah angin senja. Dari tepian itu, saya memandang senja yang jatuh di antara gedung-gedung.Â
Cahaya yang tumpah di awan berbaur dengan warna cat gedung-gedung itu, tak ada pantai, tak ada debur ombak pada lautan. Tak ada pacar, hanya nostalgia dengan secangkir kopi buatan sendiri.
***
Bagai menembusi lorong waktu atau melewati pintu ajaib Doraemon, saya tiba di pantai paling ramai di Larantuka dan memesan segelas kopi dari warung di sana.Â
Pantai Kota namanya. Pantai ini menawarkan rona senja seperti potret senja Seno Gumira dalam "Sepotong Senja untuk Pacarku." Potret senja dalam cerita itu amat indah dan kekal.
Ada satu hal nyata dari potret senja itu dengan senja ini ialah rona pada gumpalan awan dan pacar yang tak ada di samping.Â
Namun demikian, saya tak perlu repot-repot memotret senja ini untuk dikirimkan kepada pacar atau menaruhnya di media sosial demi suka atau komentar. Senja tidak abadi di dalam sana.
Setelah berbagi kabar dengan Ibu pemilik warung yang penasaran dengan keberadaan saya selama ini, saya pun mendekat pada laut untuk merasakan debur ombak. Desir air pada kaki membawa kenikmatan yang hangat. Sekian lama.