"Mari Berbagi - Menuju Perwujudan Diri Sejati", demikian tema Surat Gembala Prapaskah 2011 dari Uskup KAJ, Mgr. Ignasius Suharyo. Sejauh yang saya pahami ada dua alasan dibalik perumusan tema tersebut. Pertama, Gereja menyadari tugasnya dalam konteks Indonesia, yakni "ikut merasakan kegembiraan dan harapan serta keprihatinan dan kecemasan" masyarakat (no.2). Artinya, tema itu lahir dari kepedulian akan situasi sosial-ekonomi Indonesia.
Kedua, senada dengan cita-cita yang digariskan dalam Arah Dasar Pastoral KAJ, Gereja hendak memberi tempat pada upaya membangun persaudaraan sejati dan terlibat dalam pelayanan kasih (no.2). Tema "Mari Berbagi", tampaknya bisa mengakomodasi dua alasan tersebut.
Mencermati kondisi sosial ekonomi masyarakat atau bangsa kita, ajakan untuk berbagi terasa relevan. Namun ajakan itu juga merupakan sebuah tantangan yang menghadapkan kita pada pertanyaan "Bersedia kita berbagi?
Berbagi selalu mengandaikan kerelaan untuk memberi kepada yang lain apa yang menjadi bagian kita. Berbagi selalu mengandaikan kesediaan untuk melepaskan kelekatan dengan apa yang kita miliki. Berbagi selalu mengandaikan kesadaran bahwa aku mesti bisa berbuat sesuatu bagi yang lain.
Belajar dari St. Fransiskus Asisi
Saat menyelami makna ajakan untuk berbagi", saya teringat dengan salah satu peristiwa penting dalam hidup St. Fransiskus Asisi, yakni pertengkaran dengan ayahnya - seorang pedagang kaya di Asisi, Italia - Pietro Benardone. Pada masa hidup Fransiskus, tatanan sosial ekonomi Asisi dipengaruhi sistem feodalisme yang mengakibatkan adanya jurang antara kaum kaya dan miskin.
Suatu ketika ia disuruh menjual kain - barang dagangan ayahnya. Tapi, tiba-tiba Fransiskus memutuskan tidak menjual kain-kain itu. Barang dagangan ayahnya itu dibagikannya secara gratis kepada orang-orang miskin. Tindakannya tentu saja terasa sangat aneh di mata ayahnya. Keinginan sang ayah untuk mendapat untung pupus karena tindakan anaknya sendiri. Anaknya yang semula dikenal matre, tiba-tiba berubah. Ayahnya marah dan mengusir Fransiskus.
Namun saat itu, Fransiskus melihat bahwa sikapnya tepat. Bahkan ia bangga dengan tindakannya. Dalam dirinya muncul sikap bela rasa dan kepedulian ketika berjumpa dengan orang miskin dan penderita kusta di jalan-jalan di Asisi. Pengalaman perubahan tersebut digambarkannya dengan ungkapan: "apa yang dahulu terasa memuakkan bagiku sekarang berubah menjadi manis". Ia mengakui, sekarang ia malahan merindukan kesempatan untuk menjumpai orang miskin dan menderita.
Fransiskus berubah secara radikal. Dari seorang yang egois menjadi murah hati, solider dan berbela rasa dengan sesama. Dalam konteks ajakan untuk berbagi, bagi saya, pengalaman St. Fransiskus memperlihatkan beberapa poin penting yang bisa dipetik.
Pertama, dimensi eksperiensial mendapat tempat dalam peristiwa peralihan cara pandang dan perilakunya. Perjumpaan dengan realitas membawa ia pada kesadaran untuk berubah. Saat bertatapan dengan orang-orang kecil, mata dan hatinya terbuka untuk melihat apa yang terjadi di luar lingkungan keluarganya. Bahwa ternyata masih ada orang yang hidupnya susah, tidak seperti keluarganya yang kaya.
Kedua, tindakan St Fransiskus menjadi gugatan terhadap kesenjangan sosial di lingkungan kehidupannya. Lewat tindakan berbagi yang digugat adalah ketidakpedulian keluarganya terhadap kondisi sesama. Dengan berbagi Fransiskus seakan memberi pesan bagi ayahnya untuk menerobos benteng ketertutupan dan membuka mata terhadap realitas sosial di sekitar.