Leuwisadeng merupakan kecamatan di Kabupaten Bogor yang dikenal sebagai kampung santri. Budaya keseharian di Leuwisadeng sangat religius. Masyarakat begitu patuh pada aturan desa dan agama yang mereka anut. Mereka memiliki kebiasan untuk melakukan pengajian secara rutin. Mereka pun mempunyai larangan-larangan seperti tidak diperbolehkan untuk mengadakan sebuah acara dangdut.
"Mengadakan acara dangdut di desa kami tidak diperbolehkan karena masyarakat sekitar beranggapan dangdut itu menyimpang dari agama dan mendekati perzinahan." ujar Tri Novyani (27), salah satu warga desa Leuwisadeng.
Meskipun sekarang acara dangdut sudah diperbolehkan oleh lurah dan kepala camat. Namun, tak banyak juga masyarakat yang menerima keputusan tersebut. "Boleh mengadakan acara dangdut, itu pun harus seizin warga sekitar. Pihak kepolisian pun ikut serta menjaga berjalannya acara dangdut. Tapi ya karena rawan, sampai sekarang dangdut tidak ada lagi di desa kami." terangnya.
Kampung santri ini memiliki beberapa kesenian, diantaranya yaitu marawis dan pagutan. Marawis merupakan salah satu seni musik yang bersyair keagamaan. Kesenian marawis sangat dikenal oleh masyarakat sekitar.
Kesenian yang berkembang di Desa Leuwisadeng ini tidak hanya dilakukan oleh para santri saja, namun para murid di sekolah pun ikut melakukan kegiatan marawis. Peralatan yang dimainkan seperti rebana, tumbuk pinggang marawis, gendang, tamborin dan ketipung. Marawis selalu hadir di setiap acara dan juga diperlombakan di desa Leuwisadeng.
Tidak seperti marawis, pagutan tak banyak dikenal masyarakat. Kesenian budaya ini sudah hampir pudar di desa Leuwisadeng. Pagutan menampilkan dua kubu yang saling membacakan sholawat dengan memakai teka-teki atau pertanyaan diiringi musik sekaligus. Pagutan melibatkan pria lanjut usia sebagai pemain yang mahir untuk menampilkannya.
"Jadi kakek-kakek itu tampil berhadap-hadapan seperti akan berkelahi tetapi mereka tidak berkelahi sungguhan melainkan saling melontarkan teka-teki dan menjawab pertanyaan dari teka-teki tersebut." ujar Uus Rusmana, selaku Staf Pelaksana Bidang Pemerintahan Kecamatan Leuwisadeng.
Kesenian pagutan berasal dari daerah pabutan Kecamatan Rumpin yang dikembangkan di Kecamatan Leuwisadeng. Kesenian budaya ini dikembangkan oleh KH Hasan Basri dan KH Mama Bakri Kedaung Jasinga pada zaman Belanda pada tahun 1947.
"Personil pagutan rata-rata sudah lanjut usia, mereka kelahiran tahun 1942 an. Diantara personil lain, yang paling menonjol adalah pak Sujaih. Kini ia sudah berumur sekitar 72 tahun." ucap Ma'mur, selaku Badan Permusyawaratan Desa Leuwisadeng.
![(dok. pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/05/1-5c7ded6743322f302570d7d2.jpg?t=o&v=770)
Selaku petinggi di Kecamatan Leuwisadeng, mereka berharap agar kesenian pagutan dapat berkembang kembali dengan ditampilkannya di berbagai acara, termasuk Festival Budaya Daerah. Mereka juga ingin masyarakat tertarik dengan kesenian pagutan agar dapat meneruskan atau mengembangkan kesenian ini di kemudian hari. (RAP)