Aku suka sepakbola jauh sebelum tahu ternyata olahraga ini adalah permainan yang luar biasa populernya di seluruh dunia. Dia, si kulit bundar yang dimainkan dengan cara ditendang, disundul atau diapakan saja dengan menggunakan anggota tubuh mana saja, asalkan tidak menggunakan tangan. Semua mengidolakannya. Di mana saja,dari garis lintang dan bujur manapun di bumi yang berpenghuni manusia, ia tampak dimainkan. Mulai dari penduduk di negara developed, developing, atau underdeveloped, meski betapa riskannya pola pengklasifikasian jenis ini karena pasti tolak-ukurnya hanyalah kemakmuran ekonomi. Ah, enggak usah dipikirkanlah, kita lagi ngomongin sepakbola kok! Aku suka sepakbola karena ia mengakomodasi banyak hal. Bagiku, sepakbola adalah olahraga yang akomodatif. Ia mengakomodasi situasi dan kebutuhan kita yang beragam. Ia mengakomodasi keterbatasan. Jika berada di pinggir pantai, sepakbola pantai bisa dimainkan. Di dalam ruangan, ada sepakbola indoor. Jika ada yang gemar berakrobat dengan bola, sepakbola freestyle tersedia untuk mengakomodasinya. Kali lain, bila lapangan yang layak tidak ada, jalan dan taman kecil bahkan sawah yang habis panen pun bisa diberdayakan sebagai lapangan. Tak ada rotan, akar pun jadilah! Ia bisa mengakomodasi siapa saja nyaris tanpa pilih kasih, gender manapun, dan tak peduli apakah kamu kaya atau miskin. Bahkan yang cacat sekalipun terakomodasi lewat sepakbola paralimbik. Ada piala dunianya juga loh! Aku suka sepakbola, jauh sebelum tahu PSSI-nya kita adalah bagian dari AFC, dan AFC adalah bagian dari FIFA, yang sejak berada dalam genggaman tangan besi Joae Havalange, sang taipan kaya dari Brazil, dan Sepp Blatter suksesornya yang bertangan dingin dan tegas, sukses merestrukturisasi dan menjadikan sepakbola, terutama lewat Piala Dunia, sebagai sebuah permainan besar. Industri raksasa yang melibatkan banyak modal, didukung oleh sangat banyak pihak yang berarti menafkahi banyak orang, bahkan turut menjadi ladang ‘berkah' bagi para penjudi, para kriminal kelas teri maupun ‘korporasi' kelas kakap untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya dengan jalan sogokan, pengaturan skor atau apalah namanya. Aku suka sepakbola, biarpun orang katakan, "Betapa bodohnya 22 orang di lapangan berburu dan saling bertarung untuk memperebutkan sebuah bangun ruang berupa bola yang adalah benda mati!" Karena sejatinya, sepakbola butuh intelegensia yang tinggi. Butuh ramuan antara refleks dan kejelian otak membaca situasi permainan dalam waktu sangat singkat. Bukan hanya butuh otot atau tenaga yang prima saja tetapi juga otak yang cerdas. Jadi tentunya mereka bukan orang bodoh, mau bukti? Albert Camus pernah memainkan olahraga ini. Posisinya sebagai kiper sebelum TBC terpaksa menghentikan karirnya yang cukup menjanjikan pada umur 17 tahun. Juga dimainkan secara profesional oleh pemegang dua gelar doktor dalam bidang kedokteran dan filsafat dari Brazil yaitu Socrates. Juga digemari oleh Vladimir Nabokov sang novelis Rusia, Orham Pamuk sang sastrawan pascamodernis dari Turki, dan Naguib Mahfouz sang pemenang Hadiah Nobel Sastra dari Mesir.
***
Aku suka sepakbola apapun formasi yang digunakan oleh manajernya. Formasi kuno atau modern, terserah. Mau model bertahan seperti catenaccio yang lebih sering menjemukan bagi kita yang menontonnya dan kurang golnya, OK saja. Meski memang paling suka kalo manajernya adalah penganut total football dan menerapkannya di lapangan. Permainan pasti sangat menarik. Hujan gol dan yang terpenting kita dihujani tontonan yang menghibur. Bukankah esensi dari tontonan adalah mendapatkan hiburan? Menonton pertandingan, kunikmati meski itu lebih sering dari layar TV. Kiper yang melompat akrobatik untuk menyelamatkan gawangnya, bek men-tackle penyerang lawan yang bergerak masuk menusuk ke kotak penalti, gelandang mengatur irama permainan dan keseimbangan alur bola dalam tim, sementara striker mengeluarkan kemampuan terbaiknya mengakali bek dan kiper lawan untuk bisa mencetak gol. Masing-masing tim melakukan yang terbaik. Siapa lebih unggul dari siapa, taktik apa yang pas untuk bisa menaklukan lawan mana. Rasa-rasanya ada aroma perang yang sedang kita tonton sampai ketika pluit akhir pertandingan berbunyi, kita baru tersadarkan dan seolah-olah bangun dari mimpi, "Oh, ini hanya sebuah permainan!" Di tribun penonton, aku suka sepakbola karena penggemarnya yang begitu fanatik yang mentransfusikan semangat ke lapangan kepada tim dukungannya. Menyaksikan itu, seakan-akan sepakbola adalah sebuah isme baru yang dianut dan menyatukan sangat banyak orang tanpa pandang bulu. Sampai pada akhirnya kadang fanatisme buta, seperti yang tampak di negaraku tapi ‘syukur' juga terjadi di mana saja di muka bumi ini, olahraga ini seolah-olah melahirkan produk sampingan baru. Anarkis. Padahal tentu tidak begitu kan, Bung?
***
Aku suka sepakbola karena berhasil menjadi bukti nyata bagaimana melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Jutaan anak-anak yang diterlantarkan oleh kemiskinan, meski ini masih menjadi mimpi di negaraku, tapi paling tidak, sangat banyak anak di seluruh dunia, mulai dari Amerika Selatan sampai Afrika yang gudangnya kenista-papaan akibat ketakberpunyaan ekonomi, toh banyak yang bisa menikmatinya. Sangat banyak pemain kelas dunia, yang kini menuai kesuksesan, berangkat dari kemiskinan. Jutaan anak lainnya membangun mimpinya sendiri ke sana daripada berharap kepada negara atau siapa saja yang harusnya punya tanggung-jawab untuk membantu melepaskan belitan kemalangan nasib namun tak pernah kunjung datang. Aku suka sepakbola meskipun negaraku belum berbicara apa-apa, di manapun tentang identitas dirinya lewat apapun yang patut dibanggakan, terutama lewat sepakbola. Malang memang dengan penduduknya yang 235 juta jiwa, masa sih mencari 11 pemain yg cukup bisa membanggakan tidak mampu. Ah, ini pasti ada yang salah? Tapi, aku tetap suka olahraga ini, meskipun negaraku hanya berstatus penonton dan komentator kelas top saja. Aku tetap suka olahraga ini, siapa pun dan di mana pun dimainkan meski kini pestanya jauh dari negaraku, di Afrika Selatan sana. Afrika Selatan dan seluruh Afrika mendapat berkah dari olahraga ini. Kehormatan besar bagi mereka. Sepakbola mengangkat citra Afrika untuk mampu unjuk gigi, mengangkat pride benuanya yang selama ini terabaikan dan diabaikan karena dianggap miskin setelah lebih dulu dikeruk habis-habisan kekayaannya. Dianggap tak memiliki kebanggaan selain hanya menelorkan politik apartheid yang meminimalkan harkat manusiawi manusia, genosida manusia (di Rwanda) salah satu yang terburuk dalam sejarah, dan perang saudara yang selalu menghantui benua ini. Pada akhirnya, aku suka akan sepakbola persis seperti apa kata Sepp Blatter, "people are always kicking, old and young, even an unborn baby is kicking!"
*****
Referensi untuk fakta tentang sepakbola diambil dari: The Football Book, Dorling Kindersley, 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H