I long for my Dad, I Long for everything.
.
Sebagai orang yang sebatang kara di dunia yang luas ini, Dora terbiasa hidup egois. Di atas segalanya adalah dirinya sendiri. Arti kehadiran orang lain hanyalah sekadar diasas-manfaatin. Setiap hari, dari pagi hingga sore, ia berangkat ke stasiun kereta. Di sana, Dora bekerja untuk membiayai hidupnya. Dengan seting film terjadi pada masa di mana banyak penduduk Brasil yang tak bisa baca-tulis, Dora memanfaatkan kemampuan melek hurufnya untuk membantu mereka yang ingin berkirim kabar atau kerinduan kepada siapa saja yang pernah hadir dalam hidup mereka. Kepada anggota keluarga, sahabat, kekasih, atau relasi bisnis. Atas bantuannya itu, ia menarik bayaran.
Tepatnya, Dora menyewa sebuah lapak bermodalkan meja-kursi serta alat tulis di dalam area sebuah stasiun kereta di Rio de Janeiro. Di depan meja itulah para pelanggannya, satu demi satu, berdiri mengungkapkan apa yang ingin disampaikan lewat surat dan Dora menuliskannya. Kadang, jika mereka kehabisan kata-kata atau bingung membahasakan apa yang ada di benak mereka, Dora memberinya ide, atau mengganti kalimat-kalimatnya agar mudah dipahami. Dengan tambahan biaya, ia sekaligus berjanji akan mengeposkan surat-surat tersebut ke alamat yang dituju.
Sesi pada bagian-bagian ini yang paling disukai. Asik pangkat tiga. Sambil kadang diselingi dengan ketaksabaran Dora menghadapi pelanggannya, surat sebagai media ungkapan isi hati tampak pada raut wajah mereka ketika mendiktekan isi surat.
Â
Â
Dora: Apa yang mau ditulis? Silahkan!
Pelanggan: Ze Amaro, terima kasih banyak atas apa yang kau telah lakukan padaku. Kepercayaan yang kuberikan malah kau balas dengan menipuku. Bahkan, kunci rumahku pun kau bawa!
Â
Pelanggan: Alamatnya, saya tidak tahu persis.
Dora: Kalau tanpa alamat, tidak ada gunanya.
Pelanggan: Tulis saja, untuk rumah ketiga setelah toko roti.