Ibu, sesuatu bernama waktu memakan kita pelan-pelan. Di gurat keriputmu menghuni kisahku. Sejarahku menancap dalam. Di lembah-lembah dan jurang-jurang dari guratan itu, entah berapa banyak kepedihan yang aku sebabkan. Dan pada puncak-puncaknya, tentang kebanggaan, tentang keceriaan, tentang kebahagiaan, apakah aku pernah punya andil atas semua itu?
Lalu tentang kisah rambutmu yang dulu hitam lalu kini memutih-keperakan, akukah yang menyepuhnya selain hanya dengan kecemasan? Ataukah pigmen hitamnya rela larut sesering rambutmu kau pakai mengeringkan dua anak sungai airmata kekecewaan gegara aku.
.
Kini, aku sedang berdiri di sisi jalan. Aku hanya bisa menoleh ke belakang, mengenang segalanya, Â lalu melanjutkan perjalanan. Tak ada jalan menuju pulang karena langkahku kini hanya bergerak ke depan. Aku tak tak tahu, entah apakah jalan yang akan aku lalui. Masihkah akan panjang mulus atau mungkin mendadak mendapati halang rintang. Aku tak tahu. Sama tak tahunya, berapa sisa waktu lagi yang masing-masing masih bisa kita habiskan menanti ujung senja tiba. Tapi aku akan selalu mengenang pagi-pagi kemarin, ketika aku bocah yang sedang belajar berjalan. Aku akan selalu mengenang setiap siang yang datang dan aku beranjak menjadi anak belasan lalu berangkat dewasa.
.
Dan tentang waktu yang memakan kita pelan-pelan, ingatanku takkan pernah lekang karenanya. Sama seperti kasihmu yang takkan pernah lapuk hanya karena dirimu merapuh.
Tak ada kasih yang sempurna. Tapi gema nyanyian masa kecil nyaring berbunyi di gendang telingaku hari ini balas menjawab,
" ...hanya memberi,
tak harap kembali,
bagai ..."
.