Wherever a beautiful soul has been, there remains a trail of beautiful memories -- Anonymous
.
Kebumen, 12 September 2011
.
Di makam ini, kami menabur bunga untuk sebuah keberpulangan. Kami menabur bunga sebagai ganti ucapan selamat jalan dan selamat berpisah yang tak mampu keluar dari bibir kami. Kami mencucurkan air mata sedih untuk seorang baik yang telah purna memerankan aktor utama bagi hidupnya dan juga purna mengambil peran pendukung sebagai anak, adik, suami, ayah, dan sebagai sahabat. Ya, sahabat kami.
. . Dari dekat, kurekam momen hari ini! . .
Kulihat ibumu!
Ibumu adalah yang pertama menabur bunga ke atasmu di mana tubuh wadakmu untuk selamanya diperbaringkan. Untuk ketiga kalinya, ibumu datang ke tempat ini, menyerahkan satu persatu para lelaki terkasihnya pergi. Fragmen hidup yang miris di mana ibumu sebagai orang pertama yang merasakan kehadiranmu di dunia, akhirnya harus merelakan kepergian putranya. Putra yang dulu beliau kandung dan datangkan dengan semangat susah payah-bahagia dan gadang-gadangkan sebagai panglima penerus cita-cita keluarga akhirnya kini harus kembali ke dalam rahim Bumi. Ah, Bumi sang sumber kehidupan, yang menumbuhkan padi, ubi, sagu, dan jagung, kini memelukmu erat, kembali, dalam rangkulannya. Tapi Ibumu tetap tegar. Tak ada air mata yang tampak jatuh atau mungkin beliau telah mengangsurkannya habis sebelum hari ini datang. Atau mungkin pengalaman hidupnya sebagai sepuh telah mengajari beliau bahwa untuk segalanya, seluruhnya harus direlakan. Beliau mengamini garis takdir bahwa pada akhirnya semua ibu harus merelakan kepergian anak-anak terkasihnya entah ke penjuru mata angin mana saja.
. .