Mohon tunggu...
Ryan Andin
Ryan Andin Mohon Tunggu... lainnya -

---

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Akhir untuk Bukan Vonis Kepagian

16 Desember 2011   08:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:11 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di belakang ibumu, kupandangi satu ibu lagi. Ibu dari anakmu.

Hujan air mata tumpah dari tampuk matanya. Semuanya. Bahkan kalau pun bisa, ia akan meminjam air mata langit untuk dipersembahkan padamu. Ia ingin memberikan apa yang masih bisa ia perbuat, seolah-olah sebelumnya cintanya tak pernah cukup ia berikan. Maka kini, ia mencurahkannya habis untuk yang terakhir kalinya bagi seseorang yang kepadanya dulu ia menyerahkan dirinya untuk berjanji berbagi hidup bersamamu. Seseorang tempat ia melabuhkan seluruh kegembiraan dan kegalauannya; seseorang tempat ia berbagi kegelisahan bila sang buah hatinya sakit atau pun jatuh; seseorang tempat ia menumpangkan tangan ke atas bahumu demi mengalirkan kekuatan untuk jangan pernah takut tentang segala kemungkinan. Pun sebaliknya, kamu ke dia.

. .

Bersama yang lain, kulihat dua sahabatmu turut hadir bersama sepaket penuh salam doa selamat jalan dari para rekan yang tak sempat berkunjung. Mereka hadir menjengukmu untuk yang terakhir kali setelah jalan-jalan panjang sebagai sahabat pernah kalian tempuh bersama. Berdiri di sini, mereka ingin ada di sisimu, mengantarmu ke depan pintu istirahatmu selamanya, sama seperti dulu, zaman ketika masa muda adalah surga kenikmatan tanpa beban, kalian sama-sama berbagi.

â–  Kuperhatikan si lelaki bayang-bayang itu. Dua-tiga tetes air mata tersembunyi menggantung pelan di ujung matanya. Aku tahu itu apa. (Ada rasa bersalah yang dalam bahwa ia telah terlalu banyak membuang waktu berharga yang seharusnya bisa ia habiskan untuk menemanimu dalam kesusahan-kesusahan kemarin. Namun di atas semuanya, meski diam-diam dan berat diakui, ia merasa lega. Akhirnya kamu merdeka, lepas dari bayang-bayang kesakitan. Ia bangga denganmu, paling tidak kamu sudah melawan sakit dengan sehormat-hormatnya.)* â–  Di pojok kerumunan, berdiri seorang lelaki lain yang terobsesi dengan frasa burung rantau, menatap makammu, memandangi rumah barumu. "Satu burung rantau kini telah pergi, terbang menyelesaikan rute final migrasinya," demikian ia berguman dalam hatinya padahal ia belum sempat mengucapkan terima kasih atas banyak kalimat semangat dan dukungan yang pernah ia terima ketika ia merangkak melewati masa-masa suram dalam hidupnya.

. .

Kutekan tombol shutter ke kanan, lalu layar pelan-pelan off di kamera. Di dalamnya terekam kisah hari ini dan bersamanya kami menutup satu episode nyata di kehidupan kami namun betapa kenangan akan selalu meninggalkan jejak-jejaknya yang dalam tentang seorang baik yang pernah singgah, berbagi dan mengisi hari-hari di hidup kami, lalu kini telah pergi.

. .

---

. .

Istirahatkan lelahmu di atas sana tanpa ritus rasa sakit, tanpa multiresep 3 X 1 dan nikmati nikmat tidur panjangmu dalam rumah mahadamai serta lepaskan semua yang berbau dunia tempat kau sumuk mendapati banyak tragedi yang dihadirkan dunia pada manusia namun kau yakini pasti bahwa semua tumpahan kemalangan apa pun itu punya maksud agar masing-masing kita yang dicap dan mencap diri sebagai manusia peka merasai bahwa untuk setiap satu derita manusia yang tidak diringankan adalah kegagalan manusia seluruhnya.

. .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun