“HIV telah masuk ke ranjang rumah tangga,” ujar Yogi Lesmana, Mantan Koordinator Nasional Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI) di berbagai kesempatan terkait HIV dan AIDS terus menyuarakan fenomena tersebut. Kaum ibu rumah tangga dan anak yang notabene bukanlah kelompok yang berisiko harus menanggung ulah para suaminya, yaitu tertular HIV. Beginilah jika cinta dibungkus patriarkisme.
Menurut perkiraan Kementerian Kesehatan 2012 ada 6,7 juta laki-laki dengan perilaku berisiko yang dapat menularkan HIV kepada pasangan tetapnya. Sialnya dalam beberapa kasus, suami yang menularkan HIV kepada istrinya malah lebih dulu berpulang. Istri yang ditinggalkan mengalami kesedihan berlipat ganda, sudah berstatus janda ditambah pula dengan status Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang dialamatkan stigma dan diskriminasi oleh masyarakat.
Contohnya Putri Cherry, salah satu Perempuan Aktivis HIV dan AIDS ini harus menanggung risiko tertular HIV dari suaminya yang sudah meninggal. Dalam testimoninya pada Acara Puncak Hari AIDS Sedunia dua tahun lalu di TMII, ia mengatakan bahwa saat itu ia merasa terpuruk dan tidak lagi punya harapan untuk hidup lebih baik. Masyarakat terlanjur memberikan stereotip negatif kepada Ibu Rumah Tangga ODHA tanpa melihat fakta menyeluruh mengenai HIV di dalam tubuhnya. Alhasil, diskriminasi kerap kali ia alami kala membuka statusnya pada saat wawancara bekerja bahkan saat memeriksakan kesehatannya ke Rumah Sakit.
Kondisi ini membuatnya terpuruk, karena harus menjalani hidup dengan HIV dan AIDS sendirian. Tanpa suami yang semestinya ikut menanggung beban.“Kekuatan cintalah yang membuat saya menikah kembali dan memiliki dua anak yang bebas HIV. Kekuatan cinta dari ibu, suami dan anak-anak saya membuat saya melanjutkan hidup ini,” tutur Putry Cherry yang kini telah menikah kembali dengan suami yang negatif HIV dan dikaruniai dua orang anak yang juga negatif.
Putri mengaku ibunyalah yang selalu menyuruhnya tersenyum. Karena senyuman akan membuatnya lebih punya harapan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Eka. Perempuan aktivis HIV dan AIDS yang tergabung dalam Jaringan Aksi Perubahan Indonesia dan Community Organizer dampingan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) ini tertular HIV dari suaminya yang sudah meninggal.
Pada awalnya Eka merasa sangat depresi dan membenci tindakan suaminya yang tidak memeriksakan status HIV-nya ia tertular. Padahal dahulu suaminya berperilaku beresiko (penasun). Tetapi karena rasa cintanya terhadap suami dan perilaku suami di rumah tergolong laki-laki baik, Eka tidak terpikir untuk tahu lebih jauh status HIV suaminya.
Bukannya terpuruk, sepeninggal suaminya Eka bertekad membesarkan sekaligus menafkahi anaknya dengan mandiri meski keluarganya bersedia menopang. Dengan kebulatan tekadnya untuk membantu kaum perempuan lain terhindar dari bahaya HIV dan AIDS, ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan lamanya sebagai team leader di sebuah perusahaan swasta dan terjun aktif di LSM HIV dan AIDS. “Saya enggak ingin perempuan di luar sana merasakan hal yang sama seperti saya (terinfeksi HIV).”
Dari dua kasus HIV yang dialami oleh Ibu Rumah Tangga di atas tergambar bahwa perempuan masih terkungkung dalam penyanderaan seksual patriarkal yang mendewakan laki-laki beratasnamakan cinta.
Erich Fromm (1948) dalam esainya Seks dan Karakter (Sex and Character) meyakini perbedaan karakter antara perempuan dan laki-laki terbentuk oleh struktur sosial matriarkal dan patriarkal di suatu masa. Hal ini memiliki konsekuensi yang luas, seperti halnya pandangan kita tentang seksualitas dalam konteks perbedaan kelamin. Menurut Fromm, tingkah laku seksual bukanlah sebab, melainkan akibat dari sebuah struktur sosial.
Perilaku seksual berisiko seperti menolak menggunakan kondom meski sadar dirinya berisiko dan membeli seks terbentuk dari masyarakat patriarkal. Dalam perspektif patriarki, laki-laki adalah pihak dominan dalam relasi-kuasa antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dalam superioritasnya meletakkan seks sebagai simbol ego dan prestise sehingga dalam prakteknya laki-laki cenderung melakukan segala cara untuk melampiaskan hasrat seksualnya, termasuk dengan membeli seks.
Masyarakat patriarkal berperan sangat besar dalam penciptaan karakter laki-laki dengan segala bentuk dominasinya terhadap perempuan. Dalam hal seksualitas, laki-laki cenderung ingin dilayani dan dipenuhi hasratnya, serta membatasi jika sudah terpuaskan.
Prinsip patriarkal seperti cinta berpamrih, struktur hierarkis, hukum-hukum ciptaan manusia atau konsep negara dan keadilan inilah yang dibawa oleh laki-laki hingga kini. Anehnya dalam kasus penularan HIV dari suami kepada istrinya melalui transmisi seksual, prinsip keadilan ini menjadi paradoks. Ego seksualnya (perilaku berisiko) telah mengorbankan sang istri dan mematahkan prinsip keadilan yang diusung.
Berbeda dengan patriarki, Johann Jakob Bachofen (1861) mengatakan bahwa konsep dasar matriarkal adalah cinta tanpa pamrih, kesetaraan alamiah, penekanan pada ikatan darah dan tanah serta belas kasih dan pengampunan. Perempuan menyebarkan cintanya kepada umat manusia. Perempuan juga memberikan seluruh anugerah dan imajinasinya untuk dapat melindungi dan memperindah eksistensi manusia lainnya. Prinsip dasar matriarki adalah universalitas, berbeda dengan patriarki yang berupa pelarangan (restriksi).
Dalam kasus ibu rumah tangga ODHA, Putri Cherry dan Eka berusaha menegakkan konsep-konsep matriarkal sebagai seorang ibu. Mereka rela menanggung risiko yang diperbuat oleh suaminya berupa warisan status HIV dalam tubuhnya. Dengan cintanya mereka bangkit dan berjuang menghidupi anak-anaknya. Tidak hanya sampai di situ,mereka juga menyebarkan cinta kepada sesamanya dengan bergabung dengan LSM untuk memberikan pertolongan dan dukungan kepada perempuan-perempuan bernasib sama dengan mereka.
Sudah saatnya para laki-laki kembali menilik teori matriarki dan konsep keibuan. Karena ide tentang keibuan menumbuhkan pengertian tentang ketulusan cinta di kalangan laki-laki yang mati karena perkembangan patriarkal. Sesungguhnya, cinta, perhatian, dan tanggung jawab terhadap sesama merupakan dunia seorang ibu. Lebih dari itu, Fromm mengatakan kasih ibu adalah dasar bagi perkembangan humanisme universal. Tidak ingin kehilangan cinta? Kasihilah ibu, jauhkan perempuan dari HIV dengan tidak membeli seks dan tetap berperilaku sehat.
Edited By : Kitnas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H