"Upaya masyarakat dalam melawan kekerasan perlu diapresiasi. Tahun 2016, Kampanye 16HAKtP (Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan) yang dilakukan masyarakat semakin meluas sampai ke daerah."
Sepanjang 2015-2016, Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) masih terus terjadi, bahkan cenderung meningkat. Hal itu termuat dalam Laporan Tahunan Komnas Perempuan 2016.Â
Sebelumnya, Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia yang diterbitkan Komnas Perempuan pada Maret 2016 memperlihatkan, angka kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang dilaporkan selama tahun 2015 mencapai 321.752 kasus. Jumlah tersebut meningkat 9 % dari tahun 2014.
Pada tahun 2015, kekerasan tertinggi terjadi pada ranah rumah tangga atau relasi personal, dengan bentuk kekerasan tertinggi yaitu kekerasan fisik (38 %). Sementara itu, kekerasan seksual menempati urutan kedua tertinggi.
Pada Laporan Tahunan 2016, Komnas Perempuan mencatat berbagai KtP yang terjadi di antaranya dalam (1) konteks pemenuhan hak korban pemenuhan HAM masa lalu, konflik dan bencana, (2) KtP akibat pemiskinan dalam konteks migrasi, eksploitasi tenaga kerja di pabrik dan rumah tangga dan eksploitasi sumber daya, (3) KtP dalam konteks perkawinan dan keluarga (perkawinan anak dan kriminalisasi korban KDRT), (4) Kekerasan seksual, (5) KtP dalam konteks diskriminasi dan politisasi identitas atas nama agama, moralitas, budaya dan kepentingan politik.
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu dalam penyampaian Konsultasi Publik Laporan Tahunan 2016 di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (8/2), sangat menyayangkan bahwa kekerasan seksual dianggap sebagai kejahatan luar biasa namun masih disebutkan sebagai kejahatan kesusilaan dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
"Kalau mau dilihat sebagai kejahatan luar biasa, harus dikeluarkan dari bab kejahatan kesusilaan di dalam KUHP. Kalau tidak, tetap hanya akan dilihat sebagai persoalan susila semata," tutur Azriana. Â
Selain itu, KtP masih mengalami simplifikasi menjadi hanya KDRT (Kekerasan di Dalam Rumah Tangga) saja. Padahal KtP itu luas, terjadi di 3 ranah, yakni rumah tangga, negara dan komunitas. "Mungkin ini yang perlu kita pastikan terintegrasi di dalam kebijakan pembangunan. Bagaimana memastikan kebijakan pembangunan yang melindungi korban KtP dalam berbagai konteks dan dimensi," ujar Azriana.Â
Dalam perjuangan menghapus KtP di tahun 2016, Komnas Perempuan mengapresiasi kerja berbagai pihak mitranya, termasuk pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Pada ranah pemerintah, Komnas Perempuan mengapresiasi meningkatnya inisiatif pemerintah daerah dalam pemenuhan hak korban pelanggaran HAM masa lalu. Serta, meningkatnya peran dan fungsi Badan pemberdayaan Perempuan dan Anak di semua daerah termasuk P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak).
Komnas Perempuan juga sangat mengapresiasi kerja-kerja advokasi dan kampanye yang dilakukan masyarakat dalam penghapusan KtP. Beberapa di antaranya yaitu masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2016 dan meluasnya kampanye 16 HAKtP (16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan).
"Semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam melawan kekerasan terhadap perempuan di tahun 2016 perlu diapresiasi. Masyarakat gerak bersama melakukan Kampanye 16 HAKtP di berbagai daerah. Ada 160 kegiatan yang dilakukan oleh Joint Task Force bersama masyarakat," ujar Azriana.