Mohon tunggu...
Ryan Budiman
Ryan Budiman Mohon Tunggu... Freelancer - Sedang Menulis

Berbagi, sambil menata kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dinamika Hubungan Indonesia-Jepang (akhir abad ke-19 - tahun 1970an) Bag. 1

27 Agustus 2012   15:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:15 2334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika hubungan Jepang-Indonesia menarik untuk diperhatikan. Dalam bidang ekonomi, terdapat kemesraan yang terjalin di antara keduanya. Dalam bidang politik, memasuki pertengahan paruh pertama abad ke-20, terjadi kerenggangan hubungan antara keduanya. Memasuki tahun 1940-an, kerenggangan hubungan keduanya memuncak menjadi peperangan. Kemudian Indonesia menjadi jajahan Jepang. Setelah merdeka pada tahun 1945, secara umum terjadi kebencian terhadap Jepang. Namun di tahun 1951, mulai muncul tuntutan atas pampasan perang. Hubungan baik pun terjalin kembali ketika Ibu negara Indonesia berasal dari Jepang. Hubungan ekonomi terus terjaga sampai datangnya demontrasi anti modal asing di tahun 1974. Namun segera setelah tahun itu, keharmonisan hubungan keduanya terus terjaga. Bahkan tak hanya di bidang ekonomi dan politik, tapi juga kebudayaan.

Hubungan Jepang dan Indonesia telah terjalin sejak VOC berkuasa di kepulauan Nusantara. Sebagai kongsi dagang yang terpenting di Asia, saat itu VOC berdagang dengan kekaisaran Jepang. Berbeda dari bangsa Eropa lain yang kesulitan, bahkan tidak bisa membuka perdagangan dengan Jepang, VOC justru mempunyai sebuah tempat dagang khusus di Jepang. Tempat bagi pedagang VOC ini terletak di sebuah pulau bernama Deshima.

Roda sejarah berputar, dan keadaan pun berubah. Politik pintu tertutup Jepang yang mengisolasikan negeri ini terbuka pada 1853. Setelah armada laut Amerika yang dipimpin oleh Komodor Perry menginginkan perdagangan seraya mengancam Jepang. Terbukalah pintu bagi bangsa Barat untuk berekspansi secara ekonomi dan teknologi. Jepang menyadari kemajuan teknologi Barat. Karena itulah, Jepang menyadari perlunya pendidikan dan keterbukaan yang lebih modern dan terbuka. Maka ketika pemerintahan Meiji melakukan perubahan yang fundamental pada 1868, maka Jepang pun memulai kehidupannya yang modern dan maju. Restorasi Meiji menandai mulainya industrialisasi dan modernisasi di Jepang.

Adanya kemajuan di Jepang menimbulkan gejolak tersendiri di dalam negeri yang secara geografis terdiri dari rangkaian pulau-pulau ini. Kehidupan sosial yang sudah terindustrialisasi menimbulkan ketimpangan antara kalangan yang berada dan tidak berpunya. Antara kalangan yang terhormat secara feodal, dan kalangan berpendidikan yang tercerahkan. Mobilitas sosial pun terjadi dan perubahan sosial tak terelakkan. Kemudian orang-orang yang tersisihkan secara ekonomi memulai pengembaraan mereka. Dan tempat tujuan mereka adalah Nan’yo (Laut Selatan), Asia Tenggara.

Orang-orang Jepang yang mengadu nasib di luar negerinya bukanlah jumlah yang sedikit. Sejak era Meiji, mereka telah tumbuh menjadi komunitas Jepang yang tersebar di Malaya-Inggris, Filipina-Amerika, dan Hindia-Belanda (Indonesia). Jumlahnya tiap tahun terus bertambah. Dari 2.800 di tahun 1907, menjadi 36.600 pada tahun 1917, dan meningkat mejadi 36.600 pada tahun 1936. Mereka semua adalah pekerja migran yang mendatangkan devisa besar bagi Jepang.

Khusus di Indonesia, perkembangan komunitas Jepang menjadi sesuatu yang menarik untuk diperhatikan. Bermula dari komunitas yang terdiri dari orang-orang yang ditelantarkan di negerinya, mereka kemudian menjadi semacam agen bagi hubungan bilateral antara Indonesia dan Jepang. Pada awalnya, orang Jepang yang berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, disebut dengan istilah kimin. Mereka adalah pekerja-pekerja rendahan. Banyak diantara mereka, khususnya perempuan-perempuannya, bekerja di bidang prostitusi. Namun status mereka di Indonesia adalah sama dengan penduduk Timur Asing lainnya.

Bagi Jepang, akhir abad ke-19 adalah era di mana kesetaraan status dengan Eropa didapatkan. Kemenangan Jepang atas China di tahun 1895 membuat prestise Jepang tinggi di mata negara-negara Eropa. Di Indonesia, pada tahun 1898 status hukum orang-orang Jepang disetarakan dengan warga kulit putih. Apalagi ketika Jepang mengalahkan Rusia pada Perang Jepang-Rusia 1904-1905, orang Jepang semakin teristimewakan. Mereka tidak lagi harus duduk menunggu di luar ruangan ketika mengunjungi kantor residen. Melainkan dipersilakan duduk di sofa di ruang tunggu.

Perubahan situasi ini melahirkan transformasi bagikomunitas Jepang. Di Jawa misalnya, orang-orang Jepang yang yang dulunya adalah para penjaja, penjudi kelana, tukang-tukang taruhan, akhirnya dapat membuka toko-toko Jepang. Cerita kesuksesan orang Jepang di perantauan ini menjadi magnet bagi orang Jepang lain untuk datang ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Hubungan dagang yang lebih luas pun akhirnya terjalin. Pada tahun 1910 misalnya, perusahaan pelayaran Jepang, Nanyo Yusen, membuka jalur pelayaran reguler ke Jawa.

Di bidang lain, perusahaan-perusahaan Jepang banyak terdapat di kota-kota Indonesia. Setidaknya terdapat dua bank Jepang di Surabaya: Bank of Taiwan dan Yokohama Specie Bank. Bank of Taiwan memiliki cabang-cabang di Batavia, Semarang dan juga di Surabaya.Kedua bank ini ada di Indonesia untuk mendukung perdagangan gula antara Jepang dan Indonesia.

Selain dua bank yang disebut di atas, masih banyak lagi perusahaan-perusahaan lain yang mencari keuntungan di Indonesia. Terdapat sekitar 25 perusahaan dagang Jepang yang kantor-kantornya terdapat di Surabaya seperti Mitsui Bussan (sekarang Mitsui Corporation), Mitsubishi Shoji (sekarang Mitsubishi Corporation), Arima Shoten, dan Toyo Menka. Para pelaku ekonomi dari negeri matahari tersebut telah terintegrasi menjadi jaringan orang Jepang yang meluas. Dalam perkembangannya, para kimin, yang tadinya merupakan orang-orang yang ditelantarkan negara, kini menjadi komunitas yang dinipponkan kembali. Dan akhirnya, untuk kepentingan tersebut maka dibukalah konsulat-konsulat Jepang di Batavia dan di Surabaya, masing-masing pada tahun 1910 dan 1919. Pembukaan konsulat tersebut juga menandakan adanya hubungan ekonomi yang erat antara Jepang dan Indonesia.

Tercatat, pada tahun 1920, Indonesia mengekspor gula ke Jepang senilai 108, 24 juta gulden. Volume perdagangannya adalah 155.471 ton. Selang setahun kemudian, pada tahun 1921, volume perdagangannya meningkat menjadi 265. 460 ton, meski nilai perdagangannya turun menjadi 66,55 juta gulden. Bagi Jepang, Indonesia selain sebagai pemasok barang kebutuhan industrinya, juga sebagai pasar yang besar. Pada tahun 1920, Jepang mengekspor kain katun ke Indonesia senilai 22, 74 gulden. Mengalahkan impor kain katun Indonesia dari negeri Belanda dan Inggris yang masing-masing hanya senilai 4,8 juta gulden dan 12,9 juta gulden.

Di penghujung tahun 1920-an, mesranya perdagangan antara Indonesia dan Jepang terganggu. Saat itu, depresi ekonomi dunia menerjang perekonomian Jepang dan Asia Tenggara. Jepang kemudian men-dumping produknya di pasaran Asia Tenggara yang berakibat terjadinya persengkataan dagang antara Jepang dengan penguasa kolonial di Asia Tenggara. Pada tahun 1929, Jepang memenuhi sekitar 10% dari nilai total impor Indonesia. Kemudian meningkat dengan pasti pada tahun 1934. Tahun itu merupakan tahun kesuksesan Jepang, nilai impor negeri matahari terbit ini mewakili sekitar 32,5% dari nilai total impor Indonesia. Nilai tersebut hampir dua setengah kali lipat dari nilai impor Negeri Belanda yang masuk ke Indonesia.

Pemerintah jajahan di Indonesia sebenarnya mengupayakan agar nilai impornya tidak didominasi oleh Jepang. Namun negosiasi dengan Jepang untuk membatasi penetrasi impornya menemui jalan buntu pada tahun 1934. Karena hal ini, Pemerintah jajahan di Indonesia akhirnya memberlakukan sistem lisensi dan kuota yang berdampak pada pembatasan impor Jepang. Pada tahun 1936, Indonesia dan Jepang mencapai kesepakatan informal tentang masalah ini. Impor Jepang pun akhirnya turun menjadi 25,4% dari total nilai impor Indonesia pada tahun 1937. Di tahun berikutnya, impor Jepang turun menjadi hanya 14,4% dari total nilai impor Indonesia. Lebih parah lagi, pada tahun 1941 pemerintah jajahan di Indonesia akhirnya membekukan aset Jepang di wilayahnya. Selain masalah ekonomi, hal ini juga dikarenakan memanasnya konstelasi politik saat itu.

Jika ditinjau ulang, hubungan antara Jepang dan Indonesia tidak hanya berada di sekitar bidang ekonomi. Lebih jauh, hubungan antara Jepang dan Indonesia juga muncul di bidang politik, khususnya bagi kalangan pergerakan nasional Indonesia. Terutama ketika Jepang berhasil mengalahkan Rusia, salah satu negeri Eropa yang mewakili imperialisme dan kolonialisme. Kemenangan Jepang atas Rusia ini oleh kalangan pergerakan disebut sebagai kebangkitan orang Asia melawan penjajah Eropa. Sebuah koran pergerakan nasional menyebutkan bahwa:

“kemenangan militer dan kekalahan dalam politik yang ditanggoeng oleh Japan menadjamkan keinsjafan sendiri dan kebentjian terhadap Eropah dikampoeng-kampoeng diseloeroeh benoea Asia dan Afrika.”( Anonim. “Kebangoenan Asia” dalam Daulat Ra’jat edisi 28 Februari 1933.)

Dari pernyataan itu dapat dilihat sebuah kesadaran bahwa orang-orang Asia tidak akan terus terjajah oleh bangsa Eropa jika mempunyai semangat dan taktik serta strategi di bidang politik, apalagi jika ditunjang dengan kekuatan militer.

Hal yang telah disebutkan di atas merupakan pengaruh Jepang bagi pergerakan nasional di Indonesia secara tidak langsung. Secara langsung, pengaruh Jepang akan terasa dalam ranah politik yang digeluti oleh salah satu partai pergerakan. Partai Indonesia Raya atau Parindra merupakan partai fusi dari Persatuan Bangsa Indonesia dan Budi Utamo, partai ini dipimpin oleh Soetomo dan Thamrin. Partai yang terbentuk pada tahun 1935 ini memandang Jepang sebagai model perjuangannya. Sedang para pemimpinnya bersimpati pada Jepang.

Menjelang awal tahun 1940-an, tepatnya pada 12 September 1940, sebuah delegasi Jepang di bawah pimpinan I. Kobayashi bertemu dengan beberapa pimpinan nasionalis Indonesia. Mereka membicarakan berbagai soal politik dan ekonomi. Pada pertemuan ini tersiar desas-desus bahwa terjadi pertukaran rencana antara delegasi itu dengan para pemimpin nasionalis mengenai bentuk pemerintahan Indonesia di dalam kerangka “susunan baru” Jepang. Kedatangan mereka juga ternyata disertai bantuan keuangan kepada pers Indonesia dalam bentuk pemasangan iklan di surat kabar Indonesia. Hal ini merupakan hubungan yang lebih nyata antara Jepang dan pergerakan nasional Indonesia.

Hubungan antara Jepang dengan pergerakan Indonesia ternyata merupakan strategi Jepang untuk menguasai tanah Indonesia. Bahkan hubungan ekonomi Jepang dengan Indonesia pun dimanfaatkan oleh militer Jepang sebagai cara untuk mengumpulkan informasi tentang kekuatan militer Indonesia. Sudah sejak lama, sumber-sumber alam Indonesia berupa minyak, karet, bauksit, timah, dan bahan strategis lainnya adalah penting bagi Jepang. Setelah tahun 1930, ketika dampak depresi ekonomi juga melanda Indonesia, Jepang melakukan peningkatan kegiatan ekonominya seraya memperluas kegiatan-kegiatan intelijennya.

Bahan Bacaan:

Adhani, Rachmat. “Pampasan dan Kejahatan Perang Jepang terhadap Indonesia”. 17 Oktober 2010. dalam http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=3031&type. diakses pada Minggu, 29 Mei 2011 pkl. 21.35. WIB.

Anonim. “Kebangoenan Asia” dalam Daulat Ra’jat edisi 28 Februari 1933.

Anonim. “Pampasan Perang Jepang Liku-Liku”. 31 Maret 1979. dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1979/03/31/BK/mbm.19790331.BK54370.id.html diakses pada Minggu, 29 Mei 2011. pkl. 21.30 WIB.

Murayama, Yoshitada. “Pola Penetrasi Ekonomi Jepang ke Hindia Timur Belanda Sebelum Perang”. dalam Kurasawa, Aiko. Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1941-1945. Jakarta: Grasindo. 1993.

Peosponegoro, Marwati Djoened dkk. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1993.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2008.

Shiraishi, Saya dan Takashi Shiraishi. Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Surjomihardjo, Abdurrachman (ed). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2002.

Ryan Prasetia Budiman

Tulisan ini adalah salah satu jawaban pada ujian semester di mata kuliah Kapita Selekta Sejarah B, Jurusan Sejarah FIB UI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun