Oleh: Ryan Prasetia Budiman
Sungai mengalir memecah daratan Batavia. Airnya yang tawar digunakan si orang Eropa. Namun petaka datang, penyakit bawaan dari air menyerang, air yang mula-mula jernih “berubah menjadi putih, kemudian penuh belatung”. Si orang Eropa kalang kabut. Namun si fisikawan Bontius berujar air itu bisa digunakan, “jika diambil sedikit jauh di atas kota”. Maka air pun membaik, kota pun tenteram. (Reid, Anthony: 1992)
***
Air memang hajat yang penting. Tanpa air, tak akan ada kehidupan. Tanpa kehidupan, tak akan ada manusia yang melahirkan kebudayaan. Sepenggal kisah diatas menyiratkan pentingya air sebagai sumber kehidupan.
Bagi orang-orang Nusantara[1], air memiliki berbagai dimensi. Filosofi hidup lahir dan berkembang seiring kesadaran akan kebutuhan dan pentingnya air. Air menentukan kehidupan mereka secara spatial, merasuki pikiran mereka secara falsafah, dan menggiatkan kehidupan mereka secara teknik.
Tak dapat disangkal lautan mengepung daratan. Pulau yang tersebar, disatukan oleh air laut yang berombak. Daratan yang tak berair disuburkan oleh sungai yang mengalir. Maka kehidupan lahir di bibir pantai, pesisir. Dan kebudayaan hidup di bantaran, sungai-sungai. Kemudian di beberapa daerah, kebudayaan sungai tumbuh dengan kepercayaan akan perlunya menjaga air.
Pentingnya air, disimbolkan secara spatial dalam penamaan daerah-daerah di beberapa wilayah. Di Pasundan, hampir semua kota dan desa memakai nama yang berawalan ci - , yang berarti air, atau pun bisa diartikan sungai. Pada masyarakat Melayu atau Minangkabau, terdapat banyak tempat yang menggunakan nama air, seperti Air Bangis dan Air Hadidi. Setali tiga uang dengan yang disebut sebelumnya, masyarakat Jawa juga menamakan beberapa daerah dengan nama air, sebut saja Banyumas dan Banyutibo. (Sumardjo, Jakob. Kompas, 14/11/09)
Bagi masyarakat Palembang, air bahkan memiliki peran penting dalam menentukan letak pemukiman. Sifat air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat rendah dijadikan falsafah hidup masyarakat. Mereka mengenal konsep ulu-ulak (hulu-hilir). Dalam konsep ini dikenal adanya aturan bahwa pendirian rumah yang pertama dalam suatu perkampungan harus terletak di hulu. Konsep ini memberikan suatu penghargaan atau penghormatan kepada orang yang lebih tua untuk tinggal di bagian yang lebih tinggi. Hal ini berarti, peran orang tua sebagai pengayom bagi yang lebih muda. (Purwanti, Retno: 2010)
Pemahaman terhadap pemaknaan air, memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Pada zaman Hindu, air disebut sebagai tirta amerta. Tirta adalah air. Sedangkan amerta adalah bentuk negasi dari merta, kematian. Jadi berarti, tirta amerta adalah air antikematian, lazimnya, air kehidupan.
Bagi masayarakat Sunda, gejala tirta amerta dapat disimak dari gejala budaya mereka. Di Priangan, yang hidup di wilayah hulu sungai banyak memberikan warna pada irama degung. Lagu-lagu klasik degung menggambarkan lingkungan budaya perairan sungai, seperti degung sang bango, galatik manggut, marintin dan lalayaran. (Kompas. 25/6/10) Air pun mempengaruhi falsafah masyarakat dalam ritus dan upacara kepercayaan. Bagi masyarakat Sunda, mata air dalam tempat-tempat tertentu, seperti delta-delta sungai adalah disebut mata air kabuyutan yang keramat dan dipercayai mendatangkan berkat. Dalam ritual-ritual kampung, tak jarang nasi atau bubur yang akan dijadikan kenduri bersama harus dimasak menggunakan air kabuyutan ini. Hal ini berarti air merupakan berkah hidup yang akan membawa kelestarian hidup di dunia.
Bagi masayarakat Sunda Puhun, air bermakna kosmik perempuan. Perempuan adalah kehidupan itu sendiri. Tidak ada perempuan tidak ada air, tidak ada air tidak ada kehidupan, yang ada hanyalah kematian. Kedudukan perempuan dalam masayarakat Sunda Puhun sama terhormatnya dengan mereka yang menghormati air kehidupan. Perempuan bukan dilihat dari segi seksualitasnya, namun dari segi keibuannya. Budaya air di Pasundan merupakan siklus alamiah yang menyatukan curah hujan, sungai, hutan, dan ladang. Yang faedahnya berguna bagi kehidupan dan kelestarian. (Sumardjo, Jakob. Kompas, 14/11/09)
Berbeda dengan di Pasundan, masyarakat Bali mengenal konsep Tri Hita Karana. Konsep ini biasanya hidup pada organisasi pengelola pengairan pertanian yag dikenal dengan nama subak. Subak sendiri diperkirakan dikenal sejak abad kesembilan, seperti tersurat dalam prasasti Raja Purana yang berangka tahun saka 994 atau 1072 Masehi. Tri Hita Karana adalah sebuah tatanan nilai. Ia dimaknakan sebagai ‘tiga penyebab kebahagiaan’, mengajarkan pada manusia untuk mengharmoniskan hubungannya secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal dalam bentuk bhakti, sujud kepada sang pencipta, sedangkan dalam dimensi horizontal terwujud dalam perilaku asah-asih-asuh terhadap sesama manusia dan peduli pada lingkungan.
Dalam masyarakat Bali yang agraris, Tri Hita Karana menjelma dalam perilaku keseharian seorang petani sebagai pusat pelaku atau subjek budaya berupa parhyangan, pawongan dan palemahan. Parhyangan berarti pembangunan dan penjagaan kawasan hulu air. Pawongan berarti pemenuhan rasa adil dan kerukunan di antara sesama. Palemahan secara konkrit terwujud dalam pemeliharaan hal-hal pertanian, seperti lahan garapan dan saluran irigasi air. (Sumarta, I Ketut: Kompas, 4/6/94)
Air dan Pembudidayaannya dari Masa ke Masa
Meski menyadari pentingnya air, masyarakat Jawa menganggap lingkungan perairan, khususnya laut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Dalam masyarakat pantai bagian selatan Pulau Jawa, laut merupakan hal sakral yang bermitos menyeramkan. Dalam wayang topeng, tokoh "raja seberang" perairan selalu dikemukakan dengan wajah merah padam dan mata membelalak, sebab ia menjelmakan sifat kasar, bahkan sifat buas. Legenda Nyi Roro Kidul lebih menegaskan pandangan mereka bahwa harus lebih berhati-hati jika tidak ingin diambil masuk ke pusaran istananya. (Lombard, Denys: 1996)
Namun demikian, air tetap hajat terpenting bagi mereka, setidaknya, para penguasa mereka menyadari. Berbagai upaya rasional yang membuktikan pentingnya air terus diupayakan. Air dibudidayakan demi keberlangsungan kehidupan.
Dalam dimensi waktu, air merupakan persoalan yang terus diupayakan kelestariannya dari waktu ke waktu. Air dijaga agar berguna bukan memusnahkan dan mendatangkan bencana. Pada era Majapahit (abad keempat belas), terdapat banyak waduk yang mengelilingi kota. Trowulan, sebagai ibukota kerajaan, telah dilengkapi dengan kolam buatan, kanal-kanal, dan waduk untuk mengelola air di daerah itu. Selain sebagai irigasi, waduk-waduk itu berguna sebagai pengatur air dan pencegah banjir.
Waktu berjalan dan zaman berganti, namun upaya serupa terus ada meski dengan tuan yang tak sama. Batavia, yang dinahkodai Gubernur Jenderal JP Coen, membuat kanal untuk mengendalikan air. Berfungsi untuk pelayaran, pengairan, sanitasi, dan pertahanan. Masalah air tetap diperhatikan pemerintah jajahan hingga pada abad kesembilan belas dibentuk Dinas Pengairan Hindia Belanda, sampai pada jawatan air milik swasta.
Pada Tahun 1943, sebuah selokan yang bernada heroik dibuat. Demi mencegah rakyatnya dipaksa untuk romusha, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memerintahkan rakyatnya untuk membangun Selokan Mataram. Selokan Mataram merupakan jaringan irigasi yang menghubungkan Kali Progo dengan Kali Opak sepanjang 30 km.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan air lebih ditujukan untuk kemaslahatan rakyat, teorinya. Banyak waduk dibangun, banyak program digulirkan. Namun seiring bertambahnya manusia dan berkurannya hutan yang meresap air, kekhawatiran hilangnya air menjadi besar. Pada tahun 1989, maka lahirlah program kali bersih (prokasih), puncaknya, digulirkan Gerakan Hemat Air pada 16 Oktober 1994. sebuah program berbasis budaya yang menghidupkan sistem tradisional yang menangani air seperti subak, beserta lembaga Sedahan, Pembekel, dan Pekasih.
Namun bumi semakin berat menanggung beban dan air semakin takut dengan manusia. Dan manusia tetap tak sadar dengan kenyataan. Maka Jawa pun makin kerontang, Bagian Indonesia timur seperti NTT kekeringan. Dan jika kemarau tiba, petani seantero Nusantara menjerit: “Mana air?”
Bahan Bacaan:
Artikel Koran:
“Khazanah Sunda: Degung Musik Agung untuk Para Menak”. Kompas. 25 Juni 2010.
“Persoalan Air dari Masa Ke Masa”. Kompas. 24 Agustus 2003.
Sumardjo, Jakob. “Budaya Air di Sunda”.Kompas. 14 November 2009.
Sumarta, I Ketut. “Subak, Manajemen Hijau, dan Arigansi Kekuasaan”. Kompas. 4 Juni 1994.
Buku:
Darmosoetopo, Riboet. Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X. Jogjakarta: Penerbit Prana Pena, 2003.
Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
------------. Nusa Jawa Silang Budaya 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Purwanti, Retno. “Peran Sungai Musi dalam Pembentukan Pusat Politik, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Palembang”. dalam Bambang Budi Utomo (ed). Ekspedisi Sriwijaya: Mencari JAlur yang Hilang. Jakarta: Kementrian Budaya dan Pariwisata, 2010.
Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Keterangan: Artikel Kompas didapat dari Pusat Informasi Kompas, Palmerah. Sedangkan Buku didapat dari perpustakaan LIPI.
Tulisan ini di-post juga di ryakair.blogspot.com
[1] Yang dimaksud orang Nusantara adalah orang-orang yang tinggal di Sabang sampai Merauke, yang menggunakan laut sebagai jalanan, dan memfalsafahi air sebagai sumber kehidupan. Tanpa bisa disebut periode pasti, namun penulis mempercayai bahwa mereka eksis, setidaknya pernah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H