Mohon tunggu...
Syamsuriadi Syam
Syamsuriadi Syam Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Berbagi melaui kata dan menulislah untuk bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menanti Ending Pendidikan Karakter di Sekolah

10 Desember 2011   10:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:34 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Syamsuriadi Syam: Bukannya pesimis terhadap kebijakan pemerintah untuk menerapkan pendidikan karakter di sekolah-sekolah, seperti yang lagi digiatkan sekarang ini. Hanya saja, bila mencermati beberapa program pendidikan sejenis yang pernah diterapkan dalam lingkungan pendidikan kita sebelumnya. Ada kekhawatiran kalau pendidikan karakter ini akan bernasib sama dengan pendahulunya, berhenti di tengah jalan setelah menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Kekhawatiran ini bukannya tanpa dasar,lihatlah misalnya sejakdi saat masih jaman orde baru, begitu gencarnya program pengamalan nilai-nilai Pancasila. Setiap penerimaan siswa dan mahasiswa baru, selalu diawali dengan kegiatan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kemudian sekitar akhir tahun 90-an muncul program sejenis, berupa pengitegrasian muatan Iman dan Taqwa (Imtaq) dalam kurikulum setiap mata pelajaran. Dan sekitar tahun 2003, muncul kembali konsep baru yaitu integrasi kecakapan hidup (life skill). Namun semuanya tidak ada yang berlanjut dan kelihatan hasilnya,sampai munculnya kembali gagasan tentang pendidikan karakter.

Strateginya Tidak Tepat

Ada beberapa faktor yang menyebabkan konsep pendidikan yang sifatnya menyentuh sisi otak kanan manusia ini sehingga penerapannya tidak efektif di sekolah dan diklaim gagal meletakkan dasar-dasar karakter positifsecara signifikan kepada generasi bangsa kita.

Pertama;selama ini dari beberapa program pendidikan karakter dan sejenisnya yang pernah ada di sekolah, semuanya masih cenderung bersifat teoritis karena dalam implementasinya masih lebih dominan dilaksanakan di dalam kelas. Penilaiannya juga masih mengedepankan penilaian secara kognitif (pemahaman) sehingga tidak mengherankan bila banyak siswa yang memeroleh nilai tinggi dalam penilaian karakternya, namun pengaplikasiannya nihildalam pergaulan hidup sehari-hari.

Disinilah mungkin kekeliruannya, padahal pengalaman empiris menunjukkan bahwa karakter seseorang dapat terbentuk, di antaranya melalui pembiasaan dan kondisi lingkungannya.Dengan kata lain yang dibutuhkan sebetulnya dalam pendidikan karakter di sekolah yaitu adanya semacam penciptaan suasana di sekolah tersebut yang mengkondisikan siswa untuk terbiasa pada karakter tertentu. Misalnya agar siswa memiliki karakter hidup tertib dan memahami eksistensi orang lain. Secara sederhana dapat saja dimulai dengan membudayakan di kalangan siswa untuk memarkir kendaraan dengan tertib dan tidak menghalangi kendaraan siswa lainnya.Selanjutnya, demi efektifnya penerapan budaya-budaya tersebut, inilah yang diawasi oleh guru dan diberikan penilaian serta sanksi bagi yang melanggarnya.

Kedua; selama ini juga, bila terkait persoalan yang bersentuhan pembentukan karakter moral dan sejenisnya, sepertinya sekolah selalu di tempatkan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk itu.Padahal siswa yang note bene masih dalam masa pembentukan karakter lebih banyak waktunya bersama keluarga dan masyarakat yang berarti pula pembentukan karakternya lebih dominan dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan masyarakat. Terlebih lagi karena yang dilihat di lingkungan keluarga dan masyarakat adalah nyata dan dialami langsung sehingga lebih kuat pengaruhnya.

Sebagai contohnya, di sekolah diajarkan tentang hidup beretika dan mematuhi norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat. Tetapi sepulang dari sekolah yang dilihat dan dialaminya sendiri adalah perilaku yang bertolak belakang dengan yang diajarkan di sekolah. Tragisnya lagi, justeru terkadang yang berkontribusi terhadap pelanggaran etika dan moral tersebut adalah orang tua siswa sendiri. Coba kita cermati fenomena di masyarakat kita akhir-akhir ini yang lagi gandrung-gandrungnya menghadirkan pertunjukan musik elekton dengan penyanyi yang doyan tampil seronok (buka-bukaan), di saat ada hajatan perkawinan dan sebagianya, bahkan kampanye Pemilu. Dengan kondisi ini apakah kira-kira balance jika pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah, apalagihanya secara teoritis dan waktunya terbatas. Dapat membendung kondisi nyata yang dialami oleh siswa di lingkungan keluarganya dan masyarakat?

Ketiga; salah satu kelemahan dari strategi penerapan pendidikan berbasis pembentukan karakter selama ini juga yaitu karena selalu ingin diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran lain. Tujuannya mungkin baik yaitu agar tumbuh karakter positif di kalangan siswa dalam berbagai komponen. Sebetulnya tidak perlu serumit itu karena selain menambah beban guru, juga tidak sedikit di antaranya yang melaksanakannya secara formalitas saja. Lagipula kalau dilaksanakan secara terintegrasi seperti itu, sama saja kalau kita ingin membentuk karakter siswa secara parsial dan terkotak-kotak, padahal sebagaimana dipahami secara umum bahwa karakter dalam diri seseorang itu sifatnya universal. Maksudnya kalau dalam diri seseorang memang telah tertanam sebuahkarakter, apapun yang dilakukannya akan selalu terbawa-bawa karakter tersebut.

Terkait dengan pendidikan karakter ini, tidak ada salahnya untuk melimpahkan wewenang ini kepada guru mata pelajaran yang relevan yaitu guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Pendidikan Agama dan Bimbingan Konseling (BK).Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk memberdayakan guru mata pelajaran tersebut adalah merancang kurikulum khusus yang bersifat aplikatif (praktek langsung) dan proses pembelajarannya tidak lagi dominan di kelas dalam bentuk teori. Demikian pula dari sisi penilaiannya,tidaklagi sebatas penilaian pada ujian tertulis, tetapi merupakan akumulasi penilaian terhadap perilaku siswa selama berada dalam lingkungan sekolah.

Mungkin ada yang menilai bahwa strategi ini sulit terlaksana karena guru kesulitan memantau dan mengawasi seluruh siswa yang jumlahnya tidak sedikit, terutama pada sekolah-sekolah besar. Sedangkan jumlah guru mata pelajaran PKn, Pendidikan Agama dan guru BK, jumlahnya terbatas? Disinilah memang yang perlu menjadi perhatian dan urgen dipikirkan formatnya bersama-sama kalau kita tidak ingin pendidikan karakter yang digiatkan di sekolah sekarang ini akan bias hasilnya dan selanjutnya bernasib sama dengan pendahulunya. Salah satunya mungkin yang perlu terpikir adalah menyiapkan dan mencetak lebih banyak guru-guru mata pelajaran yang relevan dengan pendidikan karakter, moral dan sejenisnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun