Diary, hari ini hari bahagia. Idul Fitri. Aku masih trauma dengan kejadian beberapa hari lalu yang tentu saja menimbulkan kekakuan hubunganku dengan papa. Hambar.
Mama memang cenderung tak mau tahu dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Apalagi memang mama sangat nggak peduli sama aku. Hanya karena gara-gara aku menyukai Mas Rahadi. Yang mungkin menurut Mama adalah salah. Yang bisa dikatakan itu adalah kesalahan berat. Ibarat pemain sepak bola. Aku kayaknya sudah melakukan pelanggaran keras, hingga berhak menerima kartu merah. Ah, aku sendiri jadi serba salah. Siapa sebenarnya yang salah, aku ataukah mereka, atau malah Mas Rahadi? Otakku berputar keras bagai sebuah hardi disk komputer yang harus memproses file ukuran raksasa.
Diary, hari bahagia yang seharusnya menjadi hari kasih sayang dalam keluarga, ternyata bagiku tak beda dengan masa-masa sulit yang biasa aku terima sejak aku memilih Mas Rahadi sebagai calon pendamping hidupku. Ah, entahlah diary. Aku kok seperti kehilangan semangat hidup. Gairah hidupku lenyap begitu saja ketika aku harus menghadapi semuanya sendirian. Aku gamang. Meski belakangan aku ceritakan juga masalah ini kepada Mas Rahadi. Ajaib, Mas Rahadi mau ngerti soal ini. Ia malah memberikan pemecahan yang terus terang saja menerbitkan sebuah harapan. Tidak saja itu, ia mampu memberikan semangat kepadaku untuk tetap hidup dan berdakwah. Ah, memang lain Mas Rahadi ini. Tapi sayang, hati papa dan mama masih sulit untuk diluluhkan. Hati mereka masih tegar kokoh dengan segala keinginannya yang hampir menenggelamkan harapan-harapanku, juga harapan kakak-kakakku. Ah, papa dan mama memang egois, diary. Betul-betul egois. Aku jadi iri dengan beberapa orang tua sohibku. Mereka kok kayaknya bijaksana banget dengan keinginan-keinginan anaknya. Keinginan yang wajar tentunya. Ah, semoga papa dan mamaku demikian pula. Aku berharap semoga papa dan mama menyadari kekeliruannya selama ini. Aku tetap menghormati mereka, meski tak semua keinginannya aku penuhi, terutama keinginan-keinginan tak wajarnya. Seperti mempersulit aku untuk menikah dengan Mas Rahadi.
Diary, kalau memang papa dan mama sayang sama aku, tentu sudah sejak lama ia memberikan harapan terhadap keinginan-keinginanku. Papa dan mama memang egois, diary. Kayak mereka nggak pernah muda aja, ya?
Diary, aku capek mengikuti kemauan mereka yang aneh-aneh dan tak masuk akal. Tapi suatu saat aku harus mampu membuat mereka berpikir, bahwa sebenarnya akupun bisa berbuat banyak untuk urusan ini. Kenapa aku cenderung nrimo akhir-akhir ini, itu karena aku ingin menunjukkan sikap hormatku pada mereka. Namun, kelihatannya sikap lemahku itu hanya membuat papa dan mama merasa ada di atas angin. Merasa menemukan jurus-jurus ampuh untuk memojokkanku. Hingga aku diharapkan tak bisa mengelak lagi dan harus ikut dengan kemauan papa dan mama.
Diary, hari ini aku ulang tahun. Tepat di usiaku yang ke dua puluh dua. Aku bahagia. Tentu saja, karena ini adalah hari bersejarah bagiku. Aku tetap menyalakan sebuah harapan dalam hatiku. Harapan yang senantiasa menjadi obsesiku. Tak ada ucapan atau bingkisan dari papa dan mama. Aku tahu mereka sangat kecewa dengan keputusanku selama ini dalam memilih Mas Rahadi sebagai calon pendamping hidupku. Ya, calon, karena papa pernah mengatakan setuju dengan pilihanku, meski dengan syarat. Tiga tahun, baru boleh menikah. Berat memang. Namun aku dan Mas Rahadi tetap berharap waktu itu tak begitu lama. Setahun adalah waku normal yang kuinginkan. Semoga papa dan mama mau mengerti keinginanku. Keinginan yang menurutku adalah wajar, bila kejadian terdahulu yang menimpa kakak-kakak perempuanku tak ingin terulang. Meski aku nggak ingin itu terjadi padaku. Tapi mungkin dalam bentuk lain.
Ya, kalau memang papa dan mama sayang sama Nuri, diary. Mereka pasti sudah menyambut kehadiran Mas Rahadi sebagai menantunya. Ya, mungkinkah itu terjadi? Setidaknya itulah harapanku, diary. Kira-kira menurutmu, diary, papa dan mama akan meluluskan keinginanku nggak? Kalau nggak, aku sangat kecewa sama mereka. Dan aku tetap menderita atas sikapnya yang sok menyayangi aku. Ya, kadangkala sebagai anak, aku harus menerima perlakuan yang tak wajar. Papa dan mama selalu berlindung di balik alasan "demi kebahagiaan kamu”. Seolah kalimat itu dijadikan tameng untuk menentramkan pikiranku. Yang sebenarnya justru membuatku semakin gelisah dan menderita.
Diary, Mas Rahadi hari ini datang menemuiku dan mengucapkan selamat ulang tahun dalam bentuk lain. Aku merasakan ini adalah ekpresi kasih sayang Mas Rahadi padaku. Tentu aku bahagia. Karena belum pernah ada seorang lelaki yang memberikan ucapan itu sebelumnya di hari bahagiaku.
Diary, aku cukupkan sampai sini dulu ya. Yang jelas harapanku tetap besar untuk menjadi pendamping hidup Mas Rahadi. Siapa tahu catatan ini nanti bisa dibaca sama papa dan mama. Moga-moga juga mereka mau ngerti penderitaan dan keinginan-keinginanku. Semoga, ya diary?
Tamat
Buat seseorang, semoga tetap tabah dan sabar.
Firman Allah Swt.: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (TQS al-Baqarah [2]: 153)