Saya berada di tengah-tengah lingkungan yang terasosiasi dengan Partai Keadilan Sejahtera alias PKS. Walaupun bukan simpatisan, namun sepanjang yang saya tahu, teman-teman, tetangga, dan keluarga besar saya banyak yang memilih PKS dan calon-calonnya setiap kali Pemilu atau Pilkada digelar. Saya termasuk orang yang pernah memilih PKS, walaupun tidak termasuk pada Pemilu terakhir ketika kebetulan saya diajukan menjadi caleg oleh partai yang lain.
Diakui atau tidak, kenyataannya alasan terbesar bagi orang-orang untuk memilih PKS adalah agama. Idiologi PKS adalah Islam, dan PKS pintar betul memainkan kartu ini setiap kali gelaran Pemilu atau Pilkada hendak dihelat. Berbekal identitas ini, PKS selalu memiliki pemilih militan dari pesta demokrasi ke pesta demokrasi, terutama di Jakarta yang -- walaupun dibalut dengan baju kota modern -- masyarakatnya sebenarnya memiliki tingkat fanatisme yang cukup tinggi.
Bagi kebanyakan orang, faktor agama sudah cukup untuk membuat mereka puas dengan pilihan mereka terhadap PKS. Faktor kinerja atau prestasi nomor sekian. Selama idiologinya Islam, masyarakat pemilih sudah merasa aman dan cukup terwakili dengan adanya orang-orang PKS di pemerintahan tingkat DPR, DPRD, maupun kepala daerah atau bahkan di lingkungan istana kepresidenan. Fenomena ini sebenarnya tidak eksklusif untuk PKS saja, karena hampir seluruh masyarakat Indonesia memilih berdasarkan idiologi dan perasaan ketimbang rasio. Kinerja dan kapabilitas tidak terlalu penting selama pemilih merasa memiliki kesamaan dengan suatu partai, maka sudah cukup alasan baginya untuk memilih partai tersebut. Setidaknya alasan ini masih lebih baik ketimbang mereka yang memilih karena politik uang.
Beberapa tahun belakangan, saya dipercaya menjadi pengurus RW di lingkungan setempat, dan oleh karena itu berkesempatan untuk melakukan audiensi dengan wakil-wakil rakyat setidaknya di tingkat Provinsi Jakarta. Karena memiliki kursi paling banyak, saya termasuk sering menemui wakil rakyat dari PKS. Dari pengalaman berdiskusi dalam kesempatan-kesempatan reses, rembuk warga, dan banyak lagi, saya terkejut mendapati betapa minimnya kapabilitas yang dimiliki oleh wakil-wakil dari partai yang satu ini.Â
Pengetahuan mereka yang rata-rata sudah beberapa periode menjadi wakil rakyat tentang masalah-masalah lingkungan seperti musrenbang dan peraturan-peraturan lainnya sangat minim, bahkan dibandingkan dengan saya yang waktu itu baru seumur jagung menjadi pengurus RW. Kenyataan ini hanya mengkonfirmasi kecurigaan saya selama ini bahwa PKS -- tidak berbeda dengan kebanyakan partai -- hanya memikirkan tentang bagaimana mendapatkan kursi, namun tidak terlalu risau dengan bagaimana kursi tersebut digunakan untuk kemajuan masyarakat. Idiologi pun hanya digunakan sebagai instrumen untuk menarik pemilih, namun dilupakan ketika mereka sudah berhasil meraih apa yang dicita-citakan.
Puncak pragmatisme PKS bisa disaksikan bersama secara gamblang pada proses Pilkada tahun ini. Tentu saja yang saya maksud adalah pada gelaran Pilkada di Jakarta. Setelah sebelumnya begitu ngotot memasangkan kadernya bersama Anies Baswedan sebagai bacagub dan bacawagub, tiba-tiba saja PKS berbalik 180 derajat mendukung Ridwan Kamil alias RK yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang notabenenya adalah lawan politik bukan hanya dari PKS sebagai partai, namun dari konstituen PKS yang hampir seluruhnya dipersatukan oleh kesamaan aspirasi untuk melakukan perubahan dari era Jokowi yang ditengarai banyak diliputi penyelewengan kekuasaan. Bukan kebetulan juga jika berita masuknya PKS ke gerbong KIM hingga menjadikannya KIM Plus ini terjadi bersamaan dengan upaya partai tersebut untuk masuk ke dalam pemerintahan Prabowo -- yang sangat terasosiasi dengan Jokowi -- ke depannya.
Alasan yang digunakan PKS bahwa mereka tidak jadi mendukung Anies karena tidak cukup kursi menjadi terbantahkan menyusul keputusan MK, yang membuat PKS sebagai partai pemenang Pemilu di Jakarta memiliki jodoh yang sempurna dengan Anies -- baik itu kesamaan idiologi maupun keunggulan elektabilitas baik dari segi individu paslon maupun partai pengusung. Namun PKS tetap pada pendiriannya mengusung RK dan menutup pintu bagi Anies untuk maju sama sekali dalam Pilkada Jakarta, yang sekaligus menjadi satu-satunya cara mutlak untuk memastikan kemenangan RK nantinya.
Keputusan PKS untuk tetap mendukung RK diambil di tengah aspirasi dari konstituen mereka yang bisa dibilang hampir seluruhnya memilih Anies pada pemilihan presiden yang baru saja berlalu dalam hitungan bulan. Secara gamblang, hal ini bisa diartikan bahwa PKS seperti mengabaikan idiologi mereka serta aspirasi pemilihnya sendiri, dan menukarnya dengan posisi di pemerintahan dengan mengusung RK di Jakarta. Dipandang lebih jauh, keputusan ini sekaligus diambil untuk menjegal langkah Anies yang muncul sebagai antitesis pemerintahan Jokowi yang diteruskan oleh Prabowo pada Pemilu lima tahun ke depan di tahun 2029. PKS menjadi satu bagian dari kabinet pemerintahan gemuk yang melestarikan kepentingan oligarki di atas kepentingan masyarakat banyak.
Perkara pragmatisme partai sebenarnya bukan barang baru di Indonesia, dan tidak adil jika kita memperlakukan PKS berbeda dengan partai lainnya dalam konteks ini. Pada akhirnya idealisme semua partai adalah kekuasaan, sehingga keputusan-keputusan ajaib sering dipertontonkan partai-partai menjelang kontestasi Pemilu maupun Pilkada -- terutama pada Pilkada tahun ini.Â
Partai-partai tidak mencari calon yang paling mewakili idiologi mereka, namun mengutamakan calon yang paling memiliki kemungkinan untuk menang. Akibatnya kawan bisa jadi lawan hanya dalam hitungan hari, bahkan jam, dengan menafikkan idiologi yang dibawa oleh masing-masing partai secara tradisional. Hal ini sangat berbeda dengan sistem kepartaian di Amerika Serikat misalnya, di mana Demokrat dan Republik -- di tengah segala kekurangan mereka -- tetap konsisten dengan idiologi dan calon masing-masing.
PKS sebagai partai berbasis idiologi agama yang dikenal konsisten selama ini, akhirnya tidak kuasa terseret dalam pusaran pragmatisme tersebut. Sikap yang diambil PKS ini tidak hanya merugikan bagi konstituen mereka yang rata-rata masih memegang teguh idiologi agama, namun juga bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.Â