Joko Anwar bukanlah sutradara biasa. Joko Anwar saat ini sudah berkembang menjadi sebuah brand seperti Riri Riza atau Garin Nugroho jauh sebelumnya, atau Steven Spielberg dan Cristopher Nolan di barat sana. Jadi ketika Joko Anwar mengeluarkan film baru, banyak penikmat film yang tidak bisa menilai film baru Joko Anwar tersebut sebagai sebuah film yang berdiri sendiri, melainkan harus pula merasa berkewajiban untuk membawa-bawa nama besar sang sutradara berdasarkan portfolio film-film sebelumnya. Contoh kasus yang paling bagus adalah film Siksa Kubur yang banyak mendapatkan ulasan mentereng, bahkan cenderung hiperbolik.
Tapi ada point-nya juga. Siksa Kubur adalah film yang benar-benar mewakili Joko Anwar. Untuk penonton yang baru pertama kali menonton film Joko Anwar, maka Siksa Kubur adalah tempat yang bagus untuk memahami sang sutradara. Di film Siksa Kubur, Joko Anwar menampilkan semua kekuatan terbaiknya. Sinematografi yang bagus, pembangunan atmosfer yang apik, sampai pemilihan casting dan penyutradaraan pemain yang kuat. Tapi kalau teman-teman berharap untuk menemukan ulasan yang bagus tentang film Siksa Kubur di dalam tulisan ini, maka silahkan lanjutkan ke ulasan-ulasan yang lain saja. Sebab tulisan ini hanya menilai Siksa Kubur sebagai sebuah film yang berdiri sendiri, yang pada kenyataannya adalah sebuah film yang biasa-biasa saja dan cenderung susah untuk dinikmati, baik itu jika kita menilainya dengan standar film secara umum atau film bergenre horor secara spesifik.
Masalahnya, film Siksa Kubur tidak hanya menampilkan kekuatan seorang Joko Anwar, namun juga mengekspos kelemahan terbesarnya selama ini, yakni dalam sisi penulisan naskah. Seperti dalam film-filmnya yang lain yang semua naskahnya ditulis sendiri oleh sang sutradara, Siksa Kubur memiliki masalah besar dalam alur yang melompat-lompat, pace yang tidak konsisten, serta jalan cerita yang tidak logis. Tapi yang paling membuat penonton menderita dari film Siksa Kubur adalah upaya world building yang tidak meyakinkan dan tidak memberikan reward yang sepadan bagi mereka yang sudah bertahan disiksa oleh durasi film yang panjang dan membosankan.
Seperti film-film Joko Anwar yang lain, Siksa Kubur memiliki ambisi yang begitu besar dan menjanjikan, hanya untuk membuat penonton kecewa di akhir film. Seolah-olah sang sutradara tidak tahu bagaimana cara mengakhiri film-filmnya dengan baik dan memuaskan setelah memulainya dengan sangat menjanjikan. Kelemahan ini sangat terasa di film Siksa Kubur, bahkan bagi penonton kasual yang tidak pernah melihat film-film Joko Anwar sebelumnya.
Film ini menghabiskan lebih dari separuh awal durasi keseluruhan film yang hampir dua jam itu dengan membangun tensi dan latar belakang cerita. Sayangnya, durasi ini seperti terbuang percuma karena tidak berhasil memberikan banyak hal baru yang dapat membantu penonton untuk lebih memahami ceritanya. Dosa terbesar film ini mungkin ada pada ketidakmampuannya memberikan kejelasan tentang motivasi Sita, sang tokoh utama, dalam upayanya membuktikan kebenaran tentang ada-tidaknya siksa kubur. Film ini memberikan terlalu banyak alasan bagi Sita, mulai dari rasa dendam dari kematian orang tuanya, dendam dari perlakuan yang diterimanya selama berada di pondok pesantren, sampai sikap skeptisnya terhadap agama, namun tidak ada satupun dari alasan-alasan tersebut yang dikelola dengan benar-benar baik dan bisa dipercaya. Film ini seolah merasa cukup dengan memberikan gagasan tentang alasan-alasan Sita, dan berharap penonton dapat mengambil kesimpulan sendiri dari cuplikan-cuplikan adegan yang ada tanpa merasa perlu untuk menggambarkannya dengan lebih layak baik secara implisit maupun tidak.
Dari sisi film horor murni, yang memiliki tujuan sederhana untuk menakut-nakuti penonton dan memang memiliki banyak peminat di Indonesia, Siksa Kubur juga bisa dibilang tidak berhasil alias kurang menyeramkan. Film ini tidak cukup kuat untuk menjadi horor psikologis dan slowburn seperti yang digadang-gadang oleh banyak pengulas film yang lain. Lagipula kenyataannya, walaupun Siksa Kubur diposisikan sebagai horor psikologis, toh pada akhirnya film ini tetap mengandalkan jump scare untuk menakut-nakuti penontonnya. Sayangnya, teknik tersebut diterapkan terlalu sedikit dan terlalu terlambat di akhir film ketika penonton sudah telanjur merasa lelah dan bosan untuk benar-benar mengikuti atau peduli dengan jalan ceritanya sampai sejauh itu.
Pada akhirnya, film ini seperti berusaha meraih terlalu banyak hal namun tidak berhasil di semua aspeknya. Sebagai sebuah film psikologis yang ingin membuat penonton mempertanyakan hal-hal spiritual tentang kehidupan sesudah mati atau keberadaan agama itu sendiri, Siksa Kubur seperti terlalu "maksa" dan tidak cukup bagus untuk membuat penontonnya sampai pada pertanyaan tersebut di akhir cerita. Sebagai sebuah film horor, Siksa Kubur sederhananya tidak cukup menyeramkan dan terlalu membosankan untuk sampai membuat penonton berzikir di dalam gedung bioskop dan auto-tobat seperti yang digadang-gadang oleh tim marketingnya selama ini. Yang ada, sekiranya Joko Anwar tidak berusaha lebih keras untuk menuliskan naskah yang lebih baik atau berkolaborasi dengan penulis naskah jempolan di film-film berikutnya, bisa-bisa penonton yang auto-tobat untuk menonton film-filmnya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H