Kendalikan Ekspektasi
Tidak ada orang yang mengikuti kompetisi untuk menjadi pecundang. Semua ingin menang. Mentalitas ini bagus jika diterapkan untuk memotivasi para caleg agar terus berjuang meraih simpati masyarakat. Namun di sisi lain mereka tetap harus realistis terhadap peluangnya.Â
Kenyataan statistiknya adalah dari sekian banyak caleg yang berlaga, hanya 5-6 persen saja yang pada akhirnya terpilih sebagai wakil rakyat. Contohnya dari kontestasi DPRD dapil 4 di Jakarta, 10 kursi diperebutkan oleh tidak kurang dari 180 calon legislatif. Artinya, 170 di antara mereka akan menjadi pecundang, atau sejumlah 17 kali lipat dari pemenangnya.
Berita lebih buruknya lagi, peluang ini tidak merata 5-6 persen untuk setiap caleg. Bagi caleg yang merupakan petahana dan sudah mengeluarkan banyak modal, peluangnya tentu lebih besar antara 20 sampai 50 persen ia bisa terpilih kembali. Bagi caleg yang tidak terkenal dan tidak banyak modal, peluangnya mungkin tidak sampai satu persen.Â
Jika si caleg berharap memiliki peluang yang sama dengan calon-calon yang jauh lebih mapan, tentu ia akan menghadapi masalah manakala Pemilu usai dan suaranya hanya berkisar di angka ratusan atau bahkan puluhan yang terdiri dari keluarga dan tetangganya saja. Jadi, sejak awal para caleg hendaknya bisa menakar sejauh mana peluangnya untuk menang agar tidak terlalu kecewa di kemudian hari.
Kelola Modal Kampanye dengan Baik
Poin terakhir namun tidak kalah penting bagi setiap caleg tentu saja adalah modal. Di tengah maraknya berita tentang partai-partai yang melaporkan dana kampanyenya, pembaca mungkin akan kaget jika mengetahui bahwa jumlah dana sebenarnya yang beredar teramat sangat jauh lebih besar dari itu. Dan ini tidak menghitung dana kampanye yang digunakan secara ilegal untuk keperluan money politic.
Di Jakarta saja sebagai contoh, untuk sekedar dapat mengikuti kontestasi Pemilu secara layak seorang caleg DPRD perlu mengeluarkan uang paling sedikit satu atau dua miliar. Untuk bisa diperhitungkan memiliki peluang menang, jumlah tersebut setidaknya perlu ditingkatkan hingga dua sampai tiga kali lipat. Beberapa caleg yang jor-joran bahkan mengeluarkan modal jauh lebih besar daripada total gaji dan insentif yang diterimanya sebagai anggota dewan selama lima tahun jika nantinya benar-benar terpilih.
Besar-kecilnya modal kampanye sebenarnya adalah faktor yang relatif bagi setiap kontestan. Bagi caleg yang berada, jumlah miliaran mungkin tidak menjadi masalah. Namun bagi mereka yang berasal dari kalangan biasa-biasa saja, uang ratusan juta saja mungkin sudah diusahakan setengah mati -- bahkan sampai berhutang kesana-kemari. Masalahnya, dalam konteks Pemilu uang ratusan juta terhitung sangat kecil. Jika seorang caleg yang biasa-biasa saja datang ke arena Pemilu dengan modal ratusan juta dan berharap menjadi pemenang karena jumlah uang tersebut sangat besar artinya bagi dia, maka si caleg berpotensi akan mengalami tekanan mental yang hebat manakala ia mendapati kenyataan yang sesungguhnya setelah perhitungan suara selesai dilakukan.
Cara paling mudah bagi para caleg untuk mengelola modal adalah dengan memperhitungkan jumlah uang yang masih bisa diterima sekiranya ia tidak menang dan uang tersebut akhirnya menghilang. Dan ini tidak harus sama bagi setiap kontestan.Â
Caleg yang kaya mungkin tidak masalah kehilangan uang miliaran setelah Pemilu. Namun bagi caleg yang cekak, ratusan juta mungkin bisa berarti uang kuliah yang sangat penting bagi anak-anak mereka di masa depan. Intinya, para caleg harus bisa menakar kekuatan sendiri sejak sebelum hingga sesudah Pemilu selesai dilaksanakan. Jangan lupa, kita para caleg masih punya banyak kehidupan jauh setelah pesta demokrasi usai.