Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Menulis untuk senang-senang... Instagram: @amw.1408

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Petualangan Sherina 2: Indahnya Nostalgia Walau Tidak Sempurna

30 September 2023   14:20 Diperbarui: 30 September 2023   14:21 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Di awal 2000-an, sutradara muda Riri Riza muncul dan langsung meraih status legendaris berkat keterlibatannya di tiga film ikonik yang mendefinisikan generasi tersebut: Kuldesak, Petualangan Sherina, dan Ada Apa dengan Cinta?. Tidak hanya ikonik, ketiganya adalah film dengan kualitas teramat sangat bagus yang berhasil membuka jalan bagi kebangkitan film Indonesia yang sebelumnya sempat mati suri. Tidak berlebihan jika disebut bahwa dunia perfilman Indonesia saat ini banyak berhutang pada ketiga film tersebut -- ditambah Jelangkung karya Rizal Mantovani.

Seberapa bagus film-film tersebut? Sederhananya begini: jika sedang tidak ada film menarik di Netflix, maka sesekali saya akan menonton kembali Petualangan Sherina atau AAdC? sekedar untuk mencari hiburan, dan selalu berhasil dibuat takjub dengan kualitas keduanya -- bahkan jika dibandingkan dengan film-film Hollywood atau film-film Indonesia yang rilis belakangan ini sekalipun. Dari perspektif penonton film popcorn, Petualangan Sherina dan AAdC? adalah film yang nyaris sempurna dengan jalan cerita, penyutradaraan, pemilihan casting, sampai lagu-lagu tema yang sangat keren.

Kesempurnaan hampir tidak mungkin ditingkatkan atau bahkan sekedar disamai. Karena itu, Riri Riza mengemban tugas yang maha berat ketika memutuskan untuk menyutradarai dua sekuel dari film-film legendaris tersebut. Jika ia bisa disebut kurang berhasil dengan AAdC? 2, maka untuk Petualangan Sherina 2 Riri Riza dapat membuat sekuel yang cukup sukses memenuhi ekspektasi dari tujuan pembuatan film itu sendiri -- walaupun masih dengan beberapa catatan.

Ulasan tentang film Petualangan Sherina 2 memang tidak mungkin dilepaskan dari pendahulunya yang dirilis pada tahun 2000 atau tepat 23 tahun yang lalu. Petualangan Sherina 2 bukanlah film sekuel biasa, melainkan sebuah legacy sequel. Di Hollywood sana, tren legacy sequel sendiri adalah sekuel film yang muncul sangat lama setelah film sebelumnya dan biasanya mengikuti plot cerita yang hampir sama. Jadi, film-film legacy sequel ini memang sangat menonjolkan aspek nostalgia lebih dari apapun. Contoh film legacy sequel yang sukses di Hollywood antara lain Star Wars: The Force Awakens yang plotnya sebelas dua belas dengan Star Wars: A New Hope, atau yang lebih baru adalah Top Gun: Maverick yang memiliki jalan cerita mirip dengan film pertama yang muncul 36 tahun sebelumnya.

Untuk urusan nostalgia, Sherina dan Derby Romero sukses berat membawa kita kembali ke awal millennium. Keduanya tampil masih dengan chemistry yang kuat dan pembawaan karakter yang sama seperti kala masih anak-anak dahulu. "Bertemu" kembali dengan mereka berdua di awal film benar-benar tak ubahnya seperti bertemu sahabat lama yang sudah amat dirindukan. Menonton mereka di bioskop walaupun bersama tiga anak membuat saya kembali seperti menjadi anak SMA di tahun 2000 yang lalu.

Perkara nostalgia ini bukanlah hal kecil dalam sebuah film legacy sequel yang amat bergantung pada faktor tersebut. Inilah alasan mengapa AAdC? 2 terasa sangat mengganjal karena Nicholas Saputra dan Dian Sastro seperti kehilangan karakter dan chemistry mereka. Rangga dan Cinta yang muncul di film AAdC? 2 seperti bukan dua orang yang sama dari film pertamanya. Jadi, kredit tersendiri amat patut diberikan kepada Sherina dan Derby dalam film ini.

Kekuatan Petualangan Sherina 2 lainnya ada pada jalan cerita yang masih tertata dengan cukup baik. Walaupun sedikit kedodoran di babak kedua dan ketiganya, plot Petualangan Sherina 2 terasa familiar karena memiliki kemiripan namun masih cukup berbeda dengan film pertamanya. Petualangan Sherina 2 juga dapat memaksimalkan cerita yang mengambil tempat di Kalimantan dengan sinematografi yang bagus dan di beberapa adegan hampir menyerupai film dokumenter. Karena ini adalah film musikal, aspek musik dari film ini yang ditangani langsung oleh Sherina juga dapat membuat penonton terpaku di depan layar selama dua jam lamanya.

Namun, durasi dua jam tersebut mungkin juga adalah kelemahan utama dari film ini. Riri Riza selama ini cenderung terlalu sayang dengan adegan-adegan yang dibuatnya sehingga ia seperti enggan untuk memotongnya. Akibatnya, beberapa film Riri Riza seperti memiliki durasi yang terlalu lama -- dan Petualangan Sherina 2 termasuk di dalam kategori tersebut. Setidaknya ada 20 atau bahkan 30 menit dari film ini yang terasa membosankan dan sekiranya dipotong dapat membuat film menjadi lebih intens dan menarik. 40 menit pertama film terasa sempurna, namun setelah itu mulai muncul adegan-adegan yang terasa percuma terutama mendekati akhir film. Untungnya, kekuatan dari Sherina dan Derby masih cukup untuk membawa film ini sampai selesai walaupun agak terseok-seok.

Kelemahan lain yang sangat terasa adalah casting Petualangan Sherina 2 yang sebenarnya tidak bagus-bagus amat. Selain Sherina, Sadam, dan Aryo yang diperankan Ardit Erwandha, hampir semua karakter lain di film ini seperti hanya nimbrung di dalam film sebagai pelengkap saja. Walaupun sudah berusaha maksimal, Isyana Sarasvati ditambah dengan Chandra Satria, Kelly Tandiono, dan Randy Danistha sebagai antagonis di film ini terasa sangat jauh jika dibandingkan dengan karakter-karakter antagonis di film pertama yang dibawakan dengan gemilang oleh Djaduk Ferianto, Butet Kertaradjasa, Henidar Amroe, sampai Yadi Timo walaupun hanya kebagian peran sebagai penculik.

Yang lebih disayangkan lagi, Riri Riza seperti bingung menempatkan karakter anak di film ini yakni Sindai yang diperankan oleh Quinn Salman. Seharusnya, Sindai memainkan peranan penting sebagai "penerus" Sherina kecil, yang dibuktikan oleh banyaknya screen time yang diberikan kepadanya. Anehnya, hampir semua kemunculan Sindai di dalam film seolah tidak bermakna. Lebih keterlaluan lagi, Sindai tidak memiliki nomor musikal sendiri dan bahkan tidak memiliki dialog langsung dengan Sherina maupun Sadam!

Barangkali, "dosa" terbesar Riri Riza dalam film ini justru tidak berkaitan langsung dengan aspek pembuatan film itu sendiri. Sebagai sebuah film bertema lingkungan yang memiliki plot tentang penyelamatan orangutan, adalah hal yang teramat sangat absurd bagi seorang Riri Riza untuk tidak memasukkan plot atau sekedar penjelasan tentang penyebab mengapa satwa-satwa malang ini harus diselamatkan, yakni karena faktor penebangan liar dan alih fungsi lahan yang bahkan tidak disebutkan sekalipun dalam durasi film yang dua jam tersebut. Lebih ironis lagi, karakter Sherina di dalam film adalah seorang jurnalis kompeten yang sudah seharusnya membedah semua sisi dalam membuat feature tentang penyelamatan orangutan Kalimantan. Seolah-olah ada pertimbangan tersendiri dari Riri Riza untuk sengaja "menyembunyikan" bagian penting ini dari keseluruhan plot film.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun