Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Untuk informasi lebih lanjut tentang saya, hubungi detail-detail kontak di bawah ini: Instagram: @amw.1408 Email: rwselusin@gmail.com WA: 0852.1622.4747

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Ala Finlandia dan Galaunya Orang Tua Gen Y

26 September 2023   07:21 Diperbarui: 26 September 2023   07:28 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Orang tua -- bukan orang yang berusia tua, namun mereka yang memiliki anak maksudnya -- selalu memegang posisi penting di masyarakat. Utamanya adalah orang tua dengan anak-anak kecil yang masih tinggal bersama mereka, mulai dari usia balita hingga SMA. Melihat dari linimasa generasi yang ada, di tahun 2023 ini jatah tersebut diambil oleh Gen Y atau Generasi Millenial, mereka yang lahir di tahun 1981 sampai tahun 1996, atau yang paling tuanya saat ini berusia kira-kira awal 40-an.

Golongan orang tua "baru" ini penting karena peran mereka dalam membentuk generasi depan. Mereka lah yang menentukan bagaimana wajah Indonesia di tahun 2045 nanti ketika genap 100 tahun bangsa ini merdeka. Urgensi situasi ini menjadi semakin besar jika kita mempertimbangkan fakta bahwa Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dimana masyarakat usia muda dan produktif akan menjadi populasi yang paling banyak di negeri ini dalam beberapa tahun ke depan.

Seperti generasi-generasi sebelumnya, orang tua Gen Y memiliki kecenderungan tersendiri dalam membesarkan anak-anak mereka. Seperti halnya tren fashion, kecenderungan ini juga selalu berganti dari waktu ke waktu. Dulu sempat ada tren memasukkan anak-anak ke sekolah militer dengan harapan mereka kelak akan menjadi anggota TNI/Polri dari jalur akademi. Sempat pula ada tren memasukkan anak ke pondok modern untuk menyeimbangkan kemampuan iptek dan imtaq mereka.

Bagi orang tua Gen Y, tren pendidikan yang sedang berlaku saat ini adalah berbondong-bondong memasukkan anak-anak mereka ke sekolah yang berkiblat pada sistem pendidikan global dari luar negeri. Tidak hanya terobsesi menyekolahkan anak-anak mereka langsung ke luar negeri, orang tua Gen Y juga mengejawantahkan tren ini di dalam negeri dengan melarisi sekolah-sekolah "internasional" yang mengklaim mengadopsi sistem global dari negara yang memiliki tradisi pendidikan seperti Inggris, Jepang, sampai sekolah berbasis agama dengan kurikulum luar negeri.

Tren ini tidak hanya dimonopoli oleh sekolah-sekolah baru yang muncul dengan modal besar dan fasilitas mewah. Sekolah-sekolah swasta lama juga tidak mau ketinggalan dengan ikut mengadopsi dan memburu lisensi pendidikan dari luar negeri. Tren ini bahkan tidak hanya eksklusif bagi sekolah-sekolah mahal saja. Sekolah-sekolah kecil hingga selevel PAUD yang menyelenggarakan pendidikan dari rumah tinggal saja nekad memasukkan sistem bilingual pada KBM sehari-hari mereka demi mendekatkan diri pada status global -- walaupun tidak memiliki SDM guru yang bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar.

Namun apapun konsep global yang diusung, terdapat kecenderungan pola berulang yang sama-sama diterapkan oleh hampir semua sekolah "internasional" ini. Kesamaan pola tersebut adalah menjejali peserta didik dengan sebanyak mungkin pelajaran, yang hanya akan membuat mereka menghabiskan waktu lebih lama di sekolah. Dari negara manapun sistem pendidikan yang diklaim, ujung-ujungnya sekolah-sekolah ini kembali pragmatis dengan sekedar mengajarkan anak sebanyak mungkin ilmu sambil berharap semakin banyak yang tersangkut di kepala mereka.

Obrolan di kalangan orang tua belakangan ini seperti berlomba-lomba siapa anak mereka yang bisa menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah. Saat ini sudah lumrah jika anak kelas 1 SD menghabiskan waktu hingga enam sampai tujuh jam sehari di sekolah, mulai dari masuk pukul tujuh pagi hingga pulang pukul satu atau dua siang. Jumlah ini bisa berkembang menjadi lebih dari delapan jam sehari atau setara dengan beban kerja orang dewasa di kelas 4 dan 5 SD atau sebelum anak itu bahkan memasuki jenjang pendidikan SMP. Padahal, waktu-waktu bersekolah yang di luar kewajaran ini bertentangan langsung dengan jam biologis dan kebutuhan istirahat anak di usia dini hingga usia pertumbuhan.

Uniknya, konsep pendidikan ekstra padat semacam ini justru bertentangan dengan filosofi pendidikan yang diterapkan di negara Finlandia. Mengapa Finlandia? Karena Finlandia sendiri sudah diakui memiliki sistem pendidikan yang terbaik di dunia dan menjadi panutan dimana-mana -- kecuali di Indonesia sepertinya.

Sistem pendidikan Finlandia memiliki beberapa atribut spesifik yang membedakannya dengan negara-negara lain. Ciri khas yang paling menonjol adalah jam sekolah yang lebih pendek, suasana belajar di kelas yang lebih santai, hampir tidak ada ujian dan hampir tidak ada PR, serta ruang kelas yang menempatkan aspek psikologis anak sama pentingnya dengan aspek akademis mereka. Intinya, semua hal yang tidak memposisikan anak sebagai robot yang sekedar menerima pelajaran, sekaligus menjadi antitesis bagi sekolah-sekolah berkonsep global di Indonesia saat ini yang justru berlari ke arah sebaliknya.

Jika sistem pendidikan terbaik di dunia saja sudah memberikan contoh seperti itu, pertanyaannya adalah mengapa bukan sistem tersebut yang diadopsi oleh sekolah-sekolah "internasional" di Indonesia. Mengapa sekolah, dan pada gilirannya orang tua, berkeyakinan bahwa kualitas hasil belajar ditentukan oleh kuantitas waktu belajar.

Pada akhirnya, menjamurnya sekolah "internasional" di Indonesia belakangan ini mungkin tidak memiliki kaitan langsung dengan upaya orang tua untuk mencari pendidikan yang lebih baik. Mungkin, sekolah-sekolah seperti ini hanya mengkapitalisasi ketakutan dan kegalauan orang tua Gen Y menghadapi kompetisi masa depan dengan menjejali buah hati mereka dengan sebanyak mungkin keahlian sebagai solusinya. Mungkin juga masalah pemilihan sekolah tidak melulu tentang pendidikan, tapi juga tentang gengsi dan harga diri di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun