Sebentar lagi kita akan kembali menghadapi Pemilu. Walaupun masih tahun depan, bau pesta demokrasi tersebut sudah tercium dari sekarang dengan marak terpasangnya baliho dan umbul-umbul di lingkungan kita, baik yang berizin maupun yang -- kebanyakan -- tidak.
Sebagian besar dari kita mungkin tidak menyambut Pemilu dengan rasa gembira dan suka cita. Sebaliknya malah, kita mungkin sudah muak dan jengkel melihat janji-janji palsu serta perselisihan dan ketegangan yang muncul di tengah masyarakat gara-gara Pemilu. Saya pun merasakan hal yang sama. Sekian kali Pemilu, namun kondisi di Rawamangun tidak berubah. Begitu-begitu saja kecuali kita sendiri yang mengubahnya. Caleg-caleg yang dulu datang menjelang Pemilu-Pemilu sebelumnya pun tidak pernah terlihat hasil kinerjanya begitu terpilih. Yang ada, tanpa rasa malu mereka datang lagi menjelang Pemilu kali ini dan mengeluarkan kembali jurus andalan mereka: janji palsu dan money politic. Sangat dimengerti jika situasi ini membuat sebagian besar pembaca bersikap apolitis.Â
Dengan kata lain, kita tidak mau peduli dan ambil pusing dengan segala hal yang berbau politik. Tidak ikut menjadi simpatisan politik, tidak membaca berita-berita politik, atau jika perlu, tidak usah ikut mencoblos sekalian karena toh hasilnya akan sama saja. Melihat kenyataan situasi di lapangan, sebenarnya sah sah saja jika pembaca mengambil sikap apolitis. Kesalahannya bukan di masyarakat, melainkan di partai dan tokoh politik itu sendiri yang tidak bisa memberikan alasan bagus kepada masyarakat kenapa mereka harus peduli.
Namun, sikap ini harus dibedakan dengan apatis. Apatis sendiri artinya tidak peduli dan bersikap masa bodoh dengan semua hal secara umum. Contohnya dalam hal Pemilu, kita bersikap tidak peduli sama sekali dan tidak ikut terlibat baik dengan tidak mencari informasi maupun tidak berpartisipasi. Kenyataannya, suka tidak suka Pemilu masih menjadi satu-satunya saluran untuk mengubah arah pemerintahan negara menjadi lebih baik. Menyikapi Pemilu dengan bersikap apatis tidak akan membantu siapapun juga kecuali hanya menjadikan negara ini menjadi lebih buruk.
Lantas, bagaimana kita sebagai warga negara menyikapi datangnya Pemilu di tengah pengalaman-pengalaman buruk yang pernah kita lalui di masa lalu.
Yang pertama, jangan pernah putus harapan. Ya, situasi kemarin mungkin tidak berubah, namun tetap ada harapan Pemilu dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik. Karena alternatif lainnya, jika kita yang kritis tidak berpartisipasi, maka ada peluang besar calon-calon yang jadi adalah mereka yang didukung oleh massa bayaran, dan hal ini hanya akan melahirkan lingkaran setan. Calon yang mengeluarkan banyak uang untuk money politic sudah tentu akan berusaha mengembalikan modal tersebut dengan segala cara. Ujung-ujungnya, ketika menjabat mereka akan mudah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana yang sudah sering terjadi selama ini.
Kedua, pelajari betul setiap calon yang akan terjun dalam kontestasi Pemilu besok. Walaupun hal ini berarti kita harus membedah dari sekian banyak calon yang ada, maka itu sudah menjadi obligasi kita sebagai masyarakat yang mendambakan lingkungan menjadi lebih baik. Pelajari betul rekam jejak calon, apakah benar-benar kompeten dari segi kualitas atau tidak, karena sekarang ini banyak orang yang terjun ke politik hanya bermodalkan uang atau koneksi. Minimal, calon yang baik adalah mereka yang sudah terbukti berkontribusi pada masyarakat dan menjadikan lingkungannya lebih maju karena hal itu.
Ketiga, jika kita sudah yakin betul terhadap kualitas calon yang akan kita pilih setelah mempelajarinya, maka tidak ada ruginya jika kita turut berusaha untuk memenangkan calon tersebut. Bukankah lingkungan kita akan menjadi lebih baik jika masyarakat diwakili oleh orang-orang yang berkualitas dan benar-benar berkompeten di bidangnya. Tidak perlu sampai menjadi jurkam atau tim sukses, namun cukup sampaikan saja hasil penelusuran kita terhadap si calon berkualitas kepada lingkaran terdekat kita. Lebih baik lagi jika kita mencoba untuk menghubungi si calon sekedar untuk mengkonfirmasi apakah ia benar-benar sebaik yang diinformasikan.
Terakhir, jangan tergiur dengan money politic. Kenyataannya, menurut penelusuran KPK, money politic masih menjadi alasan dominan kenapa warga menjatuhkan pilihan kepada salah satu calon dalam Pemilu. Ini terjadi tidak hanya di desa-desa namun juga di kota-kota besar bahkan termasuk di Jakarta. Money politic tidak hanya terjadi secara vulgar dimana calon memberikan uang kepada warga untuk memilihnya.Â
Money politic juga bisa dilakukan secara halus melalui pemberian imbalan mulai dari bagi-bagi sembako, bantuan sosial, sampai pemberian fasilitas untuk aktivitas masyarakat dengan embel-embel instruksi untuk memilih si calon. Karena itu, RW 12 selalu menolak kontribusi apapun yang diberikan oleh individu yang terlibat dalam politik menjelang kontestasi Pemilu tahun depan. Sebagai warga, kita harus jeli membedakan money politic terselubung yang banyak digunakan oleh peserta Pemilu.
Pada akhirnya, Pemilu masih merupakan sarana paling cepat dan mudah bagi masyarakat untuk mengubah keadaan lingkungan menjadi lebih baik. Buruknya hasil yang terjadi pada Pemilu-Pemilu sebelumnya hendaknya tidak membuat kita kapok untuk turut berpartisipasi dalam pesta demokrasi tersebut.Â