Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Untuk informasi lebih lanjut tentang saya, hubungi detail-detail kontak di bawah ini: Instagram: @amw.1408 Email: rwselusin@gmail.com WA: 0852.1622.4747

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Masalah yang Muncul Saat Keluarga Jadi Antagonis di Film "Turning Red"

21 Maret 2022   15:12 Diperbarui: 21 Maret 2022   15:24 2853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Turning Red adalah film garapan Pixar yang baru saja diluncurkan di Indonesia secara eksklusif melalui Disney+ Hotstar pada 11 Maret yang lalu. Sebagaimana kecenderungan film-film Pixar yang rilis via streaming, Turning Red mengambil skala yang lebih kecil dan personal. Pendekatan ini memberi ruang lebih bagi pembuatnya untuk mengeksplorasi karakter dan cerita di dalam film, alih-alih memfokuskan film kepada adegan-adegan seru -- atau money shot bahasa kerennya -- sebagaimana layaknya film-film superhero yang sedang nge-trend. Pendekatan ini adalah angin segar. Melalui Turning Red, film kembali menjadi media bercerita, bukan hanya kumpulan adegan bagus atau cameo karakter-karakter populer seperti di film Spider-Man: No Way Home misalnya. Pengalaman menonton film seperti ini sudah mulai langka belakangan ini.

Turning Red adalah film yang sangat bagus. Hal ini perlu ditegaskan terlebih dahulu sebelum kita membahasnya lebih jauh. Walaupun masih sangat awal, namun rasanya hampir mustahil jika Turning Red tidak masuk nominasi pada kategori film animasi terbaik di ajang Academy Award tahun 2023. Namun, kualitas film Turning Red bukanlah sesuatu yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

Mempertimbangkan betapa bagusnya film ini, sekilas terasa janggal apabila di negara barat sana terdapat pendapat yang terbelah tentang Turning Red. Banyak orang menyukainya, sementara tidak sedikit pula golongan masyarakat yang membenci, bahkan sampai melarang anak-anaknya untuk menonton Turning Red. Namun setelah menonton dan mempelajari kembali film ini untuk kedua atau ketiga kalinya, polarisasi tersebut jadi terasa masuk akal. Sekali lagi, kita tidak sedang membicarakan kualitas film ini.

Turning Red adalah banyak hal. Film ini memiliki begitu banyak bagian untuk diinterpretasikan, baik yang tersirat maupun yang seperti dibiarkan sengaja tampil secara gamblang agar mudah ditangkap oleh penontonnya. Seandainya kalian adalah mahasiswi atau mahasiswa yang sedang mencari bahan untuk skripsi, Turning Red adalah harta karun yang sepertinya tidak akan habis untuk dikupas berhalaman-halaman banyaknya.

Salah satu subyek kontroversial yang banyak dipermasalahkan di negara-negara barat dari Turning Red adalah tema pubertas yang dihadapi oleh Meilin Lee atau Mei, karakter utama dari film ini. Turning Red memang memiliki tema utama berupa proses dari anak-anak atau remaja menjadi dewasa, atau istilah kerennya coming of age. Secara tidak terlalu tersirat, Domee Shi sang sutradara sekaligus salah satu penulis naskah dalam film ini menjadikan perubahan Mei menjadi panda merah ketika mencapai usia remaja atau baligh sebagai analogi langsung dari proses spesifik yang dihadapi oleh perempuan di usia tersebut yakni menstruasi. Begitu pentingnya tema ini untuk ditangkap oleh penonton, sampai-sampai Domee Shi memberikan referensi langsung di dalam film, dimana ibu Mei awalnya menyangka sang putri sedang mengalami menstruasi pertamanya ketika pertama kali berubah menjadi panda merah.

Dibandingkan dengan yang dialami oleh anak laki-laki, proses pubertas yang dilalui oleh anak perempuan biasanya adalah subyek yang lebih tabu untuk dibicarakan. Hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara timur, namun juga di Amerika Serikat yang sebenarnya memiliki komunitas konservatif yang tidak kalah kolotnya dengan kita di Indonesia. Hal ini sebenarnya cukup merugikan bagi orang tua-orang tua yang memiliki anak perempuan, karena mereka jadi sering terlambat menyikapi perubahan yang dialami putrinya ketika beranjak dewasa, dimana sebenarnya ini adalah salah satu periode terpenting dan terberat dalam hidup sang putri. Dilihat dari perspektif gender, hal ini juga menandakan masih adanya gap atau jarak tentang bagaimana cara kita memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan secara berbeda -- yang tentu saja perlu kita kikis bersama secara perlahan.

Namun tema masa pubertas yang dilalui oleh Mei di dalam film ini sendiri sebenarnya digambarkan oleh pembuatnya dengan cukup baik dan "sopan". Kontroversi yang ada -- kalau memang masih dapat dianggap sebagai kontroversi -- lebih kepada kemunculan tema itu sendiri yang jarang diangkat di film-film lain sehingga membuat terkejut orang tua yang menonton film ini dan berharap sekedar menemukan film anak-anak yang manis dan lucu. Jadi sampai di sini masih tidak ada masalah. Masalah terbesar dari Turning Red, setidaknya menurut penulis, adalah bagaimana keluarga direpresentasikan di dalam film tersebut.

Menurut aturan baku pembuatan tulisan fiksi, di dalam cerita selalu ada tokoh protagonis dan antagonis. Protagonis adalah sang jagoan atau pihak yang memiliki tujuan dan berusaha untuk mencapainya. Antagonis adalah sang penjahat yang berusaha untuk menghalangi si protagonis dalam mencapai tujuan tersebut dengan cara apapun juga. Belakangan, kita semakin familiar dengan konsep ego, penghargaan terhadap diri sendiri atau self respect. Pemahaman ini masuk pula ke dalam dunia sinema, sehingga film-film baru tidak lagi wajib memiliki peran protagonis dan antagonis dalam bentuk tradisional. Musuh terbesar kita biasanya adalah diri kita sendiri, sehingga film lebih banyak menggambarkan perjalanan sang protagonis untuk mengalahkan inner demon-nya sehingga menjadi manusia yang lebih baik.

Namun dalam film anak-anak, peran protagonis dan antagonis dalam bentuk tradisional sedikit banyak masih diperlukan, agar anak belajar untuk dapat melihat dunia secara hitam putih terlebih dahulu sebelum memahami bahwa dunia yang sesungguhnya adalah abu-abu. Di dalam film Turning Red, protagonisnya sudah tentu adalah Mei, yang jika diperluas lagi akan termasuk ketiga sahabatnya: Miriam, Priya, dan Abby. Dengan demikian, film ini menyisakan tokoh antagonis yang harus diisi, dan yang paling dekat untuk mengisi peran tersebut adalah keluarga Mei -- yang dalam hal ini diwakili oleh ibunya yang bernama Ming Lee. Di sini masalah dalam film Turning Red mulai muncul.

Menjadikan keluarga sebagai tokoh antagonis sejatinya bukan barang baru dalam film anak-anak. Hal itu sah saja untuk dilakukan apabila karakternya benar-benar jahat seperti ibu dan saudari-saudari tiri di film Cinderella. Dalam Turning Red, keluarga Mei mungkin termasuk kolot jika kita melihatnya dari perspektif anak-anak, namun sebenarnya tidak seburuk itu sehingga pantas untuk mendapatkan peran sebagai antagonis. Untuk meyakinkan penonton bahwa ibu Mei adalah tokoh yang "jahat", Domee Shi sampai membuat Ming Lee melakukan adegan yang bahkan terlalu berlebihan rasanya untuk dilakukan ibu yang paling kolot sekalipun, seperti mengendap-endap ke sekolah Mei untuk membawakannya pembalut -- dan pada akhirnya hanya mempermalukan Mei di depan teman-temannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun