Mohon tunggu...
R Wijaya
R Wijaya Mohon Tunggu... Petani - Founder Sekolah Petani Masa Depan GPA

Future Farner @GPA Katulampa Bogor

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Produksi Padi Kita dan Inovasi IPB

17 Juli 2024   13:43 Diperbarui: 17 Juli 2024   13:47 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Tulisan ini adalah Tanggapan Atas Tulisan Pak Wayan Supadno bertema Dirgahayu IPB ke 60

Semoga bisa mencerahkan dan ikut memberi Semangat bagi semua Stake Holder Pertanian Indonesia.

1. Produksi Padi Kita.

Tanggapan saya sederhana saja, jika BPS Mencatat luas tanam padi kita 6 sekian juta hektar dan produksi padi kita cuma 10 sekian juta ton GKP. Waw, kok cuma 1,5 Ton per ha!
Bisa jadi, BPS nya salah ukur luasan tanam padinya atau salah data produksi padinya. Berapa margin eror dari data BPS kita soal padi? Buat negara besar dengan kepulauan banyak, bergunung lembah dan banyak area pertanian yg cuma bisa diakses jalan kaki atau sepeda motor, apa yakin petugas sensus pertanian kita sudah sampai ke ujung- ujung yang terjauh untuk mendata luas sebenarnya sawah kita. Terus bagaimana dengan gabah di pedesaan  yg disimpan saja di rumah Bertahun-tahun ( seperti yg dilakukan bapak saya dan generasi nya dulu, dimana selalu ada sebagian besar gabah yg tidak dijual, hanya disimpan untuk makan setahun). Gabah ini, tidak masuk koperasi, tidak masuk toko, tidak masuk bulog, tetapi utuh dalam leuit/lumbung, bahkan bisa tahan bertahun-tahun. Nah apa angka2 dari gabah ini terdata?
Jadi, bagaimana pun data padi dan sawah kita, saya sih, ok aja tetapi tidak naif bahwa itu menggambarkan Produksi dan produktivitas padi kita.


Dari pada perang data untuk mempertahankan yg menurut saya masih sulit mendapatkan data akurat bagi negeri agraris  dimana petani subsisten masih dominan ( dalam istilah sosiologi kita sebut Peasant, not farmer).

2. Soal Inovasi Benih padi IPB yg dipaparkan di depan Presiden Jokowi dengan Produksi 12 ton GKP/ha:  sebagai inovasi di plot riset, apalagi hitung ubinan, dalam kondisi terkontrol, dimana segala bentuk kendala, serangan OPT dan cekaman lingkungan tidak seperti pada sawah yg umumnya ada di negeri ini, saya rasa angka 12 ton GKP/ per ha untuk lembaga sekelas IPB adalah wajar dan saya percaya pasti bisa.
Sebagai pembanding, mungkin lebih dari sepuluh tahun lalu, Bayer sudah mengiklankan padi hibrida dgn potensi 12 Ton GKP/ha. Jadi seandainya kita tertinggal 10 tahun dari Bayer, kita mestinya sdh bisa mendapat angka yg sama sekarang.
Di tempat lain, di jaringan AB2TI nya  Prof. Dwi Andreas Santosa sudah ada yg mampu mencapai angka 12 ton GKP/ha.
Jadi angka 12 ton GKP mestinya sdh wajar dicapai oleh para peneliti IPB.
Tapi, soal implementasi inovasi itu apakah akan mengubah landscape produksi padi kita atau tidak, itu sangat tergantung pada upaya IPB bersama semua stake holder ( termasuk kita) untuk melakukan Diseminasi Inovasi itu sehingga bisa menjadi inovasi terpakai teruji pada sebagian berarti sawah kita.
Jadi, memang, IPB tidak dapat berjalan sendirian, namanya juga, ini adalah negara Gotong Royong, tidak ada kemajuan di sektor apapun jika  kita tidak saling bersinergi.

3. Apakah Intelektual IPB membumi atau mereka hanya menerima tepuk tangan di menara gading?
Wah, saya harus berhati-hati untuk beropini, bukan hanya karena saya satu kamar dengan seorang alumni IPB, atau karena beberapa teman dekat dan adik kelas telah menjadi guru besar Di IPB, tetapi karena selalu ada intelektual di lembaga mana pun yang memilih salah satu dari dua jalan sebagai Intelektual: 


Pertama adalah  mereka yang maju dan bergelut dengan akar rumput, dan tidak puas dengan metodologi, angka dan statistik, tetapi memilih menjadi bagian bersama orang-orang dalam subyek penelitiannya, karena mereka ini menyadari jika ilmu tanpa bermanfaat bagi kemaslahatan manusia, maka dia hanyalah etalase pada jurnal ilmiah, dan kebanyakan kita yg hidup sebagai orang awam akan berkata, "Who cares?" Membacanya saja sudah sulit, apalagi mengaplikasikan nya!

Kedua, adalah mereka yang memang senang dengan ilmunya dan risetnya, dan tidak peduli apakah naiknya kredit ada poin karir mereka berkaitan langsung dengan kebermanfaatan inovasi mereka di masyarakat yang seharusnya menjadi pengguna. Atau karena mereka berharap akan ada orang lain yang akan melanjutkan bagaimana ilmu dan temuan ini pada akhirnya diaplikasikan. 

Dan menurut saya, yang ini juga tidak 100% salah, karena sekali lagi, ini kan negara gotong royong, tak ada yg bisa mengerjakan semuanya sendirian. 

4. 43% mahasiswa IPB ingin menjadi pengusaha?
Ya, namanya juga ingin, kan belum tentu terwujud atau dilakukan. Mungkin begitu lulus, karena tuntutan sana-sini, akhirnya menjadi pekerjaan/nguli juga. Jika jadi pengusaha pun, banyak yg terjun di perbankan, asuransi, Finance, dlk ( dulu karena banyak teman lulusan IPB di perbankan, kita buat plesetan Institut Perbankan Bogor).
Namun berapa banyak mahasiswa IPB yg akhirnya menjadi praktisi pertanian, itu mungkin pertanyaan krusial yg harus kita semua jawab, bukan hanya Pak Rektor. Kita bisa bantu menghitung, berapa persen alumni  yang kita kenal menjadi praktisi pertanian. Semoga angkanya, bisa 50%+, ( menurut bahasa bisnis, supaya saham nya tetap mayoritas! )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun