Sungguh prihatin jika melihat kondisi pendidikan hari ini. Gak Kuliah, SMA, SMP, SD yang TKpun tugas bejibun. Backpack mereka terlihat menggelayut hingga punggung nampak bongkok. Menahan beratnya beban.
Sepertinya semua hal dipelajari, tapi minus agama. Bukan agama sebagai ilmu pengetahuan, namun agama sebagai way of life, Â samasekali tidak disentuh. Ekstrakulikuler diwajibkan. Minimal dua kegiatan harus diikuti diluar jam sekolah dan meskipun harus melawan hukum syara, dengan tidak ada keharusan menutup aurat bagi pelajar wanita.
Lama belajarpun tidak harus 3 tahun, karena pakai sistem SKS maka nanti akan ada yang selesai dibawah 3 tahun maupun ada yang hingga 4 tahun. Bagi siswa yang berminat maka ia akan melewatinya dengan semangat namun yang biasa-biasa saja justru sekolah jadi siksaan.
Dan adab terhadap orang yang lebih tua sudah mulai hilang. Beberapa kali lihat video seorang pelajar perempuan yang dengan berani menggoda guru prianya yang ganteng, manis, perlente yang pada masa saya tak pernah ada.
Namun berita pelajar yang berani membawa senjata ke sekolah hanya karena hpnya disitapun miris, belum lagi dengan makib bertambahnya data anak yang bunuh diri karena tak punya uang untuk bayar SPP, hasil ujian yang jelek, dibully, belum lagi kasus hamil diluar nikah, diperkosa, berprofesi sebagai mucikari online bagi teman-temannya, menjadi PSK dan terlibat narkoba dan lain sebagainya.
Bukankah persoalan? lantas bagaimana Khalifah dulu mengatur masalah pendidikan rakyatnya? Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab kondisi politik dalam keadaan stabil, usaha ekspansi wilayah juga mendapat hasil yang gemilang.Â
Wilayah Islam pada masa Umar meliputi semenanjung Arab, Palestina, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir (Hanun Asrahah, 2001: 37). Dengan luasnya wilayah tersebut maka semakin besar juga kebutuhan kehidupan di segala bidang. Sebagai penunjang kebutuhan tersebut manusia membutuhkan keterampilan dan keahlian, maka diperlukan pendidikan.
Dalam hal ini perhatian Umar dapat diketahui melalui kebijakannya dengan memerintahkan kepada setiap panglima perang bila berhasil menaklukkan suatu wilayah maka harus mendirikan masjid sebagai Islamic Center atau pusat ibadah dan pendidikan (Samsul Nizar, 2007: 47). Ia juga melarang sahabat-sahabat senior untuk keluar dari daerah kecuali atas izin darinya dan dalam kurun waktu yang terbatas.
Jadi, jika ada di antara umat Islam yang ingin belajar ilmu agama, maka harus pergi ke kota Madinah. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran Ilmu para sahabat dan tempat pendidikan adalah terpusat di kota Madinah.
Begitu pun dengan Umar sendiri, ia merupakan seorang pendidik yang memberikan penyuluhan di kota Madinah. Umar juga mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk setiap daerah yang ditaklukkan itu, tugas mereka mengajarkan kandungan Al-Qur'an dan ajaran Islam lainnya kepada penduduk yang baru masuk Islam. Di antara sahabat-sahabat yang ditunjuk oleh Umar ke daerah adalah Abdurrahman bin Ma'qal dan Imran bin Hasim. Keduanya ditempatkan di Bashrah (Samsul Nizar, 2007: 47).
Adapun metode yang mereka gunakan adalah dengan membuat halaqah yaitu guru duduk di ruang mesjid sedangkan murid melingkarinya. Sang guru menyampaikan pelajaran kata demi kata serta artinya kemudian menjelaskan kandungannya, sementara murid menyimak, mencatat, dan mengulanginya apa yang dijelaskan oleh gurunya, serta berdiskusi (Abudin Nata, 2011: 123). Biasanya setiap halaqah terdiri dari dua puluh pelajar.